Nak, Ayah Tersenyum di Surga Cerpen Karya ASj - Sampah Kata

Table of Contents


Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Salam kopi pahit...
Cerpen merupakan singkatan dari cerita pendek yang mengisahkan  tentang cinta, kehidupan, bahagia, sedih, rindu dan alam. Oleh karena itu, pada postingan ini, admin ingin membagikan contoh cerpen islami terbaik karya ASj yang dikutip dari Grup Komunitas Belajar Menulis (KBM) di Facebook. 

Dalam hal ini admin menekankan bahwa sumber tulisan dan hak cipta sepenuhnya milik penulis. Oleh karena itu jika para pembaca ingin tahu dan mengenal sosok penulis, silakan klik pada nama penulis yang ada di bawah judul puisi dan akan langsung dialihkan pada medsosnya. Selamat membaca!.


Nak, Ayah Tersenyum di Surga
By: ASj

"Bangun yah, sudah waktunya sholat subuh," ucapku, sembari merebahkan kepala di pundak suami.
Saut kumandang azan, seakan mengisyaratkan aku dan suami bergegas ke mushola yang lokasinya tak jauh dari kediaman kami. 
"Sebentar bunda, peci ayah tertinggal dirumah," ucap suamiku sembari berpamitan kembali ke rumah.

Ibadah lima waktu tak pernah kami tinggalkan. Selain didikan orang tua yang memang dari kalangan agamis. Sejak masih bujangan, suamiku dikenal taat dalam beribadah. 
Lanjut, sholat subuh pun usai kami tunaikan. Sebagai seorang istri sekaligus ibu dari buah hati anak laki-laki kami. Rutinitas ibu rumah tangga pun mulai ku lakoni usai menjalankan ibadah. 
"Ah..." Gumamku melihat stok bahan lauk-pauk yang tersimpan rapi di lemari es.

"Maaf ayah, hanya ada mie instan. Lupa kalau stok bahan lauk-pauk suda habis," kata ku ke suami.
"Gak apa-apa bunda, syukuri aja," saut suamiku sembari mengendong sang buah hati kami.
Bergegaslah, akupun langsung menghidangkan masakan meski hanya sepiring mie instan. 

"Masakan sudah matang ayah. Ayuk kita sarapan," celetus ke suami. 
Sembari bergelut dengan buah hati kami, begegaslah suamiku beranjak ke dapur. Senyum pun terlihat menyeringai dari mulut suami.
"Alhamdulillah masih diberikan rezeki makan. Kita bagi dua ya bun," ucap suamiku.

Memang kondisi ekonomi pascamenikah cukup sulit. Suamiku yang hanya bekerja sebagai montir, memang harus pandai menghitung keuangan. Namun aku tetap bersyukur atas rezeki yang diberikan sang kuasa (Allah, s.w.t).  Yang lebih ku syukuri, aku diberikan anugrah suami yang penuh bertanggungjawab dan Sholeh.
Sarapan pagi sepiring mie instan pun habis kami lahap berdua. 
Waktu menunjukan pukul 06.30. Aku menyiapkan pakaian, suamiku pun sudah siap untuk mencari nafkah.

Sebelum berangkat bekerja, tak lupa suami memeluk dan mengendong buah hati kami. Aku pun bergegas merapikan sisa sarapan dan segera mengantar suami keluar rumah.
"Ayah pamit kerja dulu ya Bun. Jaga jagoan ayah ya," ucap suamiku.
"Iya ayah hati-hati dijalan dan jangan lupa berdoa," saut ku sembari mengendong buah hati.

Bergegas suamiku menghidupkan sepeda motor yang ia beli semasa masih belum menikah. Tatapan mataku terus terfokus ke suami, hingga sepeda motor yang ia tunggangi menghilang diantara kendaraan lainnya.
"Selama 2 tahun menikah, kami masih tinggal di kontrakan padat penduduk".

Waktu menunjukan pukul 07.00. Seperti hari biasanya, aku pun bergegas memandikan buah hati kami. 
"Doakan ayahmu ya nak, semoga diberikan rezeki," gumamku kepada buah hati kami.

Mengingat bahan lauk-pauk sudah habis. Aku pun lantas mengambil uang yang memang telah dijatahkan untuk membeli kebutuhan dapur. Kami harus pandai-pandai mengatur keuangan. Maklum saja, hasil pekerjaan suami  memang tak menentu. Tergantung banyaknya pasien yang ingin memperbaiki kendaraan mereka.

Sembari mengendong buah hati kami. Aku harus keluar gang rumah, untuk menaiki angkot. Jarak rumah dari persimpangan cukup memakan waktu. Sepanjang jalan, terlihat lalu lalang kendaraan pribadi. Ya memang, kontrakan yang kami huni berada persis di area komplek elit. 
Hampir 1 jam lamanya menunggu tumpangan, angkot bewarna kuning trayek Pasar Purwodadi pun muncul. Bergegaslah aku menghentikan laju angkot tersebut.

"Pasar ya bang," ucapku ke sang sopir.
Setelah hampir 30 menit perjalanan, aku dan buah hati pun sampai ke lokasi pasar.
Usai membayar ongkos angkot, aku bergegas masuk ke dalam pasar. 
Aku pun langsung memilah pasokan dapur, agar uang yang ada tercukupi. 

Sudah satu jam berada di dalam pasar, belanja kebutuhan dapur pun usai. Sayur-mayur, bumbu dapur dan tak lupa makanan buah hati telah diperoleh semua. Namun keinginan untuk membeli asupan protein seperti daging dan ayam harus saya pendam. Mengingat kami harus benar-benar menghitung pengeluaran setiap harinya. Dalam satu bulan, terhitung hanya tiga kali asupan protein dapat kami beli.
"Pulang kita nak," saut ku ke buah hati.

Lagi-lagi, aku harus menunggu satu jam lamanya untuk dapat pulang ke rumah. Maklum saja, angkot baru akan memulai perjalanan jika kursi penumpang terisi penuh. 
Detik demi detik menunggu keberangkatan, tangisan buah hati pun mulai terdengar. Perbekalan buah hati berupa susu pun sudah ku persiapkan. Maklum saja, tak mungkin memberikan ASI dikeramaian. Beruntungnya usai diberikan susu, buah hati kamipun kembali tertidur.

Akhirnya kami pun sampai ke kontrakan. 
Waktu menunjukan pukul 11.00. Sempat terbangun saat di dalam angkot. Buah hati kami pun melanjutkan tidur indahnya di rumah. 
Bergegas, aku langsung pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan suami.

Tak lama, Ponsel jadul warisan orang tua berdering. Ku tinggalkan aktifitas memasak dan langsung mengangkat panggilan seluler tersebut.
"Apakah ini keluarganya Pak Andi," ucap suara asing dari Ponsel, sembari terdengar terbatah-batah.
"Iya, ada apa? Ini siapa? Suamiku kemana?" Sahutku, lantaran bukan suamiku yang berbicara.
"Hmmm, pak Andi... Pak Andi.....," kata pria dalam panggilan ponsel.

"Iya ada apa dengan suamiku pak," tanyaku kembali.
"Suami ibu mengalami kecelakaan, saat ingin mencoba kendaraan yang ia perbaiki. Sepeda motor milik pelanggan yang ia coba, mengalami tabrakan," kata pria tersebut.
Sontak, tubuhku terasa lunglai. Ponsel yang ku gengam pun, tanpa sadar terjatuh tepat disamping buah hati kami tertidur.
"Bu... Ibu....," Panggil pria tersebut.

"Mendengar panggilan ponsel itu, aku pun kembali tersadar. Meski kaget, tubuh seperti mati rasa lantaran seakan tak percaya atas kabar itu. Aku mencoba menguatkan diri sembari mengambil ponsel itu.
"Pak... Suamiku sekarang dimana pak? Kondisi suamiku sekarang seperti apa pak?" Tanyaku kembali.

"Pak Andi sekarang berada di rumah sakit (•••). Yang saya tahu kondisi beliau tengah kritis dan mengalami patah kaki kiri," ucap pria tersebut.
"Aku harus kuat. Musibah ini kehendak yang kuasa (Allah, s.w.t)," gumamku dalam hati.
Tubuh semakin lemah. Namun aku harus kuat dan bergegas aku pun menghampiri buah hati kami. 
Lisan pun tak henti-hentinya berucap istighfar dan memohon pertolongan kepada Allah. 

Sembari membawa pakaian seperlunya berikut uang tabungan. Aku langsung mengendong buah hati kami dan berlari ke rumah salah satu tetangga.
"Assalamualaikum," ucapku dengan nada tergopoh-gopoh.
"Waalikum salam," sahut pemilik rumah.
Dialah pak Dian. Ketua RT tempat kami tinggal. Dikalangan warga, pak Dian dikenal sosok yang baik. Bahkan selama kami tinggal dikontrakan, tak jarang pula beliau membantu kami.

"Ada apa ibu Al (panggilan buah hati kami)? Sepertinya ada yang penting?" ucap Pak Dian sembari mempersilahkan aku duduk.
Tak berselang lama, ibu Narti yang tak lain istri pak Dian pun keluar. 
"Eh ada ibu Al, mari masuk bu," ajak ibu Narti dengan ramah.
Tanggis ku pun pecah di sudut teras rumah keluarga tersebut.
"Pak, ibu, tolong...! Tolong antarkan aku ke rumah sakit. Suamiku mengalami kecelakaan dan sekarang tengah di rumah sakit," ucapku terbatah-batah, sembari mengusap air mata.

Mendengar hal tersebut. Pak Dian pun bergegas mengeluarkan kendaraan roda empat pribadinya, yang terparkir di teras rumah. Disusul bu Narti yang langsung mengarahkan kami agar segera masuk ke mobil.

"Ya allah Bu Al, bagaimana kejadiannya Bu? Terus kondisi ayah Al sekarang bagaimana? Ucap Bu Narti, sembari menenangkan ku.
Lantaran kondisi fisik dan fikiran tengah drop, usai mendapat kabar tersebut. Hening menyeruak dalam kebisingan kendaraan lainnya.
"Sini Al biar aku saja yang mengendongnya. Kita sama-sama berdoa, agar ayah Al baik-baik saja," ucap ibu Narti, sembari memberikan suport agar kondisiku tidak semakin drop.

Perjalanan hampir 1 jam, kami pun sampai ke rumah sakit. Bergegas aku pun berlari menuju ruang recepsionis disusul Bu Narti dan suaminya. Tak terasa, langkah kakiku ternyata hanya berlapis telapak kaki. 
Aku tak memikirkan kondisiku. Saat itu yang ku fikirkan bagaimana kondisi suamiku.
"Mohon maaf, Pak Andi berada di ruang mana? Tanyaku ke pihak penjaga.

"Sebentar bu. Saya lihat di buku daftar. Ini tertera suami ibu dirawat di ruang lantai dua. Sebelah kiri, nanti bertemu ruangan sebelah ruang persalinan," sahut salah satu petugas.
Seakan tak perduli atas keberadaan Bu Narti beserta istrinya dan anaku. Lantas aku pun langsung berlari menuju ruangan yang disebutkan petugas tersebut. Begitu pula Bu Narti dan Pak Dian turut membelakangi ku.

Lantaran kondisi rumah sakit sangat luas. Setidaknya sudah 5 kali ku bertanya kepada petugas medis, dimana ruang suamiku di rawat. 
10 menit sudah berkeliling mencari ruang tersebut. Akhirnya ruangan yang ditempati suamiku pun yakni IGD terlihat.
Tanpa bertanya kembali ke petugas. Satu-persatu tirai pembatas antar pasien pun, harus ku singkap. 

Dipojok ruangan, suamiku terbaring dalam kondisi belum sadarkan diri. Spontan tangisan ku pun kian tak terbendung. Seakan tak peduli arahan petugas medis, ku goyang-goyangkan tubuh suamiku.
"Ayah bangun ayah... Al ada disini ayah. Al ingin ayah pulang," ucapku terbatah-batah.
Melihat kondisi ku yang sudah tak terkontrol, Bu Narti menghampiriku.
"Bu Al istighfar.. Kasihan suamimu..," ucap Bu Narti dengan nada tegas.

Tangan Bu Narti seketika menarik ku. Pelukan Bu Narti yang ku anggap sosok ibu bagiku, semakin erat mendekap ku. 
"Istighfar, lebih baik kita berdoa. Kasihan dirimu, kasihan suami dan anakmu," kata Bu Narti.

Mendengar nasihat itu, tubuh yang semula layu pun bangkit. Saat itu, aku pun hampir pingsan lantaran tak percaya atas kejadian ini.
"Biarkan suamimu istirahat. Lebih baik tenangkan dirimu dengan sholat. Berhubung sekarang sudah masuk sholat ashar. Doakan suamimu didepan sajadah," ucap Bu Narti yang terdengar turut diamini oleh suaminya.

"Ini sajadah dan mukenah. Ambil wudhu lalu sholat ya Bu," ucap Bu Narti.
Suasana diruang tempat suamiku dirawat, yang semula penuh tagisan, berganti keheningan. 
Teringat suamiku kerap menasihatiku. "Dimanapun kita berada, kewajiban kita kepada Allah jangan pernah ditinggalkan".
Tatapan semu yang semula tertuju ke suamiku, bergeser ke ujung ruangan. Tepat diujung ruangan, terdapat mushola yang memang disediakan untuk pengunjung. 

Kumandan azan memecahkan keheningan. Bergegas dengan terpaksa ku tinggalkan suamiku, dan langsung menghampiri mushola. Dengan tubuh yang masih lemah, aku pun berwudhu. 
Jamaah mushola yang notabene pengunjung pasien, terlihat hampir memenuhi tempat ibadah itu. 
Ku lihat telah disediakan mukenah, aku pun berjamaah dengan ibu Narti.

Dalam diam usai menjalankan sholat wajib. Lisan yang terbatah-batah, bermunajab dan meminta pertolongan Allah agar suamiku diberikan kesembuhan.  
Selama ku berdoa demi kesembuhan suamiku. Tak diduga, waktu besuk pasien ternyata berakhir.
Lantaran berada di sudut ruangan, aku pun tak dapat melihat kembali suamiku.

Waktu menunjukan pukul 05.40, tagisan bayi yang tak lain anakku terdengar. Dengan tubuh yang semakin melemah, ku hampiri Bu Narti dan seketika langsung ku peluk buah hati kami. 
"Ayahmu tengah berjihad nak. Allah sayang dengan keluarga kita nak," celetus lisan ku, sembari memberikan ASI di salah satu ruang kosong.

Dari luar ruangan, kembali terdengar suara bu Narti.
"Bu Al, sini biar aku yang menjaga Al. Kamu istirahat saja, sembari kita menunggu pintu ruang terbuka," ucap Bu Narti.
Lantaran memang kondisi fisik telah drop. Buah hati kami yang tengah terlelap tidur, dengan terpaksa ku serahkan ke pangkuan Bu Narti.

Dalam benak, tersirat aku hanya bisa berserah diri kepada Allah.
Pamit ke Bu Narti, langkah kaki ku kembali tertuju ke mushola.
Menunggu datangnya waktu sholat Maghrib. Aku menjalankan sholat sunnah Qabliyah. Teriring doa terus ku panjatkan agar suamiku sadarkan diri.
Usai menjalankan ibadah Sunnah dan wajib. Tanpa diduga, mukizat pun menghampiri. 

Terdengar dari ruang mushola, suara bu Narti memanggil.
"Bu Al apakah sudah selesai ibadahnya? Petugas medis menyampaikan kalau, Ayah Al sudah sadarkan diri,", tutur Bu Narti.
Mendengar hal itu, segera ku rapikan alat sholat. Langkah kaki kian lantang, demi segera melihat kondisi suamiku.

***

Demikian contoh cerpen islami terbaik karya ASj. Dikutip dari Grup Komunitas Belajar Menulis (KBM) di Facebook.

(Catatan Penutup)

Terima kasih telah berkunjung ke website Sampah Kata.
Salam kopi pahit...

Seniman Bisu
Penulis Amatiran Dari Pinggiran
Secarik Ocehan Basi Tak Lebih Dari Basa-Basi

Post a Comment