Cerpen Bekasi Cerita Horor Karya Shethy Hiwan Hirata
Cerita Shethy Hiwan Hirata
Belum genap
sehari aku meninggalkan Bekasi, ternyata rinduku pada kota industri itu cukup
dalam.
Malam
pertama menginap di rumah mertua membuatku tak bisa memejamkan mata. Bukan
karena mertuaku galak, justru mertuaku terlalu baik.
Mungkinkah aku kena semacam homesick, kangen Bekasi, rindu Bekasi membuat pikiranku berkelana mengingat kejadian-kejadian beberapa tahun silam saat pertama kali aku datang ke Bekasi membawa sejuta impian dan cita-cita.
Kala itu, dengan angan-angan setinggi langit aku berhijrah dari kampung halamanku di Tasikmalaya. Mencoba peruntungan, mewujudkan cita-cita jadi Pengacara. Apa daya pemirsa, dunia ini tak seindah khayalanku selagi SMA, dulu simple saja, aku akan bekerja di pabrik sembari kuliah hukum. Nyatanya? Saat tiba di bekasi dengan wajah desa yang polos dan norak, mencari kerja itu tak semudah yang di bayangkan. Keluar masuk kawasan industri untuk sekedar bertanya pada security pabrik yang berderet-deret.
“Permisi
pak, ada lowongan?”
Begitulah
pertanyaan yang sama selalu di ulang-ulang pada tiap pos, sangat jarang mereka
menjawab “ada” jangankan menjawab, banyak dari mereka yang menghardik kasar
kemudian mengusir.
Lamaran-lamaran
yang dibuat bukan hanya di peruntukan untuk di simpan door to door pada
perusahaan, tapi aku juga mengirimnya via pos. Jangan di tanya berapa banyak,
sampai pegal jemariku menulis cv diri dengan tulisan serapih mungkin. Sebulan
dua bulan, belum ada satupun panggilan.
Tak jarang aku di landa perasaan jenuh dan frustasi ingin menyerah dengan keadaan yang menjemukan. Menumpang hidup di rumah sodara ternyata tak senyaman tinggal di rumah sendiri.
Hingga bulan
ketiga aku merantau, barulah sebuat pesan singkat masuk, aku di undang untuk
ikut psikotes pada perusahaan bis antarkota-antarpropinsi.
Sinarjaya, yang berkantor di jalan kalimalang. Hari yang aku tunggu-tunggu itu akhirnya tiba, aku mengerjakan soal dengan hati yang berdebar-debar tak karuan. Rasanya lebih menegangkan di banding dengan ujian nasional. Ini menyangkut kehidupanku selanjutnya. Aku ingin segera angat kaki dari rumah sodara yang cerewet itu.
“Kalau adek nikah, maunya dapat suami seperti apa?” Tanya orangtua yang duduk di hadapanku, wajahnya sangat kharismatik dan tegas. Dia adalah HRD yang menginterview.
“HaH!”
Aku melonjak kaget, ketika sekonyong-konyong pertanyaan aneh itu ia lontarkan.
“Bapak, mau
nyari karyawan atau nyari istri kedua?”
Polosnya aku
kala itu, sampai-sampai nanya balik?? hingga wajahnya berubah merah padam.
Selepas itu, tak ada kabar apapun lagi dari perusahaan, mungkin HRD itu berpikir aku terlalu lancang. Dan sampai detik ini, aku masih bertanya-tanya, apa korelasinya antara suami idaman dengan perusahaan bus?
Misterius !
Aku berusaha move on, meski perih rasanya ketika harapan-harapn telah berkobar seketika harus padam lagi. Oke, dari interview itu aku belajar bahwa besok-besok aku harus menjawab iya iya saja. Agar HRD itu merasa puas.
Selanjutnya,
aku menerima berbagai panggilan tapi masih gagal dan gagal lagi. Untuk tahap
interview aku menjadi sangat hati-hati menjawab setiap pertanyaan. Tetap saja
pemirsa, yang lolos itu yang punya orang dalam. Dan yang punya uang banyak
untuk menyogok HRD nakal.
Sudah bukan
rahasia umum, sogok menyogok adalah bagian dari budaya negara kita.
Apa aku kepikiran untuk ikut-ikutan nyogok? Aduhh, aku ini punya cita-cita jadi pengacara, tentu saja pemikiranku sangat idealis kala itu. Duh, apa jadinya kalau calon penegak hukum ini melakukan praktik yang sangat merendahkan martabat hukum itu sendiri. Ah, itu hanya alibi kecil saja, padahal aslinya boro-boro buat nyogok, buat beli kertas polio aja aku kudu jadi tukang pijat dulu pada nyonya rumah??
Setelah hampir empat bulan bertahan, akhirnya aku di terima kerja di sebuah pabrik plastik “lionstar” waktu itu aku senang bukan kepalang, walau jam kerjanya yang terasa sangat ganjil. Berangkat jam 10 malam pulang jam 7 pagi. Dengan kontrak pertama 6 bulan. Jika absensi bagus maka otomatis kontrak akan di perpanjang lagi.
Percis
seperti kupu-kupu malam, kadangkala aku berangkat berbarengan dengan mereka
yang banyak mangkal di kali malang.
Pernah
sekali, saat sedang berjalan kaki menuju pabrik. Tiba-tiba ada sepeda motor
berhenti dan menepuk pantatku dengan sangat keras. Aku marah bukan main,
darahku seketika mendidih ingin mengejar pengendara motor sialan itu.
Rawan, itulah gambaran kecil tentang Bekasi kala itu. Selepas kejadian malam itu, setiap berangkat kerja aku menyelipkan pisau lipat dalam saku celana. Sayang, lelaki mesum itu tak pernah hadir lagi dalam hidupku.
Dimana-mana,
menjadi anak baru itu tidak mudah, butuh penyesuaian dan adaptasi yang panjang
terlebih, kehidupanku berubah. Malam jadi siang dan siang jadi malam.
Lagi-lagi, dunia tak seindah khayalanku. Dunia kerja itu keras, apalagi dunia pabrik. Setiap malam aku di semprot sang mandor. Tak jarang ia memaki dan mencubit lenganku karena aku tak bisa-bisa menguasai produk. Setiap pulang kerja aku menangis, begitupun saat aku berangkat, serasa akan masuk kandang singa. Wajah bengis sang mandor selalu terbayang-bayang dalam ingatan. Saat mengingat wajahnya aku selalu gemetar dan takut. Tapi aku bertahan, tidak ada pilihan lain selain bekerja di pabrik itu, aku berusaha tabah menghadapi gempuran demi gempuran.
Hari-hari menjadi buruh pabrik aku lewati dengan perasaan berat dan tertekan. Hanya pada saat menerima gaji aku seketika merasa bahagia dan terhibur. Kembali ke cita-cita, aku bertekad ingin kuliah, tapi apadaya aku tak memiliki waktu. Sepulang kerja sampai kontrakan aku tidur bak mayat. Badanku terlalu babak belur untuk mengejar impian. Kala itu, aku pasrah pada nasib. Menjadi buruh pabrik yang selalu di maki-maki atasan mungkin adalah takdirku. Dan menjadi pengacara bagi seorang lemah seprtiku adalah kemustahilan kala itu.
Hampir dua tahun aku menjadi kuli pabrik, dengan jam kerja sama. Berangkat jam 10 malam pulang jam 7 pagi. Aku berusaha menikmati segalanya. Apa adanya. Mencoba bersyukur dan nerimo takdir gusti Alloh. Lebih tepatnya, aku berada di garis nyaman. Melupakan mimpi-mimpi besarku.
Hingga tiba-tiba, suatu malam aku melakukan kesalahan besar. Produk yang aku kerjakan menjadi NG (no good) karena humanerror akibat mataku tak tahan lagi menahan kantuk.
Kuingat waktu itu, wajah mandorku seribu kali lebih seram dari biasanya. Aku di giring ke kantor manager. Di introgasi layaknya maling. Di jelaskan olehnya kesalahanku yang menyebabkan pabrik mengalami kerugian. Ah, disitu aku merasa menjadi penjahat besar. Kasusku menjadi gonjang-ganjing di antara karyawan lainnya. Keteledoran dan rasa kantukku membawa petaka. Akhirnya aku di pecat. Dunia seolah berhenti, walau tempat kerjaku sangat tidak nyaman. Namun bayang-bayang menjadi pengangguran itu lebih menyeramkan dari wajah mandorku.
Namun,
petualangan-petualangan seru dalam hidupku baru di mulai sejak aku di pecat
hari itu.
Homesick masih terus berlanjut di hari kedua meninggalkan Kota Bekasi. Kerinduan terasa semakin membuncah. Mengingat kembali setiap detail kejadian dan orang-orang yang aku temui di Bekasi membuatku kembali tak bisa tidur.
Tidak ada
hal yang terjadi karena kebetulan. Setiap orang yang pernah hadir dalam
kehidupan membawa makna tersendiri. Untuk mandorku dulu, ku haturkan beribu-ribu
terimakasih. Sadar tak sadar, berkat didikanmu, aku menjadi lebih tangguh dalam
menghadapi apapun. Dan semoga aku bisa lebih tangguh lagi dalam mengarungi
bahtera rumah tangga yang sudah di depan mata.
*****
Selepas di
PHK aku sedikit terpuruk pada minggu pertama. Kembali menjadi pengangguran
adalah sebuah ketakutan yang tak terelakkan. Bayang-bayang baju hitam putih
yang lama tak terpakai harus aku buka kembali. Menyusuri jalanan kawasan,
keluar masuk kantor pos, berebut dan bersaing kembali dengan para pencari kerja
yang masih fress graduate.
Kali ini, aku bertekad untuk lebih berusaha lagi mencari pekerjaan yang lebih besar dan lebih bonafit dibanding pabrik plastik itu.
Beruntung kala itu, aku telah mengenal pria yang telah bersamaku setahun terakhir sebelum aku di PHK. Ceritaku mengenal pria itu bak di dalam film-film ftv, bahkan mungkin lebih dramatis lagi dibanding sebuah sinetron. Tapi aku tidak akan fokus menceritakan pertemuanku dengan dia. Sekarang aku hanya ingin bercerita bagaimana aku bertahan untuk tetap survive di kota industri.
Nasib pria itu tak jauh beda dari ku, dia sama-sama pengangguran. Baru di PHK dari sebuah pabrik tissue dengan uang pesangon sebesar 2juta Rupiah. Pria pengangguran itu adalah pacarku yang sekarang menjadi suamiku. Serasilah kita waktu itu, sejoli yang pengangguran.
Pacarku,
sama sekali bukan pria impian.
Dulu, jauh sebelum bertemu dia, aku berkhayal bertemu pria tampan, kaya raya, mapan dan beriman. Tapi, lagi-lagi pemirsa, dunia tak seindah dalam drama korea yang aku tonton. Boro-boro ada pria tampan yang mendekat padaku. Yang jelek saja tidak ada. Semakin kesini aku semakin mengerti, dunia ini realistis, mana ada lelaki tampan, mapan dan beriman mau sama cewek dengan wajah paspasan sperti aku?? ah, sudahlah jangan terlalu di pikirkan khayalan setinggi langit itu.
Satu-satunya pria yang mendekatiku saat di Bekasi hanya dia. Hanya dia. Yang bertubuh kurus kering, dengan tampangnya yang udik memakai kemeja oren menyala. Setiap hari membawa bungkusan makan, nasi warteg dengan lauk hanya orek tempe dan sayur kangkung. Aku teringat pepatah lama,
“Taklukan
lambungnya, maka kau akan dapatkan hatinya”
rupa-rupanya,
pacarku sukses menerapkan filosofi itu.
Aku yang
awalnya dingin dan so jual mahal akhirnya luluh oleh bungkusan-bungkusan nasi
warteg.
Ingin sekali hatiku menolaknya waktu itu, tapi apadaya. Perutku tak pernah kompromi dengan wajah tampan atau mapan. Kini, ku katakan sekali lagi, Bekasi itu keras. Urusan perut di atas segalanya.
Hidup bebas, tinggal di kontrkan sepetak. Jauh dari orangtua dan keluarga itu bukan kabar baik bagi anak gadis. Terlebih lingkungan kontrakan yang cuek dengan masalah masing-masing penghuninya. Akan sangat mudah membuat seseorang tergelincir pada pergaulan bebas tanpa batas. Tapi lagi-lagi, aku bertahan dalam ujian syahwat yang menggelora kala itu, cita-cita menjadi pengacara selalu menjadi tameng kuat untuk menjaga diri. Halusinasi !
Kupikir aku tak punya apa-apa dalam hidup. Selain kehormatan yang sangat berharga ini, lagi pula aku masih saja menjaga diri demi seorang pangeran tampan, mapan dan beriman. Dan pacarku yang kurang tampan itu, juga sangat tidak mapan rupanya punya cukup iman. Kita bertahan dalam hubungan simbiosis mutualisme.
Menjadi sejoli pengangguran membuat kami semakin kompak. Pacarku yang melarat itu setia menemani perjuanganku mencari kerja, mengantar kesana kemari dengan meminjam motor temannya. Karena sama halnya seperti aku. Dia sangat tidak punya apa-apa. Dengan sisa gaji kami, kita saling bertahan hidup.
Hari-hari berlalu, berganti menjadi minggu. Bukan telat haid yang membuat panik. Duit sisa pesangon hampir habis untuk modal mencari kerja dan ikut tes sana sini, sekali tes 35ribu, kalau gagal uang melayang. Pacarku sering gagal dalam tes membuatku semakin sering uring-uringan dan meradang. Aku sangat berharap pacarku bisa masuk perusahan besar lalu jadi karyawan tetap. Tapi apa daya, postur tubuhnya yang kurang tinggi seringkali menjadi penghalang untuk masuk ke perushaan-perusahaan besar.
Dan sampai detik ini, aku juga masih bertanya-tanya tentang peraturan masuk pabrik yang mengharuskan tinggi badan ideal macam model iklan susu. Suatu hari, jika berkesemptan bertemu mentri tenagakerja akan kutanyakan hal itu, demi harga diri pacarku yang kini menjadi suamiku.
Tak dapat di pungkiri, hampir setiap hari saat pacarku datang ngapel ke kontrakan aku selalu menyemprotnya dengan kata-kata pedas. Apalagi saat dia datang tak bawa apa-apa, merepetlah mulutku macam petasan.
“Harga diri laki-laki itu kerja, masa mas mau begini terus? Sampai kapan?” Hardikku dengan nada judes dan tatapan mendelik.
“Huh, jadi
laki-laki gak bisa di andalkan, maunya enak aja.” Semakin bengis aku berucap.
Dia terdiam
lalu pulang tanpa basa-basi.
Keesokannya dia tak muncul hampir seminggu. Aku merana.
Tapi, jika
cinta sejati akan kembali, pacarku kembali dengan kabar mengejutkan.
“Aku mau
kerja ke korea, biar duitnya banyak. Biar kamu gak ngomel-ngomel terus” ucapnya
dengan dengan tegas.
Satu kata yang keluar dari mulutku.
“Bagus”
Seketika, aku berncana mengubah cita-citaku dari seorang pengacara menjadi motivator. Karena merasa berhasil mempengaruhi semangat hidupnya. Aihh, Mario teguh saja lewat lah, kalau aku sedang menyemangati pacarku. Dan ternyata, kerja ke korea tak lebih mudah dari mencari kerja di negeri sendiri.
Kali ini,
aku dan pacarku mengambil jalan pintas untuk segera bisa dapat kerja. Bukan
dengan menyogok. Di daerah cikarang ada yayasan penyalur kerja. Tak ayal kita
bolak-balik setiap hari kesana mengintip barangkali ada nama kita terpampang
nyata dalam pengumuman kelulusan.
Sekali gagal, kedua kali. Aku ajari pacarku bermain curang, menyontek soal yang sudah sangat aku hafal. Lagi-lagi, idealisme raip bak di telan bumi.
Akhirnya dia
lolos di terima di pabrik cokelat daerah Bantargebang. Dan aku, masih
harap-harap cemas menunggu pengumunan masuk di pabrik paling bergengsi di
Cikarang. Epson, perusahan jepang yang bergerak dalam bidang industri printer.
Paling banyak menyerap tenaga kerja. Kudengar kabar, gaji di perushaan itu
berkisar 5 sampai 8juta perbulan.
Aihh, melanglang buana lah khayalanku kala itu. Cita-cita untuk bisa kuliah lagi kembali meletup dalam sanubari.
Dan ternyata, aku lolos masuk epson. Pacarku senang, dan aku sangat bahagia. Terbayang masa depan cerah di depan mataku. Gaji gede, sabtu-minggu libur. Lemburan kenceng. Ah, aku akan kuliah lagi, kuliah hukum. Jadi Pengacara.
Manis, manis
sekali rencana hidupku.
Tapi rupanya, nasib baik belum mau menghampiriku. Lamunan memakai seragam epson itu buyar seketika, saat orang yayasan itu berucap bahwa harus nunggu antrian empat bulan untuk bisa masuk epson. Mati kutu lah aku, tak mungkin aku harus menganggur lagi selama itu, sia-sia aku menunggu. Aku berusaha protes, tapi memangnya siapa aku ini?tak punya kenalan orang dalam??
Orang yayasan itu memberikan solusi yang sangat brilian, dia mengarahkanku pindah perusahaan. Mau tak mau aku mengikuti sarannya. Berusaha melupakan epson lalu masuk indofarma. Sebuah perusahaan BUMN yang bergerak dalam industri obat-obatan generik. Dengan kontrak pertama 6bulan. Dan Seragam, jahit sendiri!
Masuk indofarma aku dibuat terkaget-kaget. Suasana kerja sangat berbeda jauh dengan pabrik plastik dulu. Disini, lima menit sebelum kerja akan ada sesi motivasi yang di berikan oleh seorang manager cantik. Namanya bu frovita perawan tua yang sangat ferfeksonis tegas dan teliti. Saat pertama melihatnya aku sangat terkesan dengan aura kharismatik dan anggunnya. Mungkin bukan tanpa alasan Tuhan mengirim ku kesini, setiap pagi aku bertemu bu frovita meletup-letup lah jiwa berkhayalku. Aku bersemangat. Semangatku berlipat-lipat ganda setiap harinya. Meski ku katakan, dunia kerja itu keras.
Bertemu bu frovita bak menghirup angin segar. Setiap pagi, setiap lima menit kata-kata yang keluar dari mulutnya menjadikan suntikan energi yang fositive. Aku bekerja lebih keras lagi, senin sampai jumat aku bekerja di pabrik, sabtu-minggu aku menjadi SPG di hypermart lipo. Semangat itu, aku dapat dari si cantik ibu frovita.
Anak baru selalu di bully dan di siksa terlebih dahulu, bekerja lebih keras. Di jutekin senior. Tapi, bekerja di pabrik plastik dulu, telah banyak mengubahku. Aku tak takut lagi di bully, aku tak takut lagi di damprat atasan. Ada senior yang menatapku tajam, aku balas tatapan itu lebih tajam lagi. Ada yang marah-marah tak jelas, aku balik memarahinya. Aku tak mau lagi menyerah pada sikap orang lain yang semena-mena.
Bulan ketiga aku kerja di indofarma, tiba-tiba sebuah pesan sungkat masuk. Pesan itu berisi pesan dari surga, sebuah panggilan untuk pemberkasan masuk epson. Kurasa orang yayasan itu mengalami amnesia, hingga tak sadar memanggil ku yang telah sangat nyaman dan bersemangat bekrja di indofarma.
Dilema.
Apa aku harus kembali merajut asa untuk masuk epson? Apa semudah itu masuk pabrik yang paling mentereng di Cikarang? Apa aku bertahan di indofarma bersama semangat bu frovita? Ahh, lagi-lagi, seragam biru ciri khas karyawan epson menyergapku kembali dalam lamunan.
Dihari ketiga meninggalkan Bekasi, mau tak mau aku harus mulai belajar beradaptasi dengan suasana dan lingkungan baru. Persoalan tak bisa tidur, kurasa bukan lagi karena homesick, melainkan aku terlalu bahagia menunggu kepulangan suami dari negeri gingseng. Tak terasa, penantian panjangku akan segera berkahir besok. Duh, deg-degan pemirsah??
Perkara segala kerinduan pada kota Bekasi, mungkin hanya dengan menuliskan segala kenangan yang pernah terjadi disana, membuat rindu itu sedikit terobati. Jadi, aku akan terus menuliskannya disini, mengenang semua kejadian penting dan orang-orang yang pernah meninggalkan kesan mendalam bagi hidupku.
Mengingat
segala kejadian di masa lalu, terkadang akan membuat kita tercengang. Betapa
segala hal yang terjadi dalam hidup kita hari ini adalah hasil buah pikiran
kita di masa lalu, oleh karena itu, berhati-hatilah dalam berpikir. ITUH,
(mario teguh)
***
Aku mencoba mendiskusikan panggilan kerja itu dengan pacarku. Dia yang penurut dan tak pernah berani membantah hanya manggut-manggut saja macam orang-orangan sawah.
“Keputusan ada di tangan kamu sayang” ucapnya dengan nada sok bijak.
Aku berpikir, ini kesempatan emas untuk merubah nasib. Iming-iming gaji 5-8 juta mungkin cukup untuk bisa mengenyam bangku kuliah. Sedangkan gaji di indofarma yang berkisar 3juta hanya cukup untuk biaya hidup dan biaya sekolah adik bungsuku yang tengah masuk SMK.
Akhirnya, aku mencoba peruntungan kembali ke yayasan di hari kerja. Melewatkan kuliah lima menit dari bu frovita sang manager idolaku.
“Bukannya mba siti itu udah kerja ya di indofarma?” Tanya admin yayasan itu dengan menatapku penuh heran.
“Iya bu, tapi saya pengn pindah ke epson bu” jawabku dengan muka melas
“Gak bisa mba, mba masih terikat kontrak dengan indofarma. Nanti yayasannya yang kena sangsi. Mba siti pokonya harus menyelesaikan dulu kontrak kerja di indofarma. Mba masih tiga bulan lagi kerja disana.” Admin yayasan itu berucap panjang lebar.
“Tapi bu, kenapa saya di panggil lagi masuk epson kalau begitu?” tak mau kalah, aku menunjukan bukti pesan yang aku terima sehari yang lalu.
“Maaf mba, itu kesalahan admin lain. Itu dia admin baru.”
“Mba tolong ya, sepakati perjanjian kerjanya.” Ucapnya lagi semakin tegas.
“Tapi bu,”
“Tapi apa?” tanyanya dengan nada yang sedikit meninggi.
“Saya pengn
kerja pakai seragam bu.”
ucapku pelan. Terlihat dia menyembunyikan tawa mendengar jawaban konyolku.
“Mba, kerja
pakai seragam atau engga yang penting tuh gajinya. Indofarma sama epson gajinya
gak jauh beda mba.”
Kali ini nadanya melunak.
“Tapi bu,,”
“Apa lagi?” Tanya dia yang kali ini gemas melihatku.
“Bu, indofarma mau bangkrut” ucapku meyakinkan. Entah darimana aku mendapatkan ide untuk mengatakan indofarma akan bangkrut. Mungkin, kalau saat itu duduk mentri BUMN tamatlah riwayatku. Ibu admin itu menelan ludah demi mendengar kata-kataku. Terlihat raut jengkel di wajahnya yang full make up.
“Oke mba, kalau benar indofarma bangkrut. Boleh mba siti datang kesini lagi. Tanpa harus tes ulang” Aku memekik bersorak dalam hati.
“Tapi, mba jangan coba-coba kabur dari indofarma sebelum masa kontrak mba siti habis!” Kali ini raut wajah bu admin penuh dengan ancaman.
Aku pulang
meninggalkan yayasan yang penuh sesak dengan para pencari kerja. Selepas
percakapanku dengan ibu admin itu, hatiku tak karuan. Entah harus bahagia, atau
apa. “Indofarma bangkrut”
Kata-kata
itu seperti sebuah bom yang meledak-ledak dalam pikiranku.
Mana mungkin perusahan milik negara itu bangkrut hanya demi aku yang berkeinginan masuk epson. Sungguh itu hal yang amat sangat mustahil. Tidak masuk akal.
Hidupku penuh keganjilan !
Kuceritakan semua yang terjadi pada sang pacar, dia yang sudah bekerja di pabrik coklat itu semakin sok bijak.
“Keputusan ada di tangan kamu sayang.” Lagi-lagi, hanya jawaban itu yang mampu ia berikan. Jawaban tidak nyambung dengan perkara yang tengah aku alami.
“Kamu bisa gak bikin indofarma bangkrut dalam sehari?” Tanyaku antusias.
“Kamu pikir
aku sangkuriang. Hah?”
Ia berlalu meninggalkan aku yang tertawa mendengar jawabannya.
Keesokan
harinya aku kembali masuk kerja, setelah bolos satu hari demi mendapat
kepastian tentang epson. Bu Frovita masih memberikan motivasinya selama lima
menit. Tapi pikiranku kacau tiap kali mengingat percakapan dengan bu admin
yayasan.
“Indofarma bangkrut” masih membayang-bayangi benakku. Aku masih heran dari mana aku punya pikiran itu, perusahaan besar tak mungkin bangkrut dalam sekejap. Wajah bu Frovita kulihat baik-baik saja. Tidak sedang dalam memikirkan kebangkrutan perusahan.
Namun, belum genap seminggu setelah kunjunganku ke yayasan. Di suatu pagi yang mendung, tak seperti biasa, wajah bu Frovita juga terlihat sangat mendung. Gumpalan kekesalan terlihat jelas di raut wajah cantiknya. Dan pagi ini, nada bicara bu frovita naik beberapa oktaf tak seperti biasa. Ia berubah menjadi sangat garang dan menakutkan tapi tetap saja dia terlihat cantik.
Ia marah,
lebih tepatnya murka. Bukan tanpa alasan, human error adalah penyebabnya, ada
obat Asam Mefenamat kelolosan hingga pasaran. Salah pada penanggalan masa
kadaluarsa. Semua karyawan menunduk takut mendengar setiap ucapan bu frovita
yang bagai petir menyambar-nyambar. Katanya, pabrik mengalami kerugian yang
cukup besar akibat keteledoran karyawan.
Tenang pemirsah, human error kali ini bukan karena kesalahanku, seperti saat di pabrik plastik. Entah salah siapa, yang pasti semua kena dampaknya.
Dan murkanya
bu Frovita adalah berkah bagi hidupku. Pagi itu, dengan lantang dan tegas ia
mengatakan bahwa seluruh karyawan kontrak akan di rumahkan. Di berhentikan sementara,
sampai batas waktu yang tidak di tentukan. Sontak aku melonjak girang, membuat
seisi ruangan menatapku dengan tatapan paling kejam termasuk bu frovita yang
macam singa kelaparan. Seketika aku merunduk menahan malu, teman-temanku
mendelik mungkin mereka heran dengan tingkahku, di saat yang lain berduka atas
kabar pemberhentian kerja secara mendadak itu, aku malah melonjak bahagia.
Pagi itu juga kami di pulangkan, tak ada produksi lagi. Aku bahagia, sangat bahagia dengan kejadian yang tak dapat di duga ini.
Secepat
inikah takdir menyapa ku dengan manis. Ulah siapa ini?tak mungkin Kalau ini
ulah pacarku, pasti ini ulah Tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang.
Sungguh, Tuhan tau keinginanku untuk bisa kuliah hukum. Jadi pengacara.
Mungkinkah Tuhan telah bersekongkol dengan bu Frovita? Entahlah, yang pasti. Kau hanya perlu bersiap diri saat impian terbesarmu datang mengetuk pintu kehidupan yang baru.
Hari itu juga, aku datang lagi ke yayasan mengabarkan pada ibu admin bahwa indofarma bangkrut. Dia yang tak mudah percaya langsung menelpon pihak indofarma. Dan setelah telpon di tutup, ia tersenyum ke arahku dengan sangat terpaksa.
Sesuai dengan janjinya, bu admin meloloskanku masuk epson tanpa harus tes ulang. Hanya medical chek up sebgai formalitas saja. Aku lolos melenggang taken kontrak selama setahun. Jika absensi bagus maka kontrak akan di perpanjang lagi.
Epson, adalah dunia baru yang menyeretku pada pengalaman-pengalaman ganjil lainnya. Babak baru dalam hidupku di mulai. Bak menaiki tangga impian, selangkah demi selangkah aku menitinya pelan tapi pasti. Kuliah hukum, jadi pengacara. Simple bukan?
Tapi dunia tak semudah itu Ferguso, epson jauh lebih menantang yang membuatku menemukan sisi lain dalam diriku. Serumit itukah kerja di pabrik?
Rasa-rasanya,
masa bulan madu itu telah berakhir. Kini tiba musim, dimana peralatan dapur
bisa terbang seketika, perang dingin tanpa aba-aba, maupun perang mulut yang
tiada ampun. Untuk tetap menjaga kewarasan jiwa, kuputuskan, kembali menulis
adalah jalan ninjaku????
*****
Hari pertama masuk epson aku di buat tercengang, melihat parkiran bis yang seluas lapangan sepak bola. Bis besar berderet-deret rapih bak sebuah terminal besar. Semua karyawan disini tak di perkenankan membawa kendaraan pribadi. Antar jemput karyawan sudah menjadi kewajiban pihak perusahan.
Masuk ruang lokernya pun tak kalah kaget, lagi-lagi seluas lapangan sepak bola. Tak jarang para karyawan baru sering nyasar di area loker. Sebelum masuk area kantin, ada security galak-galak yang siap menggeledah para karyawan, takut membawa makanan dari luar. Katanya.
Tiba di kantinnya, lagi-lagi seluas lapangan sepak bola. Bangku dan meja makan di tata dengan sangat rapih. Soal makanan jangan di tanya, ada aneka macam pilihan menu berikut dengan daftar kalori yang terkandung dalam setiap makanan. bekerja di perusahan jepang aku merasa sedikit menjadi manusia yang tidak hanya di peras keringatnya saja. Ada sedikit perasaan di hargai yang menyusup dalam hati.
Saat tanda
tangan kontrak, semua karyawan baru di bawa ke sebuah aula besar dan luas.
Disitu di terangkan prosedur dan tata cara kerja. Semua di beri buku panduan.
Ada semacam tes ulang lagi untuk masuk line. (Ruang produksi) selama hampir
seminggu aku menjadi karyawan epson belum juga mengetahui dimana ruang
produksi.
Baru setelah minggu kedua kita memasuki ruangan yang sangat steril. Untuk memasuki ruangan itu kami di bekali baju macam astronot berbentuk jumswit lengkap dengan masker yang dua hari sekali harus di ganti.
Masuk ruang produksi, deretan mesin besar berjejer rapih mengisi ruangan yang tak kalah luasnya dari parkiran,loker, atau kantin. Pokoknya di epson itu serba luas. Jarak dari ruang produksi menuju kantin sekitar satu kilo, dari kantin ke loker setengah kilo, dari loker ke parkiran setengah kilo. Di epson semua harus dilakukan serba cepat terlebih saat jam istrahat, akan ada ribuan karyawan yang antri makan.
Di epson semua terasa nyaman, tidak ada senior yang jutek, tidak ada leader atau atasan galak. Semua terasa hangat. Hanya di awal masuk ruang produksi aku kena damprat leaderku, ibu Dewi namanya.
“Kamu itu, sekolah gak sih? Masa gitu aja gak bisa.” Ucapnya setengah berteriak. Aku tertunduk diam. Kata-kata itu, kujadikan cambuk agar bisa lebih cekatan mengoprasikan mesin-mesin robot pencetak otak printer. Tak ada kata sakit hati lagi waktu itu, hatiku sudah sangat kebal menerima caci maki. Semakin lama, bu dewi semakin lunak. Ibu satu anak itu semakin membuatku semangat dalam mencapai target. Pembawaannya yang riang dan inofativ membuatku semakin nyaman berada dalam bimbingannya.
Jika di
tempat kerja sebelumnya tantangan terbesarku adalah tekanan demi tekanan dari
mandor. Lain halnya dengan epson, Tempat kerja yang sangat nyaman dan
orang-orang yang hangat itu tak berlangsung lama. Kali ini, gangguan datang
dari arah yang tak terduga. Masa lalu yang paling aku takutkan kini terulang,
bukan sang mantan yang hadir kembali (memang tak pernah punya mantan??)
Masalalu itu adalah kejadian-kejadian dimana aku bisa melihat atau merasakan
penampakan makhluk astral. Tak hanya itu. Dulu, aku bisa merasakan aura
orang-orang yang berada di sekelilingku. Keadaan itu kini hadir kembali dan
mulai mengusik ketenanganku saat sedang dalam kehidupan yang stabil.
Yah, inilah namanya hidup pemirsah. Tidak lepas dari sebuah masalah yang terkadang tak masuk akal.
Rupanya, bukan kaum manusia saja yang bisa julid, setan-setan pun ikut julid dengan kedamaianku ??
Tak jarang,
ketika masuk kerja shif malam berkali- kali aku melihat penampakan di kamar
mandi maupun di rest area line. Sosok perempuan dengan rambut panjang menjuntai
dan kepala yang setengah hancur adalah yang paling sering muncul dan menampakan
sosoknya.
Berkali-kali aku membuang pandangan, atau tak ambil pusing dengan segala penampakan yang aku lihat. Namun semakin hari semakin mengusikku, setiap kali aku melihat penampakan dadaku seketika merasa sesak, nafasku terasa tercekat di kerongkongan. Semakin sering aku melihatnya semakin menurun kesehatan fisikku, aku jadi mudah sakit-sakitan, di tambah bisikan-bisikan aneh yang mulai terdengar.
Saat aku lengah pertahananku tak kuat lagi membendung aura negatif dari makhluk-makhluk itu. Masih ingat, malam itu malam jum’at aku kerasukan saat hendak ke kamar mandi. Aku tak dapat lagi mengendalikan diriku sendiri di antara kesadaran yang hanya separuh aku melihat wajah managerku yang babak belur, katanya aku memukul dia habis-habisan. Tapi entah dari mana aku memiliki kekuatan untuk berkelahi dengan pria dewasa itu.
Semenjak kejadian itu, aku mendadak tenar. Macam artis, kemanapun pergi semua orang melihatku dengan tatapan aneh. Dan rupanya, kesurupan itu tidak terjadi hanya sekali. Berkali-kali bahkan pernah terjadi kesurupan masal hingga stop produksi. Aku benar-benar tak habis pikir. Di jaman yang semakin canggih dan kemampuan manusia di tuntut untuk berpikir logis kejadian demi kejadian yang tak masuk akal justru semakin sering terjadi.
Tak jarang, aku sering di tanyai oleh teman-teman atau leaderku tentang pengalaman-pengalaman kesurupan hingga penampakan yang sering aku lihat. Mereka begitu antusias mendengar setiap penuturanku. Menjerit dan bergidik adalah ekspresi rasa takut mereka. Ada juga sebagin orang yang percaya bahwa aku memliki kemampuan indra ke enam, hingga terkadang ada yang bertanya tentang masa depan, hingga jodoh. Mereka pikir aku ini mama lorens apa ya ?wkwkwk(Terlintas dalam benakku, apa aku jadi dukun aja ya??? ) Asstagfurulloh beruntung pemikiran itu segera aku tepis. tak mau lah, aku jadi kerak neraka.
Perkara setan-setan dan penampakan kian hari kian amat menggangguku, mereka sampai ikut ke kontrakan. Kesehatanku menjadi terganggu, badan terus menerus merasa tidak fit, hilang semangat hidup, acap kali aku merasa sedih secara tiba-tiba tanpa tau alasanya. Mimpi-mimpi untuk jadi pengacara hilang entah kemana. Aku seperti hilang arah, hampa dan kosong dengan segala rutinitas pabrik dan penampakan-penampakan yang amat menyebalkan.
Beruntung keadaan itu tak berlangsung lama. Pihak perusahaan mengadakan ruqyah masal karena seringnya kesurupan hingga mengganggu produktifitas.
Hari itu, kulihat hampir 150 orang karyawan yang siap di ruqyah termasuk aku. Seorang ustad ahli ruqyah di datangkan pihak perusahan. Abu Aqila namanya, ustad spesialis ruqyah yang cukup populer di Bekasi. Selepas di ruqyah Abu Aqila hampir seminggu aku terkapar tak berdaya. Badanku terasa remuk redam. yang paling menyakitkan, bayang-bayang absensi yang mengancam kontrak kerjaku. Setan itu, benar-benar menyusahkan hidupku pemirsah.
Namun alhmdulillah, setelah itu aku sembuh. Entah apa yang dilakukan ustad itu, aku hampir tak pernah melihat lagi penampakan. Badanku terasa bugar kembali, jiwaku bak sebutir kapas terbang. Ringan tanpa beban. Aku kembali menjadi pribadi yang optimis dan riang. Aku mulai menata kembali impian-impianku. Berkat ketenaranku karena kesurupan aku jadi punya ide untuk memanfaatkan keadaan, punya banyak kenalan dan teman juga di kenal hampir semua orang, akhirnya aku putuskan untuk berjualan pakaian. Sistem ngutang jadi bayar pas gajian.
Omset perbualan dari hasil penjualan pakaian hampir setara dengan gaji ku sebulan. Aku benar-benar merasa berada di atas angin. Selangkah lagi, hanya tinggal selangkah lagi aku mendaftarkan diri menjadi mahasiswi. Belajar, bekerja dan berdagang. Kemudian jadi sarjana hukum dari hasil keringatku sendiri. Ahh, indahnya?? apa semudah itu?
Ingat,
selalu ada hikmah dari setiap kejadian pemirsah?? pintar-pintarlah membaca
peluang.
**TAMAT**
(Catatan Penutup)
Terima kasih telah berkunjung ke website Sampah Kata.
Salam kopi pahit...
Post a Comment