Cerbung Filosofi Randa Tapak "Kematian Tak Boleh Matikan Harapan" Halaman 1 Karya Muraz Riksi

Table of Contents

SINOPSIS

Filosofi Randa Tapak
“Di manapun ia jatuh di tempat itulah ia akan tumbuh”

Sebelum benar-benar kuhapus Lembah Telaga Mane dari hidupku, ada baiknya untuk menjawab rasa penasaran akan pelajaran di puncak bukit itu. Sembari kaki yang menyonsong jalan setapak, raut-raut wajah pohon terdiam. 

Tak ada nyanyian burung atau hewan lain yang menyapaku. Aku benar-benar sepi, sendiri dalam jalan yang tak pasti. Aku tak ingin menoleh kebelakang, tatapanku hanya alang-alang. Tibaku di puncak bukit, aku berbalik badan “Fabiayyi ala irabbikuma tukadziban”, mulutku tidak berkompromi, Kalam Allah terus terucap dan hati ikut berbisik “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”. 

Berulang-ulang kalam itu meyulam pikiranku yang robek, berderu dengan nafas dan berdebat dengan dada yang terjerat keputusasaan. Masih saja kalimat Sang Pemilik Alam “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” berdengung keras di kepalaku.*** 

Novel Filosofi Randa Tapak terdiri dari 2 bagian diantaranya "Bagian 1 Lembah Telaga Mane dan Bagian 2 Negeri Antara".

Dalam hal ini admin menekankan bahwa sumber tulisan dan hak cipta sepenuhnya milik penulis. Selamat membaca!.

Profil singkat penulis :

- Instagram Muraz Riksi


FILOSOFI RANDA TAPAK

NOVEL MURAZ RIKSI

BAGIAN 1 LEMBAH TELAGA MANE


HALAMAN 1

Pengembara Angin
Tertiup ranting tua itu, daun-daun kuning beterbangan. Jatuh menghantam tanah dan sebagian disambut oleh alang-alang. Dia ada di dalamnya, memperhatikan satu daun kuning. Mencoba untuk mengambilnya lalu daun itu kembali diterbangkan angin. Bukan saja mengalir tapi ikut membaur. Mencari ranting, tempat ia dulunya bernaung dengan semua perasaan yang tertanamkan. 

Tanpa peduli, ranting itu tak lagi menginginkannya. Daun kuning tetap saja mencarinya meski ada ranting lain yang menantinya. Mencoba menjaga dengan tulusnya. Hanya menatap, sebab akulah pengembara angin diantara ranting yang menjatuhkan dan juga ranting yang mengharapkan. Sebuah kisah yang cukup membingungkan. Mencari yang tak mencari dan berlari dari yang mendekati. Daun kuning, kau akan selamanya terombang-ambing.

Membentuk diri untuk satu ketakutan adalah kekejaman yang menindas kebaikan. Berlarinya harapan merupakan suatu keyakinan yang tak pernah tertulis oleh benak pikiran. Adakalanya kesadaran diri yang membuka jalan, yang menunjukkan kepedulian terhadap kejujuran. Satu demi satu kaki akan melangkah dan membawa mimpi menuju dermaga yang megah. Menelusuri semua kebohongan-kebohongan yang sedang merekah. Harumnya begitu menawan, ketika ia telah bertebaran dalam kerumunan. 

Menampilkan sandiwara yang mencetuskan keharmonisan lantaran keterpurukan bukan sebuah persoalan. Melihat masa depan artinya jangan lagi gundahkan masalahmu karena itu tidaklah seberat pemikiranmu. Kita tidak merencanakan sebuah pertemuan, kita juga tidak menulis akan keinginan, melainkan kita hanya mampu mengikuti putaran waktu dan alunan dimensi ruang, karena takdir hidup telah menentukan sebuah tujuan.

Lembah Telaga Mane
Randa Tapak


BAB TAPAK I
Kematian Tak Boleh Matikan Harapan

Cahaya kuning jingga menyongsong langit timur, seusai fajar melintang subuh itu. Sayup-sayup diantara hilangnya seruan takbir, sesaat itu pula butir-butir air berhenti turun. Pagi ini rasanya lebih damai dari seminggu yang lalu, semenjak awan kelabu menutupi langit biru. Menyelimuti lembah yang menjerat rindu dan tanpa henti-hentinya mengguyur kalbu.

Sebuah keharmonisan lahir dari keakraban antara cucu laki-laki dengan kakeknya. Bergelut canda yang dipupuk senyum ceria dan dengan sederhananya ia tertawa. Ketika sore itu, api kecil menyala di sudut dapur gubuk kayu. Memasak itu sebuah kesenangan, ia suka dengan perkakas dapur, karena memasak mengandung nilai cita rasa, tentang bagaimana membuat orang yang mencicipinya bisa bahagia. Kakek, panggil Randa yang sedang memasak di dapur. 

Apa pekerjaan yang paling menyenangkan di dunia ini yang bisa Randa kerjakan? Kakeknya tersenyum dan berkata, “kerja itu haruslah dengan kebahagiaan, bukan soal apa yang Randa kerjakan tapi tentang hal apa yang Randa dapatkan. Jangan Randa kira yang pakai baju PNS hidupnya telah bahagia dan yang pakaiannya lusuh dibasahi keringat hidupnya menderita”.

Itulah sepucuk kisah yang kuingat dari seminggu yang lalu, saat aku sedang menyiapkan makan malam yang terakhir untuk kakek. Aku belum siap menerima kenyataan hidup, saat kakek juga ikut menyusul ibu dan nenek. Sampai sekarang ini, aku tidak mengenal akan sosok ayah, yang kutahu kakekku adalah sosok ayahku. Meskipun aku hanya ingat sepotong cerita tentang ayah, saat ia pertama kali menjejaki kakinya di Lembah ini. Aku tidak berharap apapun dari cerita itu, tak mungkin tiba-tiba ayah menjemputku di sini.

Sembilan belas tahun yang lalu ayah menghilang tanpa jejak, semenjak pamit pulang ke Banda Aceh, kampung halamannya. Kakek pernah bercerita kala itu tahun 2000 dan umurku baru genap satu tahun. Jangankan sosok ayah, wajah ibu pun buram dalam bayangku. Minggu, 26 Desember 2004 Banda Aceh diterjang Tsunami yang sangat dahsyat dan ibu menjadi korban dari bencana alam itu. 

Satu hari sebelumnya ibu pamit kepada kakek untuk pergi ke Banda Aceh, ibu mendapat kabar jasad ayah ditemukan di hutan Seulawah dan akan dikebumikan di Ulee Lheue. Ibu pergi ke Banda Aceh ingin memastikan kebenaran dari kabar tersebut. Selasa 28 Desember 2004 jasad ibu telah ditemukan dan pada hari itu aku baru berumur 4 tahun. 

Ibu dibawa pulang dengan mobil ambulance, tubuhnya kaku, pucat dan dingin. Kakek memelukku dengan erat sembari mengatakan ibumu telah pulang nak, pulang untuk pamit menyusul ayahmu. Kalimat itu terus diulang-ulang kakek dan wajahnya berlumuran air mata. 

Di tahun 2019 ini umurku telah genap 20 tahun dan aku telah benar-benar seorang diri tanpa ada kakek yang menemaniku lagi. Menyangkal, inginku berteriak, memastikan semua ini tak terjadi. Bukan seperti harapku, bukan pula ada dalam bayangku. 

Aku kecewa tapi tak membenci. Kusadari ada yang salah, langkah kaki serta hati karena keinginan untuk memiliki. Aku bodoh, sungguh memilukan. Terjebak keadaan pada debu-debu yang berhembusan, yang terbang mengikuti arah jalan. Berharap untuk mengulang yang telah terjadi dan nyatanya sakit yang kudapati hingga air mata membasahi bumi. 

Kala pohon diam tak bersuara, mendung datang melukiskan air mata. Gelap mewarnai suasana cerita saat cucuran kesedihan membasahi jendela. Dalam gubuk kayu, nyanyian rindu menemani malamku. Sunyi menyepi mengisi lubuk sendu. Adakah kau tanyakan luka itu?. Siapa yang pernah mengusiknya?. 

Apakah kau lupa akan duka?. Cahaya kecil menguap mewarnai lentera, mencuri mata dalam uraian lupa. Kala jiwa terjerat terlelap lupa, menangis mengemis mengharapkan cerita. Namun jiwa telah tertanam pahitnya asa yang takkan hilang oleh tiupan debu-debu masa.

Dimulai dari kesendirian, benar-benar sendiri, aku harus melangkah dari Lembah Telaga Mane. Aku harus terus berjalan mengikuti debu-debu harapan. Kemanapun nantinya angin akan membawaku, disanalah aku meninggalkan kesedihan. Itulah yang kupikirkan dan itu pula bekal bawaan untuk hidupku.

Lanjut Baca KLIK >>> Halaman 2

Terima kasih telah berkunjung ke website Sampah Kata.
Salam kopi pahit...

Sampah Kata Seniman Bisu
Penulis Amatiran Dari Pinggiran
Secarik Ocehan Basi Tak Lebih Dari Basa-Basi

Post a Comment