Kumpulan Cerpen Lucu, Cinta dan ALam "Melati Di Ujung Jalan" Cerpen Muraz Riksi
Cerpen Melati Di Ujung Jalan Karya Muraz Riksi
Hujan sedang turun beberapa hari ini, membasahi pori-pori tanah yang kekeringan beberapa bulan lalu. Rumput-rumput pun sontak menari riang, pohon-pohon juga lambai-lambai bergoyang.
Ada rahmat yang sedang dinikmati makhluk-makhluk Tuhan. Aku berdiri di dekat jendela, memperhatikan langit mendung, berharap ada cahaya yang menembus awan dan hujan pun bisa segera reda.
Melati di ujung jalan sedang diam, bunga-bunga jatuh menimpa tanah. Berguguran layaknya hujan, ranting-rantingnya bersedih. Bunga yang telah lama ia jaga gugur begitu saja. Aku masih melihatnya, melati itu tetap diam tanpa berkutik. Tak pun ia bergerak mencari tempat berteduh.
Entah ia sedang menangis atau air hujan yang membasahi ranting-rantingnya. Hujan semakin lebat, aku masih berdiri di dekat jendela. Sembari hatiku berdoa semoga ia tabah melewati persoalan hidupnya.
Tatapan tajamku mengarah ke jalan, mereka pura-pura tidak melihatnya. Bahkan mobil-mobil dengan sengaja menjatuhkan bannya ke lubang jalan agar air yang tergenang membasahi melati di ujung jalan. Apakah kurang basah kuyup melati itu? Mengapa mereka begitu tega bahkan sengaja.
Hujan-hujan terus membasahi pori-pori tanah, mobil-mobil terus lalu lalang. Tak ada yang berhenti memberinya payung. Tak ada yang bertanya mengapa ia berdiri di ujung jalan. Tak adakah yang bertanya?
Laki-laki dengan jaket hitam berjalan kearahnya, tanpa bicara sepatah kata ia memeluknya dengan erat. Aku masih melihat dengan tajam, laki-laki itu menangis dengan hebatnya.
Aku tahu air mata yang jatuh di pipi sangat berbeda dengan air hujan yang membasahi pipinya. Laki-laki itu melepaskan jaketnya dan memayungi melati. Ia menggenggam tangan melati dan berjalan pulang bersama.
Aku sadar,
di dunia ini hanya satu orang yang benar-benar memahaminya. Tak lain adalah
belahan jiwanya. Ia yang begitu tulus menjaga perasaan melati...
The End, 22
Desember 2019
“Cinta Kok Gitu” Cerpen : Muraz Riksi
Cinta adalah
rasa yang tak terduga, ia datang tak diundang dan masuk sesuka hati. Bermula
cerita ini saat seorang pemuda pinggiran sebuah kota kecil (sebut saja Kota
Juang) jatuh cinta. Perasaannya menggebu-gebu bak sang perahu yang sudah siap
melaju. Seakan ombak takkan mampu menghantam tubuh kaku. Hingga suatu hari
pemuda yang bernama Rafa selalu tersenyum bahagia. Ia cengar-cengir sendiri
dalam pusaran waktu. Ibunya datang dan menanyakan, "Kenapa senyum-senyum
sendiri bang?"
"Gak da
mak, lagi pengen senyum-senyum aja", jawabnya.
"Eummmmmm, pikir mamak, abang kesurupan. tumben-tumbenan abang senyum sendiri. biasanya abang asyik tidur sepanjang hari".
Berjalan dan terus berlalunya roda waktu, pemuda tersebut gelagatnya bagaikan orang yang bakalan dapat sesuatu. Saat malam harinya, Rafa duduk di ruang tamu dengan sebuah pena ditangannya. Buku baca dan buku tulis tergeletak di atas meja. Ia sedang membaca beberapa buku, setelahnya ia mulai menulis dengan sangat serius.
***(Tulisannya
Rafa)***
"Dari
sudut siku, aku lihat wajahmu yang lugu
"Ketenanganmu
sungguh membuatku tersipu
"Senyummu
membuatku ingin tau
"Siapakah dirimu wahai gadis ayu?
*** Tiba-tiba datang ibunya dan menanyakan, "Abang lagi baca dan nulis apa tu?. Semenjak kamu SMA sampai sudah Sarjana, mamak baru pertama kali lihat abang baca buku sama menulis.
Abang
kesambet setan apa?”. (Mamaknya dengan wajah bingung melihat tingkah anaknya
yang agak aneh selama beberapa hari ini). Sungguh sangat besar kekuatan cinta,
mampu membuat orang yang tidak pernah membaca, seketika menjadi pembaca banyak
buku. Yang jarang menulis seketika ingin menulis sesuatu.
"Abang
lagi coba buat puisi mak", jawabnya pemuda tersebut.
"Abang
sarjana pertanian, kok nulisnya puisi. seharusnya kalau mau nulis tentang
pertanianlah. masak larinya ke sastra". jawab mamaknya yang semakin heran.
"gini
lo mak, abang lagi jatuh cinta, lagi suka sama perempuan cantik di ujung desa
sana", tambahnya Rafa dari pernyataan mamaknya.
(Ha ha ha
ha) mamaknya ketawa.
"Eh dah
berani ya suka sama anak orang", kata mamaknya.
"Iya ni
mak, gak tau kenapa abang bisa suka sama si adek tu", jawabnya Rafa.
"Masih
minta uang jajan sama mamak, berani-beraninya suka sama anak orang. Gimana mau
jajan sama dia nanti. masak iya minta sama mamak juga. Kerja dulu sana, cari
uang yang banyak terus baru lah bilang suka sama anak orang. Itu 2 jempol mamak
angkat. Abang harus jadi anak yang serius dengan perkataan bukan asyik
menghayal semalaman. Abang, cinta seorang laki-laki sejati bukan dengan
perkataan sayang-sayangan, bukan dengan janji-janjian tapi berupa perwujudan
dengan lamaran. Itu baru laki-laki tangguh namanya", nasehat panjang
mamaknya.
Rafa hanya
tercengar-cengir. (he he he he)
"Shalat
isya dulu sana", seru mamaknya.
"Iya
maaaak", jawabnya.
"Shalat
ja masih perlu mamak ingatin berarti abang kan belum gedek, masih jadi anak
kecilnya mamak" tambah mamaknya sambil tertawa kecil.
"yeeeeeea,
mamak ngejek lah" kata Rafa sambil cemberut.
Rafa pun bergegas pergi untuk shalat isya…
Buku Pikiran
91, 26 November 2016
"Bunga Matahari Di Suka Tani" Cerpen : Muraz Riksi
Sedalamnya cerita hidup tidak pernah lepas dari pencarian. Ada begitu banyak keinginan yang gagal dipenuhi. Mungkin bahagia adalah dengan bermewah-mewahan, menikmati hidup bebas dari beban pikiran.
Selesaiku bertugas di Suka Tani, sebuah desa yang letaknya di perbatasan dari arah selatan Kabupaten Bireuen. Kopi, aromanya bercampur dengan udara sejuk, melihat kehidupan yang berbeda dari kebiasaan, tidak ada kebisingan meskipun aku duduk di samping jalan.
Ku seruput hangat kenikmatan, ada kelelahan yang terbayarkan. Benar-benar indah bila rasa syukur dikedepankan. Meskipun perjalanan pulangku jauh, namun keramah-tamahan mereka menghilangkan kepenatan.
Sore itu ada yang berbeda di Suka Tani, cahaya terang menyilaukan pandangan. Bukankah harusnya gelap, ditambah dengan mendung yang hendak menjatuhan butir-butir hujan?.
Bunga Matahari sinarnya mekar, senyumnya menebarkan keharuman yang begitu menawan. Siapa gadis cantik ini? Ku kira di warung kopi tempatku bersandar sepulang bertugas hanya ada emak-emak. Tak berani ku bertanya, ku letakkan uang kopi dan segera ku pergi.
Aku kembali
bertugas di Suka Tani, seminggu sekali aku datang ke sana. Pagi itu secangkir
kopi menemani kesendirianku. Tiba-tiba datang Sekretaris Desa dan menyapaku,
“selamat pagi anak muda, bagaimana dengan tugas hari ini?”. Alhamdulillah baik
bang, lancar dan minggu depan untuk tugas bulan ini sudah kelar, jawabku. Ku
seruput kembali kopi dan sekretek asap yang bercampur udara segar.
“Bagaimana dengan sore kemarin?, tanya Bang Syar. Itu nama panggilan untuk Sekretaris Desa Suka Tani.
Muraz : “Apanya Bang? Biasa juga seperti hari-hari yang lalu”
Bang Syar : “Bukankah ada pandangan yang berbeda?, Abang lihat Muraz larut dalam tatapan yang tajam itu?”
Muraz : “Abang terlalu berlebihan, aku hanya heran saja. Karena biasanya Mak Ni yang jaga warung”
Bang Syar : “Itu keponaan Abang, dia baru selesai mondok di dayah dan jika Muraz mau, Abang bisa kenalkan?”
Muraz : “Jangan Bang, aku hanya tertegun saja ketika melihat senyumnya”
Bang Syar : “Hmmmm, Abang kira lebih tepatnya, Muraz terpesona sama dia kan?”
“Hahahaha, Abang bisa saja menggodaku. Cukup sajalah dia menjadi Matahari di Suka Tani, temaram wajahnya adalah kecantikan alami tanah ini. Sungguh penilaian abang salah, aku sudah memilih kekasih yang ku kagumi, 21 Juni 2012 ia telah merenggut hatiku.
Cukuplah dia, kekasih yang ku kagumi menjadi sepotong senja yang mengisi lembaran tak berbatas tinta. Ku rasa satu hal yang belum mungkin untukku menceritakannya.
Cukuplah kekagumanku bertuliskan kebisuan dan rinduku
tertuang dalam doa yang ku sematkan padaNya”. Demikianlah kalimat panjang yang
ku sampaikan pada Bang Syar dan ia pun hanya tersenyum mendengarnya.
Suka Tani,
03 Mei 2018
"Aku Penjelajah Malam" Cerpen : Muraz Riksi
Aku adalah
penjelajah malam, berpetualang ditengah kesunyian. Mencari kehidupan yang bebas
dari pengkhianat perasaan. Yang cuma mengatakan cinta tapi tak pernah
mewujudkan. Aku benci kemunafikan yang melahirkan kebencian. Adakah semangat
yang lebih kuat dari sifat liar?
Seliar apa aku atau mereka dalam menggapai mimpi?
Mimpiku adalah menjelajah alam, ruang terbuka kehidupan dan menatap langit yang menghamburkan bintang-bintang. Dari tanah lapang aku berdiri, mencari secuil aksara yang mengikat hati pada pemiliknya.
Bukan janji atau mengharap simpati melainkan buih-buih puisi yang berhamburan dari semak belukar. Yang berceceran pada alang-alang dan bukan pada tanah lapang. Tanah kotor hasil residu manusia, mereka yang berlagak hebat dan sok kuat. Kalian tahu manusia seperti apa mereka?
Mereka adalah pengkhianat, rupanya mencabuli alam, kegiatannya merusak kehidupan. Membabat habis paru-paru dunia, memainkan bara api lalu mencukur bulu-bulu yang tumbuh pada tanah hijau Indonesia.
Mereka menggantinya dengan tanaman perusak lingkungan. Yang meresap habis aliran sungai, kering keronta dan terkadang akhir tahun, dimusimnya hujan banjir bandang melanda rumah-rumah kecil penghuni pinggiran.
Kalian tahu, aku benci pada mereka yang tak berkompromi dengan dunia ini. Mereka adalah manusia yang tak ada rasa. Yang hanya memikirkan diri sendiri.
Aku berdiri sendiri, menatap kemiskinan hati manusia penghancur bumi. Aku berjalan menjelajah malam, bertualang mencari ketenangan.
Menghindar dari manusia
penjual zat-zat kimia, yang mensosialisasikan kehidupan modern. Kalian tahu?
Sebenarnya merekalah perusak alam.
Aku berdiri
di atas puncak malam dan menunggu pagi menghadirkan kehangatan...
Puncak
Teulaga Mane, 30 Desember 2017
Apakah Kau Penjelajah? Muraz Riksi
Apakah kau
penjelajah?
Kuperhatikan hobimu terus mengikuti langkah dan bermain di tempat yang indah...
Salah, kau
salah.
Aku hanya bagian dari manusia yang meninggalkan sampah.
Pura-pura tidak sadar, plastik bekas makanan berserak di setiap celah, seakan tanah, batu dan sungai adalah tempat sampah. Itulah aku, manusia yang hobinya mengotori alam yang indah.
Lalu
sebagian orang pun marah, akhirnya mereka membakar hutan yang telah dipenuhi
sampah. Sangking banyaknya sampah hampir seluruh hutan di negeriku dijarah oleh
si jago merah. Korbannya adalah satwa liar yang mati tanpa percikan darah...
Menafsirkan Alam Karya Muraz Riksi
Tuan, kau
sedang mempersiapkan apa?
Hanya sedang
berjalan dengan lensa
Untuk apa?
Tidak ada. Hanya menikmati pesona alam
Ada pagi
yang sedang dibasahi hujan
Ada siang
yang langitnya kebiruan
Ada petang
dengan jingga yang menawan
Ada malam dengan cahaya bintang-bintang
Lalu apa
gunanya menyibak semua itu?
Tidak ada.
Hanya merasa tenang saja
Alam
menceritakan kepada kita tentang pesonanya
Menyibak
sama halnya mengurai, memisahkan, memilah.
Seperti pergantian siang dengan malam hari
Setiap pilu
yang kau rasa
Alam dapat
mengobatinya
Saat kau
sedang sedu sedan dalam menangis
Duduklah di
pantai atau menepilah di puncak gunung
Bukan
tentang menyendiri lalu mengakhiri diri
Karena itu
jalan buntu bagi pikiran buntu
Jalan bodoh bagi manusia bodoh
Saat di
alam, menyibaklah dengannya
Uraikan
setiap pesonanya
Akan ada
begitu banyak keindahan
Yang akan mengobati luka dan menumbuhkan harapan
Percayalah!
Alam tidak
hanya mempesona
Tapi setiap
waktu ia memiliki makna
Hujan, tidak
hanya tentang basah
Tapi
tumbuhan dan makhluk hidup memaknainya dengan anugerah
Begitu pula
cahaya matahari
Dimanfaatkan tumbuhan sebagai kelengkapan melakukan fotosintesis
Tapi
bukannya hujan juga menyebabkan banjir?
Panasnya
matahari yang berkepanjangan juga menyebabkan kekeringan
Bukankah itu juga gejala dari alam?
Kau benar,
semua itu adalah proses kehidupan
Namun pernahkah kau sadari, apa penyebab semua itu terjadi?
Hutan kian
gersang
Sungai,
debit airnya terus berkurang
Alam tidak lagi seimbang
Kau cukup
mengerti akan maksudku
Tak perlu ku
jelaskan secara detail
Demikianlah
mengapa aku menyibak alam
Setidaknya
sisa-sisa keindahan itu dapat kuabadikan
Sebelum benar-benar lenyap dari kehidupan
Akan tiba
masanya dimana gersang atau banjir bandang masuk dalam kategori iklimnya di
tanah kita kawan
Terbakarnya
hutan, dilanda kabut asap
Adalah hal lumrah kehidupan
Kapan semua
itu akan benar-benar disadari?
Saat udara
segar tidak ada lagi
Saat udara
segar dikantongi lalu diberi label harga
Kita semua
akan dibantu alat pernafasan
Agar dapat beraktivitas dan melanjutkan kehidupan
Saat masa
itu telah tiba
Emas tidak
lagi berharga
Teknologi
mewah digudangkan manusia
Karena
tujuan hidup adalah bertahan hidup
Bukan lagi
mendulang rupiah dengan gaya bermewah-mewah
Semua itu akan tinggal sejarah...
Tuan terlalu
salah menafsirkan
Saya kira
itu terlalu berlebihan
Tidak akan
terjadi demikian
Itu hanya
pemikiran ataukah ketidakwarasannya tuan?
Tuan
sebaiknya memeriksakan diri di rumah kesehatan...
Kamar Kecil, 01 Desember 2019
Demikian cerpen karya Muraz Riksi yang dikirim oleh penulis untuk dimuat dalam web ini.
(Catatan Penutup)
Salam kopi pahit...
Post a Comment