Pendakian Terakhir Cerpen Kisah Nyata Pendaki Gunung
Kalian tentunya pernah menonton Film Pencarian Terakhir, terutama para pendaki yang menjelajah alam. Tapi kisahku ini tak lebih dari cerita hati bukan kisah misteri.
Mendekati sore menjelang malam, langkah kaki serentak menaiki alur terjal lorong kecil kebun kopi. Tanah guntai menyambut segerombolan manusia yang berambisi dan sebagiannya lagi adalah para pengukir mimpi.
Ku tatap wajah-wajah lelah yang memangku tas berukuran besar, tas carrier menemani langkah-langkah semangat yang menyengat keringat yang memeras wajah-wajah pengukir mimpi. Aku berjalan di barisan paling belakang, 13 orang yang ada di depanku adalah para pecinta alam. Mereka telah terlatih dengan pendakian yang menurutku sangat melelahkan.
Untuk apa
mendaki gunung? Untuk apa tidur di alas tanah dengan suhu udara yang dingin?
Bukankah itu suatu kekonyolan?
Jika di rumah,
kita dapat berbaring di atas kasur empuk dan selimut yang hangat.
Itulah pertanyaan dan pernyataan yang terus membenak dalam pikiranku.
Aku belum dapat merangkai kalimat bijak untuk menjawab sederetan pertanyaan pahit itu. Namun ku pastikan jawabannya ada di atas puncak, titik terakhirku menikmati peluhnya rasa lelah itu. Tiba rombongan pengukir mimpi dan aku si pendaki amatiran di Pintu Rimba, titik pertama sebenarnya pendakian atau dengan istilah hebatnya Shelter I.
Usai
melewati kebun kopi yang disambut semak belukar dan pohon-pohon besar, terus ku
langkahkan kaki yang lelah itu untuk menemukan jawaban, kenapa harus mendaki?,
untuk apa mendaki?.
Satu jam
kiranya hitungan waktu yang bergerak melingkar di tangan kananku. Semak
belukar, pohon-pohon besar dan jalur terjal berhasil ku lalui di barisan
belakang para pendaki pengukir mimpi.
Shelter II tempat peristirahatan kami, sembari mengisi jerigen dengan air dari mata air yang terdapat di sana. Istirahat tetap berlanjut dengan nafasku seperti ban yang kempes, menciut seakan paru-paruku mengerucut. Bisa kalian bayangkan nafas yang berbunyi dan aku menamainya dengkuran nafas.
Pendakian dilanjutkan lagi, sebagian tim menuju Shelter tiga. Mereka bertaruh dengan waktu, cuaca yang mendung dan suhu dingin yang meningkat ditambah lagi dengan aura gelap yang menyergap masuk pori-pori hutan Burni Telong. Jam 18.27 WIB, aku dan Bang Dipa menunggu tim yang tertinggal di belakang. Rintik-rintik hujan mulai membasahi dedaunan hutan, deras semakin deras hingga aku tidak dapat menghindar dari basah kuyup.
Gelap, hutan semakin gelap dan jalur pendakian kian terlihat remang-remang. Bang Dipa memutuskan untuk melanjutkan pendakian, berharap tim yang ketiga akan dipandu oleh Bang Yadi. Menerobos kegelapan, menaiki terjalnya alur pendakian dengan derasnya hujan yang berjatuhan. Bertaruh dengan waktu dan kegelapan malam tak dapat dihindar dari perjalan itu.
Setengah jam lebih Bang Dipa dan aku menerobos remang-remangnya jalur pendakian. Shelter III tiba kami di sana, tubuhku mulai menggigil, Bang Dipa membuka carriernya untuk mengambil headlamp sebagai cahaya yang menerangi perjalanan kami. Sialnya headlamp tidak bisa berfungsi, entah karena baterainya basah terkena hujan atau memang telah rusak sebelumnya.
Alhasil menunggu pun tak mungkin, meski dalam gelap langkah kaki tetap mengikuti jalur pendakian. Tidak ada alasan untuk berhenti dan menunggu sebab hidup adalah perjalanan. Meraba-raba akar pepohonan sebagai alat kami berjalan. Dalam gelap gulita malam dan hujan yang terus berjatuhan, aku 7 kali tergelincir di jalur pendakian.
Tidak ada kata menyerah, tubuh yang menggigil bukan alasan untuk pasrah. Tas carrier yang lumayan berat dan rasa lelah yang melekat, langkah kaki tetap meraba-raba hingga kami sampai di peristirahatan terakhir shelter III. Tenda-tenda di bawah pepohonan rindang memperindah malam yang remang-remang oleh cahaya headlamp para pendaki lainnya.
Carrier ku turunkan dari pundak, ku letakkan dengan rapi diantara carrier-carrier tim pendaki satu rombongan denganku. Api unggun tak dapat dinyalakan, ranting-ranting kayu kering sudah terendam air. Istirahatku 15 menit dengan pakaian basah yang melekat pada tubuh lelahku. Kompor gas ala pendaki menyala-nyala sembari beras bercampur air dalam wadah memasak di atasnya.
Aroma nasi putih tercium mengundang rasa lapar di tengah hujan. Ku bergegas menggantikan pakaian basah yang menyelimuti tubuhku, suara obrolan pendaki mengisi ruang sunyi itu. Sedapnya aroma indomie mulai menusuk dua lobang hidungku. Piring-piring nasi berjejeran, bercampur kuah indomie dan lauk sambal. Ah nikmatnya malam ini kiraku, tawa canda mencairkan rasa lelah dan nasi putih bercampur kuah indomie mengurangi rasa lapar yang mengamcam lambungku.
Secangkir kopi panas dalam suhu yang dingin, dapatkah kalian bayangkan betapa nikmatnya? Sebatang kretek sampoerna melengkapi malam peristirahatan kami dengan diskusi dan cerita yang menemani. Malam itu bukan malam yang panjang, sebelum jam 23.00 WIB kami harus sudah istirahat. Karena pendakian sebenarnya baru dimulai besok. Melewati terjalnya hamparan luas jalur pendakian, menuju puncak sesungguhnya dari langkah yang kami mulai sebagai sebuah perjalanan.
Suhu dingin
menyerang sendi-sendi tulang, rintik hujan tak henti-hentinya berjatuhan. Mata
begitu lelahnya, rasa kantuk tak dapat dihindari. Hendak tidur namun tidak
bisa, aku menggigil kedinginan. Terbesit di pikiran, kalimat tanya yang
menyongsong langkah perjalanan.
"Untuk
apa mendaki gunung? Untuk apa tidur di alas tanah dengan suhu udara yang
dingin? Bukankah itu suatu kekonyolan?
Jika di rumah, kita dapat berbaring di atas kasur dan selimut yang hangat".
Hening,
bunyi jarum jam tangan terdengar keras. Seperti itulah hawa alam tanpa riuh tak
karuan. Ketenangan, seakan lekang sekolong masalah yang menyerang batin. Betapa
tidaknya alam berbisik merayu, mengatakan padaku secara tersirat bahwa hidup
adalah sebuah ketenangan. Kalian tahu, untuk apa mendaki? dan kini ku temukan
jawaban itu. Terapi alam melalui keheningan merupakan cara terbaik melepaskan
sekolong masalah hidup.
Dalam
heningnya alam, ku terlelap begitu saja. Tak berapa lama suara serak menggema
dalam gendang telinga, semakin lama suara itu semakin keras. "Muraz, kau
jadi ikut naik ke atas puncak? " tanya Pak Rahmat sembari membangunkanku.
"Jam berapa sekarang Pak?" balik tanyaku.
Ku perhatikan penunjuk waktu yang melingkar di tangan kanan, 04.26 WIB jarum jam mengatakan waktunya.
Bergegasku dari tenda, ku rapikan sleeping bed dan matras. Headlamp pelengkap perjalanan mendaki, logistik dan kompor lapang tak lupa kami bawa. Tapak demi setapak jalur pendakian lereng Gunung Burni Telong kami jelajah. Rombongan kami terbagi dua, rombongan pertama naik duluan lebih awal dari kami yang dipandu oleh Pak Rahmat, sedangkan aku berada di rombongan kedua. Terjalnya pendakian membuat langkah kaki terasa letih. Terlihat begitu dekat puncak itu, namun untuk mencapainya serasa sangatlah jauh.
Semak-semak belukar tumbuh mekar sepanjang jalur pendakian. Dibilah sisi kantong semar terlihat menggelar lintang di atas tanah. Sesekali terlihat bunga edelweis yang masih kuncup, begitu kecilnya sehingga tak dapat ku bedakan dengan bunga rumput yang tak dilarang oleh perundang-undangan. Pamflet larangan memetik bunga edelweis tertempel di batang pohon kering, penuh coretan tangan-tangan nakal yang kurang kerjaan.
Batu-batu cadas besar yang duduk diam ikut jadi korban, ada coretan cat yang berisikan nama-nama amatiran yang menurutku adalah kekonyolan. Mengabadikan nama dengan sikap bodoh semacam itu adalah pelanggaran yang tak dapat dimaafkan, anggapku. Kenapa tidak saja nama hebatmu itu dipajang diperempatan kota, biar terkenal bahwa kamu pernah berada di sana.
"Take nothing but picture, leave nothing but footprint, kill nothing but time", ku rasa setiap pendaki sangat memahami dengan kalimat hebat itu. Bukan salah dikata, mungkin amatiran semacam diriku tidak tahu apa artinya.
Suara ban
kempes keluar deras dari dua paru-paru yang mengerucut, dengusan mulut hidung
yang ngos-ngosan semakin kencang, ku namai dengkuran nafas itu mulai
menyerangku. Rasa lelah yang tak berempati menghampiri setiap pijakan kaki.
Pikirku kembali, sampah yang berserakan itu adalah bukti tangguhnya pendaki
amatiran semacam diriku.
Ah, ku buka
kamus inggris di ponsel canggih milikku. Ku coba artikan kalimat hebat yang tak
tertulis di setiap buku catatan penjelajah ruang hampa. Ku temukan artinya yang
menyengat amat hebat atas diriku "Dilarang mengambil apapun kecuali foto,
dilarang meninggalkan apapun kecuali jejak, dilarang membunuh apapun kecuali
waktu". Tercengang jari-jari tanganku yang berbalut kain pembungkus
berwarna hitam saat menyibak makna dari bahasa asing itu.
Semangatku tumbuh menggeliat, tak sabaran aku ingin melihat sambutan sunrise di atas puncak perjalanan ini. Aku sangat ingin melihat sesuatu hal yang keindahannya tak mampu diramu oleh kata. Dua jam lelahnya kaki melewati terjalnya jalur lereng Burni Telong. Aku tiba dengan rasa lelah, rombonganku sedang duduk menikmati semua hal yang sedang ku inginkan.
Kabut putih menyergap Gunung Geureudong, dinding semu yang sangat tebal itu menutup lembah yang menghampar luas langit biru. Tak ada apapun selain warna putih dan suhu dingin yang ku temui. Adakah kekecewaan mempertanyakan kekesalan?.
Tidak, tidak sedikitpun perasaan itu terbesit. Ku perhatikan mereka sibuk menyalakan kompor lapang, memasak air dan bubuk kopi mengisi gelas kosong. Ku perhatikan lagi, ada rombongan lainnya yang sedang menanti alam Burni tersenyum cerah. Tak juga dapat ditemui, berjam-jam waktu berlalu hingga alam menjawab keresahan hatiku.
Kabut-kabut
putih membuka jendelanya, mengizinkan kami untuk beberapa detik mengintip
lukisan indah milik Tuhan. Sesekali jendela itu tertutup lagi, terbuka kembali
dengan wajah yang berbeda. Meskipun hamparan Gunung Geureudong menyembunyikan
kecantikannya, namun hal itu pula yang telah menjawab sederetan pertanyaan yang
berbunyi bising atasku.
Saat itulah aku tahu apa alasan dari mendaki. Bukan, alasan bukan kata yang tepat untuk mewakili kalimat tanya itu namun yang lebih tepatnya adalah tujuan. "Melakukan pendakian adalah suatu proses panjang untuk menuju puncak, melakukan pendakian adalah sekolah alam yang mengajarkan tentang batasan begitu juga dengan impian".
Saat berada di luar rumah barulah kesadaran datang padamu, bahwa hidup sangatlah berarti. Apa itu? satu kata saja untuk menjawabnya yaitu "Perjuangan". "Jika kita mencintai seseorang, ingatlah betapa berat perjuangan ketika ingin mendapatkannya", itulah arti dari tujuanku melakukan pendakian.
Pahamilah segala sesuatu yang kita inginkan, membutuhkan begitu banyak rentetan perjuangan dan ingatlah setibanya keinginan itu ada di tanganmu, maka jangan pernah sia-siakan.
Sebab saat kamu
mendapatkannya, ada banyak hal yang harus terlebih dahulu dikorbankan hingga
zona nyaman pun harus ditinggalkan seperti hangatnya tidur di kasur empuk
rumahmu namun dalam pendakian kita rela tidur di atas tanah dengan suhu yang
amat dingin.
The End
"Pendakian Terakhir"
Gunung Burni
Telong 2.670 Mdpl, 22 Juni 2018
Demikian cerpen karya Muraz Riksi yang dikirim oleh penulis untuk dimuat dalam web ini.
(Catatan Penutup)
Terima kasih telah berkunjung ke website Sampah Kata.
Salam kopi pahit...
Post a Comment