Cerbung Filosofi Randa Tapak "Tanah Hitam" Halaman 6 Karya Muraz Riksi

Table of Contents

 


HALAMAN 6


BUKU BIOGRAFI RAJA

MENYIBAK KEHIDUPAN

TANAH HITAM

  

Menyibak Kehidupan Tanah Hitam

Biografi Raja

Tanggal 17 September 1992, saat wajah mungil mewarnai kebahagian bagi sebuah keluarga. Cahaya hangat sang pagi mulai bercerita di balik jendela kayu. Sorotan angin membisikkan suasana syahdu, saat seorang anak membuka mata dan membawa lembaran baru. Si mungil itu akan dirawat oleh ibu, ayah dan juga neneknya yang diberi nama Raja. Kisah hidup baru dimulai bagi Raja, ia sangat disayangi oleh neneknya yang bernama Aminah. Itulah awal dari kisah hidupku.

Nenek sangat menyayangi diriku dan mendidikku menjadi anak yang tegar akan segala rintangan hidup. Segala kebutuhan hidupku menjadi tanggungannya nenek mulai dari pakaian, jajan hingga saat diriku sakitpun dijaga olehnya. Aku dibesarkan dan disayangi oleh nenek ibaratkan seorang ibu yang membesarkan anaknya karena segala hal yang diberikan oleh ibu, aku dapatkan pada nenek.

Ikatan batin antara aku dengan nenek begitu erat hingga nenek tahu apa yang sedang aku rasakan. Aku sangat bahagia menjalani kehidupan bersama nenek dan kedua orang tuaku meskipun serba dalam kekurangan. Hari-hari terus terlewati hingga aku memasuki Sekolah Dasar dan telah berumur 6 tahun.

Sekolah Dasar merupakan langkah awal bagi setiap anak untuk mengecap dunia pendidikan formal. Yang menjadi tempat untuk belajar dan memiliki teman-teman baru. Sekolah Dasar adalah tempat yang paling menyenangkan bagi setiap anak dalam hidupnya. Namun tidak untuk diriku, beberapa hari pertama memang menyenangkan.

Sekolah bagi diriku menjadi tempat yang paling menakutkan karena setiap hari aku selalu mendapat 
buli dari teman-teman. Setiap pulang kerumah tubuhku memar. Nenek begitu khawatir dengan diriku hingga menjumpai Kepala Sekolah, namun Kepala Sekolah tidak bisa berbuat apa-apa karena takut kepada wali murid yang melakukan kekerasan terhadapku.

Ketika itu, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) merupakan penguasa daerah dan anak-anak dari anggota GAM menjadi penguasa bagi anak-anak yang seumurannya. Sehingga nenekku hanya bisa diam dan melihat diriku pulang dari sekolah dengan tubuh yang memar.

Aku selalu ditegarkan oleh nenek dan diingatkan agar tidak menjadi anak yang cengeng dan menyerah terhadap keadaan. Kehidupan seperti itu terus aku jalani, namun bukan itu saja perjuangan hidup yang harus aku lalui. Setiap terjadi peperangan antara GAM dan Tentara Negara Indonesia (TNI) di daerah tempat tinggalku, teman-temanku selalu dijemput oleh orang tuanya masing-masing.

Aku terdiam kaku dan melihat kepanikan itu yang bisa lenyap saat berada dalam pelukan hangat sang ibu. Dengan mengangkat tas ke bahu, aku dengan wajah dilumuri air mata berjalan pulang tanpa ditemani oleh ibu seperti teman-temanku yang lain. Langkah kaki menuju jalan pulang, tanpa memandang lurus ke depan dengan rasa takut yang menemani hingga diriku sampai dalam pelukan nenek.

Ketenangan yang seketika menghapus air mata, saat nenek memeluk erat tubuhku. Suara gemuruh peperangan seakan menjadi musik dalam himpitan keadaan. Kegelisahan yang terus menerawang setiap sisi-sisi jalan kehidupan, aku yang menapaki lorong-lorong jalan dari setiap ejekan dan hinaan teman-teman.

Sekolah menjadi halaman paling menakutkan untukku, menjadi malas untuk terus belajar dan mencari ilmu di tengah-tengah peperangan. Himpitan masalah bagaikan makanan, air mata yang tak mengering terkadang menjadi minuman. Kehidupan yang tidak mengenal kecerian terus dilalui oleh diriku hingga suatu ketika peperangan terus memuncak antara GAM dan TNI.

Semua masyarakat di daerah tempat tinggalku dan beberapa kawasan lainnya diungsikan. Tempat pengungsian telah menjadi rumah baru untuk kami. Saat aku melihat siswa-siswi daerah Kota memakai seragam merah putih, membuat diriku terluka dan ketakutan. Seakan tiada lagi masa untuk belajar, seakan inilah akhir pendidikan, tiada lagi kehidupan yang bebas ketika bom dilontarkan ke tempat tinggal kami.

Peperangan ketika itu memang hal yang menurut mereka adalah penting, tapi pernahkah mereka melihat berapa banyak yang menjadi korbannya. Aku mulai beradaptasi dengan lingkungan baru di tempat pengungsian tersebut. Kenyamanan, ketenangan, makanan yang enak tidak pernah kami dapatkan lagi. Hari demi hari terus terlewati di tempat pengungsian hingga suatu sore turun hujan dan datangnya angin ribut yang menyebabkan tenda-tenda pengungsian roboh.

Air mataku jatuh bercucuran dan tak terhentikan karena ketakutan. Diantara keramaian dan kepanikan aku berlari untuk mencari perlindungan. Hingga suatu sudut beton menjadi tempat berteduhnya diriku. Pukul 20.28 wib hujan dan angin ribut telah reda, para pengungsi sibuk merapikan barang-barangnya sedangkan sebagian lainnya sibuk memperbaiki tenda. Malam itu pun berlalu, aktivitas pengungsian terus berlanjut.

Satu bulan lebih kami telah mengungsi dan pada hari itu, barulah diizinkan pulang kerumah masing-masing. Ketika hendak pulang aku terpisah dengan orang tuaku karena harus naik becak dan menjaga barang-barang miliknya. Tiba di rumah, aku sangat ketakutan karena belum ada satu pun tetanggaku yang sudah sampai. Saat melihat rumah, air mataku seketika mengalir deras dan membasahi 
muka. Semua peliharaan milik ayahku telah tiada seperti kambing, ayam, bebek bahkan hanya tinggal kandang kosong.

Setelah beberapa saat kemudian, orang tuaku sampai juga di rumah, mereka pun sangat terkejut ketika melihat peliharaannya telah menghilang. Pada waktu itu nenekku berkata “sudah tidak perlu bersedih, semua ini pasti ada hikmahnya”. Ayahku mulai memasukkan barang-barang kedalam rumah, Ibuku mulai menyapu di dalam rumah sedangkan nenek dan diriku membersihkan halaman rumah dari daun-daun kering.

Satu minggu kemudian, aktivitas masyarakat hampir seperti biasanya meski masih ada rasa ketakutan. Hari senin tiba, sekolah mulai aktif namun aku dan teman-temanku sangat terkejut ketika melihat gedung sekolah sebagian telah terbakar. Sekolah dibubarkan hingga selesai dibangun ruang belajar sementara. Saat itu aku masih kelas 
4 SD, namun harus bergabung bersama kakak-kakak kelas lainnya untuk belajar.

Satu tahun lebih aku dan teman-temanku harus belajar dengan kondisi seperti itu. Walau dengan keadaan yang serba kekurangan, tidak menyurutkan semangat guru-guru dalam mengajar. Udara yang pengap, panasnya matahari dan keringat yang membasahi tubuh tidak lagi menjadi sebuah keluhan.

Aktivitas belajar-mengajar terus berlanjut dengan keadaan seperti itu hingga aku menduduki kelas 6 SD. Aku dan teman-temanku mulai belajar di ruangan kelas yang tidak disatukan lagi dengan adik-adik kelas lainnya. Kegiatan belajar pun sudah mulai normal dan guru-guru sudah memadai di sekolahku.

Hari demi hari tanpa terasa telah berlalu, tidak terdengar baku tembak-menembak dan kehidupan sudah seperti seharusnya. Proses belajar-mengajar terus berlanjut hingga aku telah lulus dari SD pada tahun 2005.

Setelah itu, aku ikut tes untuk masuk Sekolah Menengah Pertama. Saat itu, aku memilih sekolah di luar Kecamatan tempat tinggalku, karena takut berjumpa kembali dengan teman-teman SD yang selalu mem
buliku. Aku memilih SMP di luar kecamatan tempat tinggalku yang jarak tempuhnya 16 km dari rumahku.

Setelah mengikuti tes, akhirnya aku lulus sebagai siswa dari SMP tersebut. Tahun 2006, aku mulai menepaki kaki dengan seragam SMP. Hari pertama sekolah dan mengikuti berbagai proses belajar ternyata membuatku dirasuki pikiran untuk tidak melanjutkan sekolah lagi.

Hal tersebut bukan tidak ada alasan bagi diriku melainkan aku tidak sanggup akan hinaan, dikucilkan dan dijauhi oleh siswa lainnya karena kekurangan fisikku. Setiap pagi, aku bersembunyi diberbagai tempat agar diriku tidak masuk sekolah seperti di tanah kuburan, di sungai bahkan di atas pohon.

Kelas 1 telah banyak aku lakukan kekacauan seperti tidak masuk sekolah, kabur dari sekolah bahkan ikut bermain dengan kawan-kawan yang mengisap narkoba. Sungguh sebuah rasa syukur, ketika itu aku tidak terpengaruh untuk menggunakan narkoba. Setiap malam nenek terus menasehatiku. Begitu banyak coretan merah di absen, hingga aku terancam tidak naik kelas namun nenek berusaha keras agar aku tetap naik kelas.

Nenekku pergi menjumpai kepala sekolah dan meminta agar diriku tetap naik kelas. Kepala Sekolah memenuhi permintaan nenekku, hingga aku dipanggil ke ruang Kepala Sekolah untuk dinasehati. Nenek sedih dengan kondisi yang aku alami, hingga beliau mencari tukang ojek yang disewa untuk antar jemput diriku agar aku tetap mau bersekolah. Pengorbanan yang dilakukan oleh nenek telah membuatku berubah pikiran hingga aku melanjutkan bersekolah.

Aktivitas diriku sepulang dari sekolah tidak seperti anak-anak seumuranku lainnya. Sejak melangkahkan kaki di bangku SMP, aku setiap harinya mengembala lembu-lembu yang dipelihara oleh Ayahku. Aku terkadang tidak sempat makan dan lansung pergi untuk mengembala lembu-lembu karena takut kepada ayah yang marah bila telat mengembalakannyai. Setiap hari hanya terlewati dengan menemani lembu-lembu makan rumput.

Di atas puncak bukit, aku melihat teman-teman sebayaku bermain bola, berenang di irigasi dan bermain sepeda. Air mata yang berlinang menjadi pelepas dahaga ditengah-tengah teriknya matahari. Lembu-lembu yang makan rumput menjadi teman bermainku, teman berceritaku dan menjadi hiburan untukku kala hati sedang bersedih. Tugas mengembalakan lembu terus aku tekuni, naik bukit dan turun bukit menjadi permainan hidupku setiap harinya.

Sejak dinasehati oleh Kepala sekolah, aku berpikir dan sadar akan kasih sayang nenek terhadapku yang begitu besar, aku berjanji untuk menyelesaikan sekolah dengan baik. Aku juga mengerti kalau kondisi keuangan nenekku tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari, ditambah lagi dengan pengeluaran biaya ojek untuk antar jemput diriku.

Saat sedang duduk dengan nenek, aku meminta sepeda sebagai transportasi untukku bersekolah. Sejak duduk di kelas 2, Aku berangkat ke sekolah menggunakan sepeda. Kelas 2 aku berhasil mendapatkan peringkat 1. Saat menduduki kelas 3, aku dipilih oleh guru untuk memasuki ruang unggul. Dalam ruangan tersebut dikumpulkannya siswa-siswi yang memiliki prestasi. Proses belajar pun terus berlanjut sampai aku mengikuti ujian akhir sekolah dan ujian akhir nasional. Ketika itu adalah akhir dari tahun 2008 dan aku
 telah lulus Sekolah Menengah Pertama.

Semua cerita hidup belum tertuliskan, layaknya matahari yang tersembunyi di balik awan. Aku tersadar dari rasa putus asa, rasa kecewa dan tidak menerima kenyataan hidup. Aku berpikir, jika hidupku tidaklah indah seperti orang-orang lain. Aku yang bertubuh kurus, keluarga yang miskin dan harus hidup dengan aktivitas mengembala lembu.

Orang-orang memiliki tubuh yang ideal, memiliki keluarga yang berkecukupan, bisa bermain juga jalan-jalan. Menikmati hidup dengan tawa dan canda tanpa harus larut dalam derai air mata. Mereka memiliki baju baru, memiliki sepeda dan memiliki uang jajan.

Hidupku sangatlah berat, semenjak kecil dikucilkan karena memiliki tubuh yang kurus. Aku tidak bisa bermain seperti anak-anak yang lain, aku yang tidak memiliki sepeda dan uang jajan. Aku yang hanya melewati hari untuk mengembalakan lembu. Aku sangat kecewa dengan hidup ini, terkadang aku bertanya-tanya “mengapa hidupku seperti ini?”.

Aku putus asa dengan hidupku, tidak memiliki tujuan juga pupus dari harapan. Pikiranku terus menanamkan rasa kecewa kepada kehidupan hingga semangat telah menghilang dari hidupku. Laksana ingin hidup ini berakhir saja.

Bayangkanlah, jika memiliki tubuh yang kurus, tak punya teman, tidak ada waktu untuk bermain, tidak punya uang jajan bahkan waktupun tidak menganggap diriku ada. Bayangkan jika setiap harinya harus mengembala lembu, ditengah-tengah teriknya matahari dan melewati bukit demi bukit.

Seakan hidup ini tidaklah berarti. Sekolah bukanlah tempat untuk belajar, melainkan sekedar tempat mencari kehidupan. Namun nyatanya kekecewaanlah yang aku rasakan. Kebanyakan orang menjauhiku dan tidak mau berteman denganku. Malahan mereka menghina diriku. Pikiranku terus tertanam kesedihan dan kekecewaan. Hingga rasa putus asa telah memuncak, hidup seakan hanyalah penderitaan dan kenyataan adalah kepedihan.

Saat itu adalah bulan puasa, aku diusir dari rumah oleh ayahku. Aku dituduh berbohong oleh ayah. Aku disuruh beli kue untuk berbuka puasa lalu aku beranjak pergi membelinya. Kue yang aku beli harganya 2 potong yaitu Rp. 1.500. Sedangkan ayahku mengiranya sepotong kue dengan harga Rp. 500. Ayah menuduhku telah berbohong dan memarahiku sampai keluar kata-kata “kamu pergi dari rumah ini”.

Ayah sangat marah kepadaku karena mendapat kabar dari temannya bahwa diriku tidak ikut tadarus melainkan pergi main 
play station. Aku tidak melakukan apa yang ayah tuduhkan kepadaku. Aku sangat sedih kala itu, air mata pun tidak berhenti bercucuran. Tekanan hidup yang aku dapatkan, tak henti-hentinya aku rasakan, laksana ombak yang menghantam karang.

Aku pergi dari rumah, berjalan kaki dengan air mata yang bercucuran. Langkah demi langkah aku ayunkan dan mata yang tak memandang kearah depan. Hingga tersadar aku telah sampai di depan Mesjid Agung Bireuen. Seorang bapak mendatangiku dan menanyakan kepadaku, “kenapa kamu menangis nak?, Apa kamu ada berpuasa?”. Aku menjawab pertanyaan dari bapak tersebut, “ada pak”. “Sudah jangan menangis lagi, kata bapak tersebut. “Ayo ikut bapak, kita buka puasa bersama di mesjid”, ajakan bapak tersebut sambil memegang tanganku.

Setibanya di tempat berbuka puasa di halaman mesjid, aku duduk dan mengusap air mata. Tiba-tiba lewat seorang anak kecil di hadapanku. Ia menggunakan kursi roda karena tubuhnya lumpuh sebagian. Ia datang kearahku dan menanyakan kenapa aku bersedih. Tekanan hidup yang aku alami hingga rasa putus asa telah memenuhi pikiranku. Aku menceritakan semua keluh kesahku kepadanya dan rasanya aku ingin mati saja.

Ia tersenyum kepadaku setelah mendengar semua kesedihanku. Lalu dia berkata kepadaku, “abang kan tidak ingin hidup lagi, berikanlah tubuhmu kepadaku, aku ingin bisa berjalan seperti anak-anak yang lain. Aku ingin bisa sekolah, bermain sepeda dan berjalan seperti abang. Abang tahu tidak, jika kita mempunyai kelebihan yang telah Allah berikan. Pikiran adalah kelebihan kita bang.

Kita yang kaum adam telah dianugerahkan sembilan akal dan satu buah nafsu. Seharusnya kita bersyukur bang, karena manusia pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Temukanlah kelebihan abang dan tutupilah kekurangan abang. Abang sungguh enak bisa berjalan dan berlari sedangkan aku bang?.

Coba abang perhatikan orang-orang yang tidak memiliki anugerah penglihatan, mereka tidak pernah tahu akan keindahan alam. Mereka tidak pernah tahu bagaimana bentuk tanaman, hewan dan kehidupan. Aku sangat bersyukur bang, meski tidak dapat berjalan tapi aku masih memiliki kedua tangan yang dapat aku gerakkan, masih memiliki mata untuk melihat jutaan harapan. aku juga bersyukur masih bisa melihat kalam Allah dan membacanya.”

Dia membagikan senyumnya untukku hingga diriku sadar, kalau pikiran adalah sebuah jembatan. Saat diriku memikirkan kesedihan maka dalam kenyataannya, aku akan berada dalam kesedihan. Setelah mendengarkan isi hati dan nasehat dari adek tersebut, aku mulai beranjak bangun dan mensyukuri atas nikmat hidupku. Aku menyadari bahwa pikiran sangat menentukan arti kehidupan. Pikiran adalah jembatannya kenyataan, apa yang ditanamkan maka akan berpengaruh kepada kenyataan.

Hari itu adalah awal dari hidupku dan kedepannya aku selalu menanggapi persoalan hidup dengan pikiran positif. Manusia adalah khalifah di Bumi ini dan Allah telah memberikan pikiran kepada setiap insan. Rasa syukur adalah jawaban untuk kesadaran dan rasa sedih adalah kenikmatan dalam kehidupan. Bila pikiran melihat masalah dari sudut yang baik maka dibalik persoalan hidup selalu adanya keindahan. “Hidup itu pilihan, jangan biarkan hidupmu diatur oleh pikiranmu tapi buatlah dirimu yang mengatur pikiran untuk hidupmu”, itulah kalimat yang menjadi prinsip untukku yang lahir dari pengalaman hidupku.

Awal tahun 2009, aku melanjutkan pendidikan di SMA. Saat aku mulai belajar pada semester 2 kelas 2, nenek yang selama ini menjadi tempat bersimpuh untukku telah dipanggil oleh Sang Khalik. Pagi itu, saat aku selesai shalat subuh. aku melihat nenek dalam kondisi yang lemas. Aku menjadi ketakutan dan air mata pun mulai berlinang. Nenek berkata kepadaku, Kenapa 
Raja menangis, nenek tidak apa-apa cuma lemas saja. Raja siap-siap terus untuk berangkat ke sekolah. Jangan sampai telat nanti”.

Melihat kondisi nenek yang lemas, aku bersikeras untuk tidak berangkat ke sekolah, aku menemani nenek yang sedang sakit. Orang tuaku bergegas untuk berangkat kerumah anak-anak nenek yang lainnya dan mengabari jika nenek sedang sakit. Beberapa saat kemudian, anak-anaknya nenek berdatangan dan mereka hanyut dalam air mata. Nenek sakitnya semakin parah namum lisannya terus berzikir kepada Allah. Anak-anak nenek pun ikut berzikir dan membacakan yasin.

Air mata yang terus menetes dan lisan yang terus berzikir, nenek perlahan-lahan mulai terlelap sampai nyawanya telah meninggalkan raga yang tua itu. Kesedihan yang mengisi ruangan segi empat membuatku terjatuh. Aku merasakan semangat untuk hidup telah menghilang. Hari itu setelah selesai melaksanakan fardhu kifayah, aku duduk di sebelah kuburannya nenek. Tanpa sepatah kata dapat ku ucap, hanya menatap gumpalan-gumpalan tanah yang telah menutupi raganya nenek.

Jadi pendiam bukan sebuah pilihan dalam kehidupanku namun keadaan yang telah mengubah diriku. Bulan pun telah berlalu, aku  telah menjadi anak yang pendiam dan telah hilang semangat dalam tubuhku untuk terus menjalani hidup. Suatu malam setelah selasai shalat isya, aku mendoakan nenek dan air mata pun mulai berlinang hingga diriku tertidur di atas sajadah.

Dalam mimpi, aku berjumpa dengan nenek dan aku memeluk erat tubuhnya. Nenek hanya tersenyum sambil mengelus-ngelus kepalaku kemudian pergi dan menghilang begitu saja. Seketika aku terbangun dari tidurku, air mata pun mulai bercucuran. Saat mengingat kembali kasih sayang dari nenek terhadapku. Aku sadar jika sikapku terus seperti ini akan membuat nenek bersedih hati di alam sana.

Sejak malam itu, aku bertekad akan mengubah sikap diamku selama ini dan akan berusaha untuk menjadi cucu terbaik nenek. Aktivitas belajar di sekolah mulai aku tekuni kembali dengan serius. Di bangku kelas 2 semester genap, aku mulai giat belajar hingga menduduki bangku kelas 3 dan aku masih berada di ruang IPA 1. Awal ketakutan menghampiriku tentang tidak lulus dari ujian akhir nasional.

Proses belajar-mengajar terus berlanjut hingga tiba saatnya untuk mengikuti ujian akhir nasional. Begitu banyak kunci jawaban diperjual-belikan namun aku tidak terpengaruh untuk membelinya. Aku teringat akan nasehat almarhumah nenek, “lakukan apa yang 
Raja mampu dan syukurilah hal kecil yang bisa Raja perbuat, jangan jadi pembohong diri sendiri”.

Dengan nasehat itu, aku jadikan sebuah komitmen untuk mengikuti ujian secara sehat. Kebanggan besar bagiku karena telah lulus dari SMA tanpa menggunakan kunci jawaban dan dalam waktu yang bersamaan aku mendapatkan undangan bebas tes dari
 Kampus yang ada di Kota tempat tinggalku.

Suasana hari-hari dalam hidupku tak lagi berkabut, semuanya terbentang laksana puncak gunung di bawah langit. Saat ini di atas pundakku telah melekat titel sarjana pertanian. Hijau rumpun padi memanjakan mata, angin sepoi-sepoi menyejukkan raga dan tubuh ini tergeletak pada sebuah gubuk. Di tengah hamparan sawah, aku menyendiri dan merenungkan perjuangan hidup ketika mencari gelar sarjana.


Tentang Prinsip

Prinsip bagaikan janji dari setiap helaan nafas yang telah terhembus dan takkan pernah berubah oleh waktu. Hanya dengan menghadapi tantangan hidup, aku dapat memenuhi potensiku dan menemukan kebahagiaan yang sebenarnya.

Misi hidupku adalah berusaha sekuat mungkin untuk menjadi seseorang yang berguna bagi orang lain. “untuk mencapai suatu tujuan, kau akan butuh kekuatan dan karakter”. Karena itulah, aku selalu menekankan akan banyak hal yang dapat diperoleh bila berani menantang diri sendiri. Prinsip merupakan sebuah komitmen yang harus dipegang teguh untuk mengetahui batasan diri.

Aku belajar dari kehidupan yang pernah diriku lalui, “kala seseorang tidak tahu apa itu kerja keras dan arti dari berjuang maka ia tidak akan tahu hakikatnya tulus itu seperti apa. Karena seseorang yang mudah mendapatkan sesuatu, ia tidak pernah menantang dirinya sendiri bahkan menolak untuk bekerja keras”.

Aku pernah berpikir, hidupku sangat terkekang oleh waktu dan merasa terbatasi akan kenyataan dari hidup ini. Orang tuaku yang miskin sehingga hidupku juga dalam kepedihan. Dulu saat aku masih menduduki bangku SMP sampai dengan semester 3 di bangku kuliah, waktu kosongku adalah mengembala lembu di bukit-bukit yang tidak jauh dari rumahku. Diriku merasa tidak akan pernah ada waktu untuk bermain seperti anak-anak lainnya.

Sejak semester empat, aku menantang keadaanku dengan semangat yang tinggi karena arti kebebasan adalah saat diriku memiliki kekuatan dan kemampuan”. Rasa syukur mengalir dalam nadi-nadi tubuhku dan menemukan arti kebebasan saat aku mulai berani menerima kenyataan hidup. Drop out pernah menghancurkan masa pendidikanku, sebab merasa hidup yang tidak adil untukku sehingga nilai mata pelajaranku rata-rata merah. Karena hal itu aku selalu mendapat teguran dari wali kelas. Diakhir masa SMA ketika hari perpisahan, seorang guru yang selalu memarahiku pada saat itu memeluk erat tubuhku dan beliau mengatakan :

“Nak, jangan pernah membandingkan hidupmu dengan orang lain. Tetaplah maju walau hanya satu langkah, asalkan kamu jujur terhadap diri sendiri. Jangan pernah kehilangan harapan”. Nasehat itu terus terbenak dalam kepala ku hingga mengubah cara pandangku terhadap suatu sudut keadaan. Saat melangkahkan kaki di 
Kampus dengan komitmen yang menjadi prinsipku, “pemenang dalam kehidupan adalah yang berani menantang hidup”. Aku menantang diriku bahwa akan memperoleh nilai cum laude dan menargetkan kuliah ku akan selesai 4 tahun. Akhir tahun 2015, aku menyelesaikan kuliahku selama 4 tahun satu bulan dengan perolehan nilai IPK 3,69.

Meskipun nilai yang tinggi belum menjamin hidupku namun memiliki potensi dan kemampuan adalah permata yang penting dalam hidup ini. Menurutku, “orang yang memiliki sifat sombong adalah yang berhenti menggali potensinya”. Aku yang memulai dari keadaan sulit dengan inspirasi 
yang melahirkan sebuah pengharapan sehingga menjadi seseorang yang berkarakter.

Takut gagal adalah kata yang akan menghentikan langkahku. Maju dan yakin bahwa diriku pasti mampu mengejar suatu impian adalah prinsip. Karena moto hidupku “Jika ada pekerjaan yang bisa dikerjakan hari ini, untuk apa harus menunggu besok?”. Sejak pertama aku menduduki bangku kuliah, aku tidak mampu berbicara dengan bahasa indonesia yang baik dan benar.

Melihat teman-teman kuliahku berkomunikasi menggunakan bahasa indonesia, awalnya membuat diriku malu. Aku mulai berusaha untuk menjadi seperti teman-temanku. Akhirnya dengan menantang rasa takut dalam diriku, aku berhasil menjadi seseorang yang berani berbicara di hadapan  banyak orang menggunakan bahasa indonesia yang baik dan benar. Proses untuk diriku belajar agar mampu berkomunikasi dengan bahasa indonesia adalah melalui berorganisasi.

Ketika sudah bisa berbahasa indonesia yang baik dan benar, aku mulai menemukan harta karun dari dalam tubuh bahasa itu sendiri. Sebuah seni yang sangat mengagumkan dari untaian kata-kata yang mengharukan penikmatnya. Sastra adalah kekayaan dari bahasa yang melabuhkan berbagai macam kata yang menjadi tulisan indah di dalamnya.

Aku termotivasi untuk menjadi penulis sastra, rasa kagumku akan bait-bait puisi, cerita pendek dan kata-kata bijak membuat diriku tertantang ingin menghasilkan satu buah karya. Jika tulisanku dikatakan tidak berkualitas dan tidak hebat oleh orang yang membacanya, aku tidak akan peduli.

Menurutku seseorang yang berkualitas dan hebat adalah yang menghasilkan karya nyata untuk hidupnya. “Menjadi penulis bukanlah sesuatu yang sulit, karena menulis itu hanya dimulai dari rasa suka”, itu adalah sepenggal kalimat yang dikatakan bang Heri kepadaku saat aku berencana untuk menjadi penulis. Aku mengatakan kepada selembar kertas yang menjadi coretanku :

“Prinsip merupakan kekuatan yang harus dimiliki oleh setiap 
manusia dan drop out adalah tantangannya, sebab rasa takut gagal akan menjadi persimpangannya. Jalan menuju titik impian boleh berubah namun prinsip harus tetap teguh. Sebab pengorbanan yang gagal adalah modal untuk menjadi lebih besar, karena setiap perjalanan hidup adalah tantangannya”.

Menemukan pekerjaan adalah sebuah harapan dan memiliki penghasilan adalah tujuan. Aku terus melangkah menyusuri jalan, mencari terminal sebagai tempat singgahan dan menunggu datangnya kendaraan yang mengantar diriku menyeberangi kemiskinan.

Berada di atas tempat duduk yang nyaman hingga Ibu, Ayah dan adikku juga akan hidup dengan aman. Tak terasa umurku sudah seperempat abad namun diriku belum menggeluti sesuatu yang hebat. 5 bulan sudah diriku menjadi pengangguran berijazah. Tak berbuat dan terus mengharapkan keajaiban dan itu adalah hal yang salah. Masa panen padi telah tiba, aku putuskan untuk menjadi buruh tani. Banyak petani tertawa ketika melihatku berada di bawah terik matahari dengan tubuh berkeringat. Mereka menanyakan kepadaku :

 “Untuk apa kamu menempuh pendidikan tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya jadi seperti kami?”.


Aku tersenyum saat mereka mengajukan kalimat tanya itu. “Masak yang sudah belajar di perguruan tinggi, bekerjanya sama petani. Seharusnya kan di tempat orang-orang yang memakai dasi”, seorang mengataiku ketika aku sedang duduk di warung kopi. Aku berpura-pura tidak mendengarnya, karena takdir hidup sudah tergaris dan yang bisa kita lakukan adalah berusaha.

“Tidak ada kata memilih untuk bertahan, harus sepenuh hati dilakukan. Apapun itu, asalkan halal dan berpenghasilan”, kata-kata tersebut menjadi motivasiku. Setiap jalan kehidupan, aku memandangnya sebagai sebuah sekolah dan kepahitannya sebagai sebuah ujian. Aku terus belajar menjadi orang yang mampu menghasilkan uang agar nantinya telah siap bila berumah tangga.

“Pemuda adalah harapannya bangsa yang akan menjadi pengemudi di masa depan, yang akan membawa bangsa mengikuti perkembangan zaman. Itulah tumpuan amanah yang akan ada disetiap pundak pemuda. Mereka lahir dan terukir dari latar belakang kehidupan yang berbeda-beda. Adakalanya mereka akan melewati bahtera hidup yang berat dan hal tersebut akan menjadi kekuatan positif untuknya.

Ada pula sebagian dari mereka, saat melewati hidup yang berat menyebabkan salah dalam memilih jalan kehidupan. Kamu adalah pemuda yang nantinya akan menjadi nakhoda, selalulah berpikir positif dan berbuat hal-hal baik. Nakhoda bukan hanya pemimpin yang duduk di atas kursi sofa melainkan kita semua adalah pemimpin diri sendiri. Ketika kita menghadapi ujian dalam hidup dan menanggapinya dengan pikiran terbuka maka sadarilah bahwa kita sedang mengaplikasikan kata sabar.

Apabila kita mampu bersabar saat menghadapi ribuan bahkan jutaan masalah dalam hidup, maka keikhlasan akan menjadi kekuatan dari berjiwa besar. Kala kita telah mampu berjiwa besar, maka kata syukur adalah rasa yang sangat mudah untuk didapatkan. Kebaikan akan ada kala pikiran baik-baik saja”. Itulah nasehat dari ayahku yang membuatku selalu tersenyum ketika masalah hidup mendatangiku.

Ayahku adalah orang yang semenjak dari kecil harus hidup berdampingan dengan masalah. Ketika ia berumur 5 bulan dalam kandungan, ayahnya telah meninggal dunia. Saat ia berumur 8 tahun, ibunya juga meninggal dunia. Ia harus hidup sebatang kara hingga seorang janda yang memiliki 5 anak mengasuhnya. Ia tidak pernah menduduki bangku sekolah karena ibu angkatnya tak sanggup membiayainya.

Sejak berumur 15 tahun, setiap harinya ayah bekerja di kandang 
ternak milik orang, di sawahnya orang untuk membantu perekonomian ibu angkatnya. Kasih sayang seorang ibu, ia dapatkan dari janda yang memiliki 5 anak. Pada saat berumur 18 tahun, ayah merantau dan menjadi pedagang buah kaki lima. Jasa seorang ibu tak dapat dibalas dengan uang meskipun itu adalah ibu angkatnya.

Ayah terus bekerja keras dan membanting tulang agar mampu menjadi tulang punggung dari keluarga tersebut. Dari kecil hingga menjadi seorang pemuda, hidup keras terus ia jalani hingga telah membentuk jiwa baja dalam dirinya. Bermula menjadi pedagang buah, dari sanalah ia bertemu dengan ibuku. Saat aku menceritakan kesedihanku, ayah selalu tersenyum kecil kepadaku. Ayah berusaha agar hidupku tidak seberat hidupnya.

Aku akan selalu tersenyum ketika ujian hidup menemuiku karena seberat apapun masalahku, tidaklah seberat perjuangan hidup ayahku. Aku telah belajar dari hidupnya untuk menjadi orang yang lebih baik lagi dan tegar. Aku akan membuat ayahku bangga karena perjuangannya untukku tidak akan berakhir sia-sia.

Aku akan mengisi pikiran ini dengan hal-hal baik agar jalan hidupku juga akan terlihat baik. “Pikiran sangat berpengaruh terhadap sikap, karena pikiran adalah kesadaran yang harus dijaga”, itulah filosofi pertamaku saat belajar dari pengalaman hidup ayah. Masalah hidup tidaklah menjauh dari setiap yang bernyawa, tidak juga lenyap oleh tanya dan akan diresap oleh rencana.


Tentang Jati Diri

Setiap manusia untuk bisa memahami hidup adalah dengan belajar. Hakikatnya belajar dimulai dengan membaca karena hal itulah yang menjadi persyaratannya. Pemahamanku tentang hidup kian membentang luas ketika diriku menemukan sebuah buku.

Minat membaca menjadi kendalaku hingga aku berjumpa dengan banyak orang yang hobinya adalah membaca buku. Mereka mengatakan kepadaku, “membaca adalah hal yang indah
merupakan karya seni yang mampu menginspirasikanmu”.

Aku menjadikan proses membaca adalah hal yang menyenangkan karena memberikanku rasa semangat. Aku memahami satu hal dari membaca yaitu “seorang 
manusia akan memiliki kekuatan pikiran ketika membaca”. Membaca merupakan prioritas utama dalam hidupku saat ini karena aku telah menemukan arti dari jati diri.

Seorang muslim yang mengetahui akan indahnya membaca adalah seseorang yang tahu tentang masa lalunya dan bangsanya. Agama Islam merupakan agama yang suci dan firman Allah SWT untuk Nabi Muhammad SAW pertama kalinya adalah membaca.

Itulah kebenarannya tentang jati diri seorang muslim, membaca adalah jembatan yang menghubungkan impian dengan kenyataan. Aku akan terus-menerus berusaha agar dipenuhi harapan, karena membaca bukan sekedar sikap tetapi hal tersebut merupakan jati diri dari seorang muslim. Jati diri adalah seseorang yang memiliki keberanian untuk memperjuangkan kebenaran dan mengakui kesalahan.


Tentang Kesetiaan

Bertahan dengan prinsip melalui jati diri adalah bentuk kesetian. Memulai langkahku dari keterpurukan adalah dengan mengetahui kemampuan diri. Apa yang akan menjadi kelebihan dan kekuranganku merupakan bagian dari proses hidup.

Orang tuaku mengharapkanku menjadi pegawai negeri sipil sedangkan diriku tak menginginkannya. Aku ingin menjadi seorang pelaku usaha, menjadi seorang dosen dan seorang penulis sastra. Kekuranganku adalah doa dari Ibuku dan restunya tidak untuk impianku.

Yang terpenting adalah seberapa jauh mampu merealisasikan potensiku dan seberapa banyak senyumku untuk kebahagian orang lain. Impian tetap aku genggam dalam pikiran ini meskipun waktunya belum dapat memenuhi. Memiliki mimpi besar akan membuatku tahan dalam menghadapi gundukan kecil di jalanan.

Berusaha agar tetap setia pada setiap mimpi adalah sebuah kesadaran. Saat rintangan tidak pernah berhenti menghadang laksana ombak di lautan dan rasa goyah tak mengecilkan hati, itulah bukti adanya sikap dewasa. Oleh karena itu, aku akan selalu memberanikan diri untuk mencurahkan kebahagian kepada orang lain.

Satu nasehat dari almarhumah nenekku masih membenak di telingaku : “jika ingin menasehati orang lain maka perbaikilah diri sendiri terlebih dahulu. Jika ingin menjadi orang yang setia maka dahulukan kesetiaan itu untuk impianmu”.

Mengejar cita-cita dan membagikannya pada tiap orang adalah tindakan yang mulia. Aku belajar dari pengalaman hidup dan berani ku katakan bahwa tiada kesedihan tanpa kebahagiaan. “Hidup akan selalu penuh dengan keindahan apabila tangan terus merangkul persahabatan.

Setiap kaki yang melangkah mejadi awal dari jejak persaudaraan. Tersenyumlah ketika ada tangan yang hendak  bersalaman denganmu”. Pengalaman telah mengajarkan banyak hal untuk hidupku. Masa kuliah adalah jalanku untuk menemukan arti kesetiaan dan persahabatanlah yang melahirkan darah persaudaraan.

Hari ini setelah mengenal banyak kesedihan dan belum berpenghasilan namun kekayaan diriku adalah persahabatan. Tepat sudah tiga bulan menjadi pengangguran berijazah dan semangatku, asaku juga senyumku akan tetap menjadi kekuatan. Rasa setia terhadap impianku adalah sebuah mata pelajaran untuk hidup nantinya.

Aku hari ini telah jauh berbeda dengan yang dulu. Masa kecilku tidak memiliki tujuan dan pupus oleh harapan sampai tamparan keras dari keadaan membangunkan kebahagian. Menemukan jalan yang menunjukkan prinsip, kesetiaan dan jati diri adalah pikirku hingga memahami kebijaksanaan dalam memperhatikan setiap dinding atau jendela kehidupan.

                                                        Biografi Raja                                                                                        Aceh, 22 Oktober 2016

Menjadi manusia yang memiliki cita-cita adalah bentuk dari kesadaran akan hidup. Sekelumit permasalahan tidak hanya tentang persoalan benar atau salah. Wajar jika pohon tinggi akan diterpa oleh angin yang kuat dan untuk itu kau harus punya akar yang tangguh.

Biarkan saja kalimat penyangga hati menguatkanmu asalkan kamu tidak jadi manusia yang lemah. Sungguh sifat mengeluh merasuki jiwa yang rapuh, membutakan mata hingga kelalaian menjelma membentuk tubuh.

Allah telah meletakkan sabar dalam hati, namun nafsu yang memegang kendali. Ketika ucapan yang merajut kebaikan maka perbuatan akan mencerminkan ketulusan.

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya.” (Al-Kahfi:28)

<<< Halaman 1                         Lanjut Baca KLIK >>> Halaman 7


(Catatan Penting)

Filosofi Randa Tapak merupakan Novel Karya Muraz Riksi yang terdiri dari 2 bagian diantaranya "Bagian 1 Lembah Telaga Mane dan Bagian 2 Negeri Antara".

Dalam hal ini admin menekankan bahwa sumber tulisan dan hak cipta sepenuhnya milik penulis. Selamat membaca!.

Profil singkat penulis :
- Instagram Muraz Riksi
- Youtube Indie Official Poem Muraz Riksi

Terima kasih telah berkunjung ke website Sampah Kata.
Salam kopi pahit...

Seniman Bisu
Penulis Amatiran Dari Pinggiran
Secarik Ocehan Basi Tak Lebih Dari Basa-Basi

Post a Comment