Cerbung Filosofi Randa Tapak "Negeri Antara" Halaman 10 Karya Muraz Riksi
HALAMAN 10
Tibaku di rumah Pak Isman, keluarganya
menyambutku dengan ramah. Dua anak laki-lakinya yang masih kecil. Istri Pak
Isman tidak hanya terlihat sebagai sosok ibu namun caranya menyambut suaminya
pulang begitu mulia. Di depan pintu, ia tersenyum saat melihat suaminya telah
pulang. Wajah yang tersenyum itu tidak hanya menggambarkan perasaan bahagia
tapi terlihat juga perasaan rindu. Demikiankah yang dinamakan cinta sebuah
keluarga?
Siluet-siluet kebahagian itu pertama kali aku lihat
di kehidupanku ini. Selama ini aku hanya membacanya di novel-novel. Terkadang
saat aku melihat kebahagian yang sedang terjadi di depan mataku menjadi jarum
kesedihan untukku. Mengingat aku hanya sebatang kara.
Segelas kopi robusta
dengan bubuknya di dasar gelas. Aromanya begitu kuat, merasuk tajam dalam
hidungku. Bukan sebagai penenang namun aroma dan rasanya mampu menenangkan jiwa
sepi sepertiku. Istri Pak Isman menghidangkan kopi itu kepadaku. Dengan wajah
cengar-cengir, aku meminta izin kepada Pak Isman dan istrinya untuk duduk di
teras belakang rumah sembari menikmati sisa-sisa senja.
Tidak diantara kita yang hidupnya sempurna,
tidak ada diantara kita yang hidupnya serupa, tidak pula harus seperti yang
kita rencanakan. Karena kita tahu bahwa qadar adalah garis yang pasti tidak
satu orang pun dapat mengubahnya. Ia serupa takdir dari Sang Pemilik Semesta.
Adakah manusia yang dapat membolak-balikkannya?
Nasib, mungkin saja dapat diubah tergantung
dengan proses dan ketekunan dalam berusaha. Yang takkan dapat mengubah nasibnya
adalah proses yang jalannya adalah protes. Ia bisanya protes atas hidup yang
tidak sempurna, protes atas musibah yang menghampirinya, protes atas takdir
yang tidak sesuai keinginannya. Itulah proses yang takkan pernah bisa mengubah
nasib.
Lantas diam saja juga bagian dari proses. Maka
bertindak adalah proses yang tepat untuk mengubah hal yang tidak tepat.
Demikianlah kebenarannya namun ada kebenaran lain yang sedang terjadi, katanya
tidak sempat. Seringkali kita menunggu waktu yang tepat sebagai kesempatan yang
baik.
Padahal kita lupa bahwa kesempatan yang baik adalah memulai proses tanpa
memikirkan mana waktu yang tepat. Sebab kita tidak dapat menerkanya. Maka
proses itu harus berjalan diantara waktu, artinya dalam ruang semu dan panjang
itu akan ada kesempatan yang tepat.
Hari ini, demikianlah prosesku menemukan alasan
tentang kehidupanku. Negeri Antara merupakan satu Gampong di Kecamatan Pintu
Rime Gayo Kabupaten Bener Meriah. Apa yang menarikku ketempat ini, alasan
pertama adalah gajah, yang kedua adalah bahasa. Sebagai bagian dari Aceh, gayo
adalah salah satu suku di Aceh yang memiliki kekayaan budaya.
Semesta yang
masih menyimpan banyak keindahan yang belum sepenuhnya dijarah kerusakan. Malam
ini raga dan jiwaku ada di atas tanahnya Negeri Antara, yang melengkapi
kekosongan dari hati yang kesepian. Pak Isman adalah jendela awal dari sebuah
perjalanan...
Ada apa dengan mereka? Mengapa hidupnya
diprioritaskan pada dunia. Apa alasan mengubah tatanan hutan menjadi
perkebunan? Mengapa satwa liar seakan penghuni yang harus keluar dari
lingkungannya? Lalu anehnya lagi berita-berita tentang satwa langka, satwa yang
dilindungi semakin berkurang. Semacam kampanye kesedihan diumbar namun kejadian
serupa tetap dilakukan.
Apakah ada golongan yang membedakan? Semisal para
pejuang lingkungan dengan penjarah hutan. Dalam renungku seorang diri, saat
berita gajah liar masuk pemukiman. Ada rumah yang dihancurkan kawanan gajah,
ada pemukiman penduduk menjadi lintasannya gajah. Bukan mereka yang tinggal di
sana, mereka keduanya menjadi korban.
Gajah-gajah itu bukan sedang dendam atau
bentuk protesnya dengan memasuki pemukiman. Kukira mereka hanya kekurangan
ruang untuk hidupnya. Persoalan utamanya dalam analogika konyolku, aku punya
sepuluh saudara. Ayah dan ibu diam atas perlakuan kakakku merusak hutan,
melakukan penebangan liar. Lalu empat orang kakakku yang lain cuma bekerja
karena perintah kakak yang paling tua.
Unjuk protes dilakukan oleh 2 orang
kakakku lainnya, 2 orang lagi sibuk merilis berita. Sedang aku diam dan tidak
bisa berbuat apa-apa, mau protes status hanya anak bungsu. Melihat ayah dan ibu
yang sebenarnya tahu apa yang dilakukan oleh kakak sulung adalah salah,
ditambah lagi ayah dan ibu membiarkan empat kakak lainnya bekerja sebagai buruh
untuk kakak sulung.
Komplek sebuah drama dalam keluargaku berjalan seakan hal
yang nyata, artinya ini bukan drama kolosal karena jelas-jelasnya adalah
realita. Peliknya lagi, peranku hanya penonton dan kapasitasku tak lebih dari
rasa pasrah atau aku juga salah atas tindak-tanduk kakak-kakakku. Rumit bukan?
Meskipun kesannya drama kolosal tapi keluargaku sudah lama dengan perannya
masing-masing.
Kiraku yang bodoh ini, apa yang mau dikejar. Hidup berlimpahan
harta tapi lingkungan tidak lagi nyaman, udara semakin panas, hutan terus
dijarah, satwa seiring waktu pelan-pelan musnah atau hidup seadanya namun hutan
masih lebat seyogyanya. Satwa tidak langka, mereka tersebar dimana-mana.
Lalu
gajah pun tak perlu masuk jalur pemukiman warga. Kita punya ruang masing-masing
dan kita juga bebas dari kejaran kartu kredit atau tagihan listrik. Iya tagihan
listrik, kau kira listrik itu mengalir sendiri kesetiap rumah?
Tidak, listrik ada karena ada zat dari bumi yang
diambil. Minyak bumi sebagai salah satu bahan bakar yang digunakan untuk
membangkitkan listrik menggunakan mesin penghasil karbon dioksida.
Setelah jejak hayalku, pemikiran bodohku
menemani malam pertamaku di Negeri Antara. Tepatnya di rumah Pak Isman menjadi
rumah pertamaku bermimpi di Negeri Antara. Hingga kantuk mengusiknya dan malam
larut tenggelam oleh tidur lelahku.
Cuacanya mendung, udara yang sejuk dan asrinya
alam menghipnotisku untuk berlama-lama berdiri di belakang rumahnya Pak Isman.
Pohon-pohon cemara sedang menari riang. Sesekali terdengar burung-burung
berkicauan.
Tatapku di bawah atap langit pagi, semesta belum berhenti berotasi.
Lantas mengapa kita harus berhenti melangkah? Hanya karena hidup belum
sepenuhnya terarah. Bukankah sebaiknya kita mencari jalan, dimana setiap
pijakan adalah cerita yang harus diuraikan.
Kembali pada secangkir kopi dengan musik kecil,
sebuah buku catatan dan kisah klasik kutuliskan. Kenangan, segelintir orang
menganggapnya sebagai sampah yang harus dilupakan. Mungkin terlalu pahit atau
ampasnya terlalu tawar untuk disimpan.
Bagaimanapun kenangan itu tidak hanya
untuk dikenang namun ada cerita yang semestinya tetap diingat. Memori tentang
seseorang, tentang sosok ayah atau ibu dan bisa jadi memori indah yang
terkelupas seiring waktu.
Seseorang itu sebelumnya adalah topeng, kita
hanya mengenal baiknya, pesonanya namun saat kita telah searah dan telah hidup
sejalan maka pelan-pelan aslinya akan bermunculan. Setiap orang selalu
memenangkan egonya, entah itu sesuatu hal yang harus dipertaruhkan ataukah ego
itu memiliki terjemahan sebagai kuasanya seseorang.
Banyak paradigma yang
berdebat, mempertahankan argumentasi masing-masing. Menilai dengan sudut
pandang sendiri lalu menyudutkan siapapun dan apapun yang menghalangi.
Tujuannya satu memenangkan ego sendiri, karena ego itu menggambarkan kuasanya
seseorang.
Di negeri ini tidak butuh orang cerdas, pentingnya kualitas dalam
segi mayoritas. Artinya jika kau menjadi seseorang maka ada peran yang harus
kau pilih. Pertama menjadi pendukung seseorang yang memiliki jabatan atau kau
sendiri yang harus menjabat pada satu kekuasaan agar kau memiliki pendukung
sendiri yang siap meramaikan. Jika tidak di dua peran itu, maka kau akan
menjadi manusia yang hidup sendiri, tepatnya tidak akan memiliki relasi.
Analogikanya kau seseorang yang tidak memiliki
relasi dan tidak memiliki kuasa sebagai salah satu dari para petinggi maka
dalam hal pengurusan administrasi tentunya harus mengikuti aturan mengantri.
Lantas sebaliknya maka berkasmu bisa masuk lewat pintu depan tanpa harus
mengantri.
Randaaa!
Seru panggilan itu membuyarkan konsentrasiku
menulis. Pak Isman datang menghampiriku. "Bapak mau ke kebun kopi, kau mau
ikot?"
"Tidak Pak, Randa duduk di rumah
saja".
Kembali kubuka buku catatan, tanpa judul aku
telah menuliskan bentuk pemikiran. Yang kutulis tadi semuanya adalah sampah
kata. Sebagai coretan yang menyeberangkan pemikiran dan hayalan menjadi kalimat
tanpa awalan atau akhiran. Tanpa penutup, tulisanku berakhir begitu saja.
Negeri ini bukan negeri dongeng yang barangkali
hayalan itu adalah kenyataan. Negeri ini nyata, setiap hal yang kau inginkan
belum tentu ada kecuali kau berusaha mewujudkannya.
Semestinya negeri ini mengajarkan kita tentang
bertahan dari setiap hinaan karena kegagalan. Bukankah setiap kita dihadapkan
pada permasalahan? Semuanya sesuai dengan kesanggupan kita dalam melewatinya.
Sayangnya banyak beranggapan bahwa masalah yang mereka lalui lebih sulit dan
berat dari masalahnya orang lain. Bahkan mereka memilih berputus asa. Pilihan
itu pun dalam keadaan sadar namun mereka tidak menyadarinya jika itu pilihan
yang salah.
Beratapkan langit Negeri Antara, masihku di
rumahnya Pak Isman. Beranjakku dari tempat duduk di teras belakang, cangkir
kopi yang telah kosong dan keputusanku menjelajahi kampung ini. Terlihat dari
jauh sebuah puncak dengan awan yang menutupinya. Ibaratnya hijab seorang
perempuan, kudengar wajahnya amat cantik. Ia sendiri di jaga oleh Gunung
Geureudong. Tak salah lagi, itu dia Puncak Burni Telong. Gunung api yang sedang
diam bersemedi, mungkin suatu hari ia akan bangun dari semedi panjangnya.
Burni Telong memiliki ketinggian 2624 Mdpl yang
terletak pada koordinat 4 derajat 38’47”- 4 derajat 88’32” LU dan 96 derajat
44’42”- 96 derajat 55’03” BT. Gunung api ini terletak di Kabupaten Bener Meriah
yang merupakan gunung api termuda yang terdapat di dalam suatu komplek gunung
api tua yang terdiri dari Gunung Salah Nama, Gunung Geureudong dan Gunung
Pepanyi.
Burni Telong yang dalam bahasa Indonesia
diartikan dengan gunung yang terbakar sedangkan masyarakat setempat menyebutnya
dengan Burni Cempege yang dalam bahasa Gayo mempunyai arti gunung yang penuh
belerang. Gunung api termuda ini pernah meletus pada tanggal 07 Desember 1924.
Burni Telong termasuk dalam tiga gunung berapi yang bertipe A atau aktif, yaitu
gunung Seulawah Agam di kabupaten Aceh Besar, Gunung Peut Sagoe di
kabupaten Pidie, dan gunung Burni Telong di Bener Meriah.
Jari tanganku cepat, seketika melihat wajah
Burni Telong maka seketika itulah aku mencari informasi tentangnya. "Kau
sedang apa disini?" Tanya Pak Isman. Sedang melihat kecantikan Burni
Telong Pak. "Ayo kita pulang" ajak Pak Isman dengan garis tipis yang
melengkung di atas dagunya.
Atap negeri di Negeri Antara adalah langit yang
sama di tempat kamu sedang berpijak. Hanya saja kau dan aku masih terlalu jauh
bahkan kita belum saling mengenal. Sang Pencipta masih merahasiakannya atau aku
yang belum siap untuk mengatakan sesuatu kepadamu ketika kita telah saling
bertemu. Seperti halnya yang paling berat bagiku adalah rindu. Ketahuilah bahwa
hal yang harus kulakukan saat ini adalah menemukanmu.
Tepatnya pada meja diskusi, nostalgia Pak Isman
membuatku terharu. Sungguh saat ia menceritakan ketika pertama kali bertemu
dengan istrinya. Hal lain yang membuatku menjatuhkan air mata adalah
detik-detik menunggu kelahiran anak pertamanya. Begini cerita singkatnya :
"Setelah subuh berganti kepada jingga,
suaranya mulai memanggil namaku. Terlihat jika seorang bayi mungil akan hadir
diantara kami. Berangkat kami menembus ruang yang masih gelap, udara yang
begitu sejuk dan tentunya dengan perasaan yang berdebar-debar. Bahagia, terlalu
sulit kata ini untuk diterjemahkan sebagai perasaan. Merangkainya saja begitu
berat apalagi menggambarkan perasaan bahagia menjadi sederet kalimat atau
sebuah deskripsi singkat. Setelah menempuh perjalanan lebih kurang sekitar 9
KM, seorang Bidan sudah menunggu di teras depan kliniknya. Bayi mungil, menjadi
seorang ayah, istriku akan menjadi seorang ibu adalah tiga hal yang paling
penting dalam hidupku.
Air mata bahagia yang menetes merupakan ungkapan
dari perasaan itu sendiri. Setelah mendengar kabar bahwa masih lama,
debar-debar hati berkurang. Menunggu adalah proses yang harus dilewati. Hari
kian senja, berlalu kepada malam kemudian berganti menjadi pagi. Empat hari
tiga malam masih dalam waktu menunggu hingga keesokannya diantara siang
menjelang petang, suara tangis bayi mungil terdengar olehku. Pertama melihat
wajahnya tersirat dalam hati, anaknya ayah.
Bahagia tentu perasaan yang teramat indah. Kulihat
istriku terbaring lemah. Aku sadar, ada perjuangan yang sangat berat telah
dilaluinya. Menjadi seorang ibu tidak hanya tentang kodrat namun setiap tetes
keringatnya saat melahirkan adalah ketulusan yang sangat hebat. Mungkin jika
itu diposisikan pada seorang ayah, maka dapat dipastikan hal itu tidak akan
pernah terjadi. Demikianlah Rasullullah berkata bahwa tiga kali menghormati
ibumu dan barulah ayahmu.
Pulang kami dari klinik, istriku sedang
menggendong anak kami. Sesekali tangisan anakku terdengar seperti lagu sendu di
bawah langit biru. Setiap harinya tangisan mungil itu mengisi rumah kecil kami.
Rasanya telah sempurna hidupku. Bahwa menjadi seorang ayah adalah impiannya
setiap laki-laki".
"Randa kelak kau pun akan merasakan hal
yang sama dengan bapak".
Tertawa kecilku membuat Pak Isman mengerut
dahinya.
"Aku belum memikirkan sejauh itu Pak.
Apalagi berbicara tentang anak atau berumah tangga, kekasih saja aku tidak
punya. Jika pun ada, aku akan tinggal dimana? Siapa nanti yang akan
mendampingiku saat akad nikah nanti atau siapa keluargaku yang akan menjadi
wali".
Ada apa dengan kehidupan ini, kenapa banyak
manusia menceritakan masalahnya di tempat yang tidak seharusnya. Apakah itu
semacam penenang, ketika sebagian memberikan pendapatnya laksana kata-kata
motivasi.
Padahal di belakangnya kebenaran lebih pahit, caci maki dan
hujat-menghujat pun terjadi. Bagaimana tidak, mereka tahu seseorang yang mereka
kenal sedang ada masalah lalu mereka menyimpulkan masalah itu sesuka hati.
Haruskah mengatakan kepada dunia bahwa kita sedang ada masalah?
Demikianlah yang terjadi, banyak diantara kita
memenangkan ego diri. Mementingkan mencari dukungan atas pemikiran diri.
Padahal kata maaf dan renungan itu hal yang jauh lebih baik, kita dapat
memperbaiki kesalahan diri dan mengurangi konflik batin. Sayangnya pemikiran
yang demikian tidak berguna lagi. Mencari kesalahan satu sama lain seakan hal
yang jauh lebih penting daripada merencanakan kembali kebahagiaan yang sedikit
tergores karena kesalahpahaman.
"Malaikat tak pernah salah. Setan tak
pernah benar. Manusia bisa benar, bisa salah. Maka kita dianjurkan saling
mengingatkan, bukan saling menyalahkan". Kata-kata Gus Mus itu tidak hanya
tepat tapi suatu kebenaran yang harus selalu diingat. Kita manusia yang terlahir
dalam keadaan suci, lalu keadaan dan masa yang mengubah kita menjadi ternoda
oleh ego, benci dan merasa paling benar diri.
Adakah salah merenung diri? Mencari kesalahan
diri sebagai kekurangan yang harus diperbaiki?
Kita lebih sering mencari kesalahan orang
ketimbang merenung kesalahan diri. Ahli hikmah berkata, "Ingatlah olehmu
dua perkara, yaitu kesalahanmu pada orang lain dan kebaikan orang padamu. Dan
lupakan pula dua perkara, yaitu kebaikanmu pada orang lain dan kesalahan orang
lain pada dirimu."
Nilai seseorang bukanlah dilihat dari penampilan
dirinya, bukan pula dari harta benda yang dikumpulkannya. Apalagi dinilai dari
jabatan yang di dudukinya, bukan pula dari pangkat dan tanda jasa yang
disematkan di dadanya, tetapi seseorang dinilai dari budi pekerti luhur yang
menghiasi dirinya.
Pertama, mengingat kesalahan yang telah dilakukan pada orang
lain. Orang yang memiliki kesadaran tinggi terhadap kesalahan dan
kekhilafan yang pernah dilakukan maka akan muncul dalam dirinya rasa penyesalan.
Penyesalan ini akan mendorongnya untuk memperbaiki diri, keadaan ini disebut
dengan meminta maaf.
Kedua, mengingat kebaikan orang terhadap
dirinya. Dalam kehidupan kita memerlukan kehadiran orang lain, kebutuhan akan
masyarakat dan lingkungan merupakan suatu kemestian. Pada dasarnya kehidupan
ini sangat bergantung kepada orang lain. Letak kebahagian hakiki adalah
dengan membahagiakan orang lain. Rasulullah saw bersabda,"Tidak sempurna
iman seseorang sampai dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai
dirinya sendiri" (HR Bukhari-Muslim).
Ketiga, melupakan kebaikan yang telah dilakukan
kepada orang lain. Setiap kebaikan yang kita kerjakan hendaknya didasari
keikhlasan, yaitu semata-mata mengharapkan keridhaan Allah. Kebaikan tidak ada
nilainya kalau diiringi dengan menyebut-nyebutnya. Firman Allah, “Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu hilangkan pahala sedekahmu dengan
menyebut-nyebut dan menyakiti (perasan penerimanya) (QS Al-Baqarah : 264)
Keempat, melupakan kesalahan orang lain. yang
dimaksud dengan kesalahan orang lain adalah membuka pintu maaf atas
kesalahan yang telah di lakukan orang lain.
“Hidup itu seperti penjaga gawang. Tak peduli
seberapa kali penyelamatan tercipta karena orang hanya ingat saat gol
tercipta”.
Perumpamaan hidup ini memang seperti halnya
penjaga gawang dalam permainan sepak bola tak peduli seberapa banyak dia
melakukan penyelamatan cemerlang, orang-orang hanya akan mengingat kesalahan
yang dia buat dengan terciptanya gol di gawangnya. Artinya kebanyakan orang
hanya akan mengingat kesalahan yang orang lain lakukan, tanpa melihat kebaikan
yang dilakukan orang tersebut sebelum melakukan kesalahan.
Jangan menjadi benar dengan melihat banyak orang
membenarkan. Jangan menganggap salah saat sedikit yang mengatakan benar. Namun
lihatlah pada hakikatnya, meski sedikit orang memahaminya. Jika mutlak itu
benar maka itulah kebenarannya.
Hanya orang asing, mungkin dunia atau manusianya
telah membenarkan bahwa emosi adalah hal yang wajib diekspresikan. Salah
satunya dengan menutupi diri dari orang yang paling dekat. Padahal cara paling
baik adalah saling bicara, menyampaikan semua keluh kesah perasaan. Saling
menyampaikan hal baik, tentunya akan melahirkan kebaikan pula.
Bagaimana rasanya menjadi orang asing padahal
kau mencintainya melebihi dirimu?
Bagaimana rasanya diasingkan oleh orang yang
teramat kau sayang?
Begitu mengetahuinya, kau ada dibarisan ketiga
dari orang asing. Sungguh perih sayatan itu mengiris hati. Layaknya pisau kecil
mengiris badan lalu ditaburkan garam pada lukanya.
Meremehkan hal-hal kecil membuat orang melupakan
bahwa dari hal kecil akan ada dampak yang besar. Akan aku analogikan, semisal
sebatang bibit pohon mangga dengan akarnya terjatuh di jalan lalu kau
mengambilnya dan menanam di suatu tempat maka 5 tahun kemudian bibit itu telah
menjadi pohon yang siap berbuah.
Bukankah contoh di atas adalah tindakan kecil?
Namun dampaknya begitu besar. Analogika berikutnya, letakkan satu ember air
lalu tuangkan satu sendok bubuk kopi. Apakah air itu masih jernih
Demikianlah hal kecil akan merusak banyak hal
termasuk sesuatu yang lebih besar darinya.
Hanya orang asing, pelan-pelan disiksa perlahan.
Dibiarkan air matanya kering. Ketahuilah bahwa air mata itu telah kering,
takkan tumpah lagi. Hati dan perasaannya telah terbiasa dengan siksa, dibiarkan
sayatan itu melukai tubuh.
Demikianlah cinta, mencintai orang yang tidak
mencintaimu ibaratkan bahagia yang dibalut luka. Ah sudahlah, aku hanya manusia
sebatang kara. Meski ayah menamaiku Randa Tapak namun aku tidak setegar Randa
Tapak yang tumbuh di alam sana. Aku memiliki perasaan yang mudah terluka.
Semoga ketika mencintai adalah jalan hidup maka jangan pernah lukai hati dan
perasaannya...
<<< Halaman 1 Lanjut Baca KLIK >>> Halaman 11
(Catatan Penting)
Filosofi Randa Tapak merupakan Novel Karya Muraz Riksi yang terdiri dari 2 bagian diantaranya "Bagian 1 Lembah Telaga Mane dan Bagian 2 Negeri Antara".
Dalam hal ini admin menekankan bahwa sumber tulisan dan hak cipta sepenuhnya milik penulis. Selamat membaca!.
Profil singkat penulis :
- Instagram Muraz Riksi
Terima kasih telah berkunjung ke website Sampah Kata.
Salam kopi pahit...
Seniman Bisu
Penulis Amatiran Dari Pinggiran
Secarik Ocehan Basi Tak Lebih Dari Basa-Basi
Post a Comment