Melamar Ranum Cerpen Horor Romantis Karya Shethy Hiwan Hirata

Table of Contents
Melamar Ranum Cerpen Horor Romantis Karya Shethy Hiwan Hirata

Melamar Ranum Cerpen Shethy Hiwan Hirata

Ranum, adalah wanita yang ingin sekali aku nikahi. Jatuh cinta padanya adalah serupa mendaki, memacu adrenalin dan jiwa penasaran yang mendalam akan sosoknya. Walau perkenalan dengannya cukup singkat. Namun, aku yakin bahwa dia adalah belahan jiwa yang telah lama ku cari.

Aku mengenal Ranum dari sosial media facebook, berawal dari statusnya yang berseliweran di berandaku.

Ada debar di setiap apapun yang di posting ranum. Aku tak pernah absen memberikan emot love di postingannya.

Singkat cerita, aku memulai pendekatan pada Ranum. Dan ternyata, Ranum merespon dengan sangat baik. Komunikasi semakin intens dan menyenangkan. Segudang rasa ingin segera bertemu dengannya. Kebetulan kota tempatku tinggal tak begitu jauh dari tempat tinggalnya.

Dan saat tiba bertemu dengannya, rasa untuk memiliki semakin dalam. Aku mencoba terus terang mengungkapkan cinta, sejauh yang ku rasa Ranum tak menolak kehadiranku. Tapi tak kunjung memberikan kepastian dia bilang tak mau pacaran. Oleh sebab itu, malam ini aku bertekad melamarnya. Aku tak ingin berlama-lama lagi menunda asmara yang mulai menggelora ini.

Aku ingin memiliki ranum seutuhnya. Menjadikannya isteri dan ibu dari anak-anakku.

Aku mengajak ranum pergi berkencan bukan ke mall atau ke cafe seperti pasangan lainnya. Aku akan melamarnya di pasar malam. Di Rumah hantu, Sebuah wahana yang disediakan penyelenggara untuk menikmati sensasi melihat hantu-hantu seperti layaknya dalam filim-film horor.

Aku menjemput Ranum ke kostannya yang cukup jauh dari tempat tinggalku, malam itu, Ranum telah menungguku di ujung jalan. Ia terlihat cantik dengan sedikit polesan makeup minimalis.

Ia tampak sumringah melihatku datang. Jantungku makin berdegup kencang, terlebih saat dia mulai aku bonceng.

Pasar malam tujuanku cukup jauh, di tempuh dalam waktu satu setengah jam.

Sesampainya di pasar malam. Aku mengajakanya makan bakso, kemudian bergabung di keramaian yang hingar bingar, penjual balon, penjual harum manis bertebaran di mana-mana, lampu-lampu gemerlap di atas bianglala. Ranum memaksaku untuk menaiki bianglala. Kami pun larut dalam dimensi kanak-kanak. Sungguh, kisah cintaku dengan Ranum sangat sederhana. Hanya dengan menaiki bianglala sembari melihatnya tertawa rasanya jiwaku terbang di awan.

Setelah kuturuti segala kemauannya, aku segera mengajak Ranum untuk masuk ke wahana “rumah hantu” dia pun setuju.

Aku membeli tiket, ku gandeng tangannya dengan lembut. Sembari ku rogoh cincin di saku celana kanan. Aku yakin, malam ini Ranum pasti akan terkesan dengan segala moment ini.

Ruangan yang di sebut rumah hantu itu cukup gelap. Hanya ada beberapa lampu teplok jaman dulu yang menerangi di beberap sisi dinding. Baru beberapa langkah terdengar suara tangis yang memecah sunyi, aku tersentak kaget tapi tidak dengan ranum, dia terlihat biasa meski tak kulihat raut wajahnya secara langsung.

Sesok baju putih menyerupai kuntilanak tiba-tiba muncul mengagetkanku. Dan aku berteriak tanpa ada intrupsi. Gila, aku sedikit jengkel dengan setan palsu yang tiba-tiba hadir itu, sementara ranum di tertawa terpingkal-pingkal menyksikanku. Yang terlihat ketakutan.

Belum hilang rasa kagetku, kini tiba-tiba muncul sesosok pocong bemata merah. Kali ini bukan hanya kaget, aku menjerit sekuatnya seperti anak kecil, lututku lemas setelah kembali menyaksikan hantu palsu siaalan itu. Dan ranum, seolah seperti menemukan mainan yang amat lucu, ia tak hentinya menertawakanku.

Aku semakin mempercepat langkah kaki untuk segera keluar dari bangunan gelap dan pengap itu, rasanya tak tahan lagi aku menahan malu pada ranum. Niat hati aku ingin membuatnya ketakutan dan bersembunyi di balik dadaku yang bidang namuan ternyata malah sebaliknya. Tapi ia tidak membirkanku bersembunyi di balik dadanya.

Saat di ujung lorong terakhir, kakiku seperti tertahan. Sesosok perempuan dengan rambut menjuntai dan duduk bak suster ngesot. Tak henti dari itu, manusia yang menyerupai genderewo juga tiba2 datang dari arah lain, pocong dan kuntilanak pun tak mau kalah ikut mendekat ke arah kami. Ranum yang sedari tertawa kecil meliahat tingakahku kini semakin gencar tertawa. Tawanya semakin lama semakin terdengar aneh. Melengking tak tertahankan, ia terus mengikik tanpa henti. Jantungku seolah berhenti berdetak untuk beberapa saat.

Aku menoleh ke arah ranum. Begitupun dengan setan-setan palsu itu tampak keheranan mendengar tawa ranum yang begitu melengking tajam. Seketika bulu kudukku berdiri aku melirik ke arah ranum dengan perlahan, di bawah sinar lampu teplok, wajah ranum tiba-tiba terlihat sangat pucat, ia menoleh dan melotot tajam ke arahku dan menatap satu persatu setan-setan palsu itu. Ini pertama kalinya aku melihat ranum bertingkah sepeti ini, apa iya sedang bercanda dan menakut-nakutiku?

Lalu seketika, tawa ranum berubah menjadi tangis yang menyayat-nyayat hati. Matanya semakin menyala, dia seperti seekor serigala yang siap melahap mangsanya. Aku dan para setan palsu yang sedari tadi mematung menyadari bahwa ini bukan main-main. Keempat setan palsu itu lari tunggang langgang melihat ranum yang berubah menjadi sosok yang terlihat sangat mengerikan, dia mencakar dan menggigit apa saja yang ada di depannya. Sementara aku dengan niat hati ingin melamarnya. Sudah tak ingat dimana menjatuhkan cincin yang ingin aku sematkan.

Terlalu rumit untukku melamarnya sekarang. Dan aku tak sanggup lagi menahan rasa takut hingga lututku tak kuasa menahan beban tubuhku. Aku roboh di sisi ranum yang tengah mengendus-ngendus seperti seekor serigala. *Tamat*


*** Demikian cerpen karya Shethy Hiwan Hirata yang dikirim oleh penulis untuk dimuat dalam web ini. 

(Catatan Penutup)

Terima kasih telah berkunjung ke website Sampah Kata.
Salam kopi pahit...

Post a Comment