Cerpen Judulnya "Perjalanan" Karya Rumul Kareemah

Table of Contents

 

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Salam kopi pahit...
Cerpen ini dikutip dari FB pada sebuah Grup Pecinta Literasi Indonesia, karenanya jika teman-teman ingin mengenal sosok penulis maka cukup klik pada nama penulis di bawah judul cerpennya.

Dalam hal ini admin menekankan bahwa 
sumber tulisan dan hak cipta sepenuhnya milik penulis. Selamat membaca!.


Perjalanan

Karya : Rumul Kareemah


Setengah dekade telah berlalu. 

Aku di sini, masih meratapi sisa-sisa rindu. Namun perjalanan ini, harus selalu berada dalam keseimbangan. Meski rapuh, jangan terjatuh.

----------

Malam ini, aku terbangun dari mimpi-mimpi yang amat panjang. Lagi. Kulirik beberapa tumpukan buku agenda yang berbeda, meski, dengan catatan impian yang sama.

Tangan mengulur, mencoba meraih buku yang bersampul hitam paling atas.

Namun, tak jadi. 

'Segila inikah aku, Dailami?.' Batinku.

Tanganku memeluk lutut yang ditekuk, menenggelamkan wajah dengan beberapa gerutu. Semua tentangmu membuatku frustasi kembali. Apakah aku  bisa menjalaninya sendiri?

Beberapa hal yang terjadi menjadi lebih buruk dari pada kenangan yang menghantui. Aku terobsesi jika itu harus terjadi lagi. Apakah aku harus menyusulmu ke alam baka? Agar kita bisa terlahir kembali, menjadi sepasang kekasih yang abadi. Percayalah sayang, akan kulakukan apapun demi itu.

Kulirik sebuah kotak kecil yang berada di samping jam beker, tanpa sadar, kuseret dalam pelukan, hingga akhirnya terlelap.

------

Kulafalkan beberapa kalimat ayat-ayat dan do'a. Awan gelap berbondong-bondong menutupi sinar matahari di siang itu. Seperti tahu bagaimana kelamnya hati ini menahan isak sesal yang sebenarnya tak mampu lagi tertahan dan disembunyikan.

Tik! Tik! Tik!

Air mata menetes bersamaan dengan tetesan air dari lagit. Langit pun menangis.

Beberapa helai bunga yang kupetik dari pekarangan rumah segera dikeluarkan dari kantong keresek untuk ditaburkan.

Aku beranjak, meninggalkan benih rindu yang masih menjalar di relung kalbu. Melewati pohon-pohon beringin, gang kecil, jalan raya, gang kecil lagi, hingga tiba di suatu tempat yang masih masih berantakan dengan bahan-bahan bangunan yang berserakan.

Kuhampiri tenda, untuk berteduh, dan menemui seorang lelaki yang sedang berteduh di sana.

"Assalamualaikum, Kang."

"Waalaikumussalam, Neng Ikna."

"Ikut berteduh, Kang."

"Oh, mangga atuh Neng," Kang Mi'raj memeprsilahkan, "Neng kesini sengaja, atau mampir aja?" tanyanya dengan antusias.

"Seperti biasa..., sambil aja Kang." 

"Tak baik loh Neng, wanita ziarah sendirian. Apalagi jika itu hanya menambah kesedihan," tuturnya.

Aku hanya terdiam, mendengarkan apa yang Kang Mi'raj katakan. Memang benar, ada beberapa cerita yang menjadi keyakinan di kampungku tentang sang mayit akan mendapatkan siksa jika seseorang --dari keluarganya, atau orang terdekatnya-- bersedih secara berlebihan.

Tetapi, salahkah jika kobaran rindu ini tak pernah padam?

Kuamati sekeliling rumah setengah jadi itu, sampai pada tumpukan beberapa bongkahan kayu persegi di bawah pohon mangga. Dan ingatan itu, terlampir kembali.

--------------

Hujan mulai deras, tak ada yang bisa menutupi kepalaku kecuali tas kecil ini. Hingga kuputuskan menutup sebagian dari kepalaku agar sedikit mengurangi serangan tentara dari awan mendung.

Arrggh! Aku lupa membawa payung.

Dan lagi-lagi, harus berlari. 

Kulihat pohon mangga besar di depan sana, dan sebuah bangku tua dari bambu yang memanjang.

Ah! Tempat berteduh!

Merasa sedikit lega. Di sini memang kering, seperti biasa. Lebatnya daun dari pohon tua ini seperti tak memiliki celah untuk air hujan terjun ke tanah yang dinaunginya. 

Aku duduk di tepi bangku, karena seorang pria dengan jas hujan sedang duduk di tepian lainnya dengan memandang motor yang diparkirkan di sampingnya. 

Kuamati punggung itu, sepertinya terjebak lamunan. Dia sama sekali tak menoleh ke belakang. Padahal hentakan suara kakiku cukup keras, kurasa. 

Aku mulai memperhatikan motornya. 

Ah, aku mengenal motor ini.

 Kuputuskan untuk berpura-pura melamun. Seperti dirinya.

"Na?" sapamu waktu itu setelah sekian lama kita tak bertemu. 

"Kau masih mengingatku? Kang Imi?" tanyaku balik.

"Kenapa kau bertanya seperti itu, Ikna?" dia terkekeh dengan lengkingan itu. Suara yang mampu menghangatkan hati meski berada di tengah hujan salju, sekalipun.

"Kamu sedang apa di sini?"

"Seharusnya tak ada pertanyaan," jawabku, ketus.

"Kau masih sama seperti dulu. Selalu membuat pertanyaanku seolah tak perlu diutarakan." Dia terkekeh.

Aku tak menjawab. Yang terdengar, hanya suara gemercik rintikan deras yang menghujam rumput-rumput kecil dan jalan. Juga suara detakan jantung yang sepertinya akan membunuhku di tempat ini sekarang juga. 

"Umi sehat?" tanya Kang Imi, memecah keheningan.

"Baik, Alhamdulillah. Kalau umi akang sendiri?"

"Alhamdulillah baik." Dia menunduk, seperti sedang merenungkan sesuatu, "eh, kenapa enggak nanya kabar aku?" tanya-nya lagi.

"Akang berada tepat di depan mata saya. Berarti sehat wal afiat, kan?"

Kami saling lempar tawa kecil, seperti biasa. Ada rasa canggung yang tercipta saat kami hanya berdua setelah aku mulai dewasa, dan ia, semakin menua.

"Na," Kang Imi mengeluarkan sebuah buku dari dalam tasnya, "ini buku sejarah yang kamu cari tiga tahun lalu itu." 

"Eh? Masih ingat?"

"Jangan tanya, masa lupa sama keinginan adek sendiri."

Adek.

Ya, selalu ada sekat yang menjulang tinggi untuk rasaku saat dia menyebutkan itu. Perhatiannya selama ini tak lebih dari alasan itu. Dan aku harus meneguk kenyataan dengan terus menyimpan bagaimana perihal rasaku.

"Ya Allah Kang..., itu mah masa lalu. Sekarang, aku udah dewasa dan menjadi wanita yang sesungguhnya," tegasku, pura-pura. mencoba mengusir detak yang semakin  tak beraturan.

"Tapi jomblo." Kang Imi tertawa.

"Memangnya, siapa yang selama ini enggak laku-laku?" 

Dan kami pun tertawa di bawah kidung mangga, dan dentuman air hujan yang mulai mereda.

Selalu ada kehangatan jika suasana sudah begini. Tawa bahagianya membuatku ingin dianggap lebih. Kekasih, misalnya.

"Na?" tanyanya.

"Aku masih mengingat betapa cengengnya kau saat dulu. Tapi, sekarang, sebagaimana apa yang kamu katakan, memang sudah terlihat menjadi wanita yang sangat dewasa. Tak secengeng dulu." 

Pernyataan itu sukses membuat pipiku memanas. Memang iya, dia sangat perhatian. Sehingga aku merasakan kehadiran sosok seorang kakak darinya. 

Ya, aku terlahir sebagai anak tunggal.  

"Tapi..., emm-?

"Tapi?"

"Tapi aku merindukan semua itu."

Mataku menerawang langit yang telah berhenti meneteskan hujan. Kulihat bagaimana potret masa lalu yang memutar di layar langit. Bagaimana aku menangis karena materi sekolah yang tidak aku kuasai, bagaimana aku menangis karena pemuda sekelasku yang teranggap sebagai cinta pertama, dan, dia selalu ada untuk menghibur, mengajari, dan, menjadi teman dimana aku sendirian, di pohon ini, kita mengukir berbagai tragedi yang mengesankan itu. Dan lagi-lagi, hari ini, pertemuan tak sengajapun terjadi di sini.

"Aku juga," kataku, tanpa disadari.

"Jadi?" 

"Eh?" Aku mulai sadar diri, "ja-jadi apa?" 

Dia hanya tersenyum. Dan hatiku, mengutuk diriku yang saat ini sangat malu.

Kenapa ngomong kayak gitu, sih? Batinku.

"Besok, aku menemui umimu." tuturnya.

"Eh?" 

"Ada yang mengatakan, jika cinta itu jatuh di mata turun ke hati. Tapi salah. Aku ingin didampingi oleh watak yang ada pada dirimu."

Wah, ini mah kode. Batinku dengan sumringah. 

Aku berusaha menahan kegembiraan hati ini. Harapan yang selama ini terpatri, ahirnya menjadi pelipur keresahan hati.

"Maksudnya?" Tatapanku terarah kepadanya. Dan dia menatap balik tepat sejajar dengan bola mataku. 

Deg!

Netra kami bertemu. 

Jangan senyum. Jangan senyum. Batinku.

"Kalau kamu enggak nerima lamaranku, aku berhenti menjadi kakakmu."

"Ngehasut nieee...."

Dia beranjak, memakai kembali helmnya. Tanpa kata, tanpa bahasa tambahan lagi, pergi ngeluyur seperti biasa.

Ish! Orang ini!

-----------

Rintikan hujan yang semakin deras mengembalikanku kembali dari masa lalu.

"Kayu itu untuk usuk. Insyaallah, lusa ini kita sudah bisa mengerjakannya, Neng," ucap Kang Mi'raj. Menyeretku kembali dari masa itu.

"Terima kasih telah bekerja dengan baik." Aku memberi rasa hormat pada kakak dari kekasihku ini.

----------

"Ikna, kamu yakin,  mau melanjutkan membangun rumah di sana? Apa tidak apa-apa?" tanya ibu dengan cemas. Aku hanya mengangguk. Air mata yang mati-matian kubendung dari tadi akhirnya membludak, meski tanpa mengucapkan kalimat apapun.

"Ibu bukannya tidak merestui apa yang tengah kamu perjuangkan. Ibu hanya khawatir denga dampak yang terjadi," tutur ibu. Ibu duduk di sebelahku, merangkulku yang tengah termenung dengan semua itu.

Aku terlambat untuk cinta yang begitu lama kusimpan. Rumah itu adalah jawaban dimana aku siap menjadi pengantinnya. 

"Jika itu membuatmu berlapang dada, teruskan. Jika tidak, yang terbebani bukan cuma kamu, tapi juga ibu, yang mungkin akan perlahan hancur melihat anaknya yang kian hari kian terjatuh pada lubang masa lalu." Aku memeluk ibu dengan sangat erat. 

Di dalam sini, begitu sakit, Ibu. Batinku.

"Bu?" Ibu tidak menjawab, "haruskah aku mengucapkan 'bersedia' di depan makamnya?"

TAMAT

Bandoeng 15 Juni 2021


***
Demikian cerpen yang dikutip dari FB pada sebuah Grup Pecinta Literasi Indonesia untuk dimuat dalam web ini. 

(Catatan Penutup)

Terima kasih telah berkunjung ke website Sampah Kata.
Salam kopi pahit...

Seniman Bisu
Penulis Amatiran Dari Pinggiran
Secarik Ocehan Basi Tak Lebih Dari Basa-Basi

Post a Comment