Seragam Sekolah Untuk Ica Cerpen Ilyas One
SERAGAM SEKOLAH UNTUK ICA (Cerpen Ilyas One)
Ting!
[Ayah, jangan lupa nanti jika sudah pulang ngojek beliin Ica
baju sekolah ya.]
Satu pesan yang masuk ke ponsel jadulku, ternyata dara
Ica–putri kecilku yang kini sudah beranjak besar. Dengan menggunakan ponsel
sepupunya, dia mengirimkan aku pesan singkat itu.
Dia satu-satunya anak yang kami punya, karena dengan Istriku
meninggal setelah seminggu melahirkan Ica.
[Siap, Tuan Putri]
Send!
Kubalas pesan singkat itu dengan lesu. Setelah menyimpan
ponsel ke dalam saku celana, aku kembali mengedarkan pandangan ke segala
penjuru. Berharap ada orang yang mau memakai jasaku sebagai tukang ojek.
Sebenarnya aku ingin mendaftar agar bisa menjadi ojek
online. Tetapi karena aku tidak memiliki android, terpaksa aku hanya
mengandalkan profesi ojek biasa. Seandainya tidak ada wabah Corona, mungkin aku
bisa dengan mudah membelikan Ica seragam sekolah.
Tidak tega rasanya melihat putriku selalu ditegur oleh
beberapa guru di sekolah karena tidak memakai seragam. Seperti waktu itu dia
bercerita, jika tidak ada yang mau berteman dengan dia hanya karena Ica tidak
mempunyai baju yang sama dengan anak-anak lain.
"Ica kenapa nangis, Nak?" tanyaku bingung ketika
dia tiba-tiba menangis di depan rumah.
"Hu-hu-hu…."
Ica terus saja menangis sampai sesenggukan. Bahkan dia tidak
menjawab pertanyaanku.
"Sayang, kamu kenapa? Jatuh?" Kembali ku lontarkan
pertanyaan. Tapi tidak ada jawaban yang keluarga dari mulutnya.
Kurengkuh tubuh mungil itu dengan penuh kasih, sampai dia
tenang dan tidak menangis lagi.
"Ayah, Ica mau pakai seragam sekolah," ucapnya
tergugu setelah dia mengurai pelukanku.
Deg!
Panas rasanya mata ini mendengar penuturannya barusan.
Padahal dia hanya minta seragam sekolah, bukan mainan ataupun makanan mewah.
Tapi aku tidak bisa memenuhinya.
Kutahan air mata yang sudah menganak sungai, agar dia tidak
melihat betapa lemah Ayahnya ini.
"Nanti, setelah Ayah pulang ngojek. Ayah belikan, oke
Tuan Putri?" Janjiku padanya.
Kujawil hidung mancungnya, wajahnya persis Ibunya. Cantik.
"Janji ya, Ayah," ucapnya mengangkat satu
tangannya yang dikepal, namun masih tersisa jari kelingking. Tanda janji.
Kuraih tangan kecilnya, membuat janji.
Tes!
Tidak terasa, air mataku menetes mengingat Ica. Harus kemana
lagi hamba mencari uang ya Allah. Batinku menjerit.
Aku seperti Ayah yang tidak punya harga diri, pantas Allah
mengambil kembali istriku. Karena Ica seorang saja tidak mampu aku bahagiakan.
Aku terus merutuk diri sendiri, merasa menjadi paling
rendah. Tanpa kusadari, ada orang yang terus memanggil.
"Mas!" teriak seseorang sambil menepuk bahuku
sedikit kencang, yang membuatku terkejut.
"Eh, Oh iya, Mbak. Maaf saya melamun," ucapku
sambil tersenyum malu.
"Tidak apa-apa, Mas. Saya mau order jasa, Mas bisa?" tanya Mbaknya sambil menunjuk kearahku.
"Boleh-boleh, Mbak. Boleh banget," jawabku
disertai anggukan.
"Yaudah kalau gitu, Mas ikut saya kerumah ya,"
tuturnya. Kemudian dia kembali menaiki mobilnya, dan aku mengikutinya dari
belakang.
Setalah melakukan perjalan sekitar 20 menit, aku tiba
dirumah megah dan mewah.
"Silahkan masuk, Mas. Barangnya ada di dalam,"
ucapnya sambil masuk ke dalam rumah.
"Duduk dulu, Mas. Saya ambil dulu barangnya di
kamar," ujarnya lagi.
Aku masih berdiri di samping sofa, tidak berani duduk takut
mengotorinya.
"Lho kok masih berdiri, Mas. Duduk aja nggak
papa," ucapnya lagi.
"Nggak papa, Mbak. Saya disini saja," jawabku
sopan.
"Saya Hilda."
"Iya, Mbak Hilda."
"Jadi gini, Mas. Saya mau Mas mengantarkan kotak ini ke
salah satu panti asuhan," ucapnya menjelaskan.
"Maaf sebelumnya, ini isinya apa ya?" tanyaku
hati-hati, takutnya tersinggung.
"Ini baju bekas alm. Anak saya, dia sudah meninggal
karena kecelakaan," jawabnya. Aku hanya mengangguk-angguk ngerti.
"Maaf, Mbak Hilda. Saya lancang," ucapku pelan.
"Tidak apa, Mas. Saya hanya tidak sanggup jika masih
ada barang-barangnya disini. Itu akan membuat saya semakin sedih, "
ujarnya lagi.
Kubuka kardus segi empat itu, ternyata benar baju.
"Mbak Hilda, saya boleh nggak minta baju-baju ini untuk
anak saya. Karena kebetulan ukurannya sama," ucapku sambil menunjuk kearah
baju-baju.
Karena bukan hanya baju sehari-hari, tapi juga ada beberapa
seragam sekolah lengkap di dalamnya. Baju sekolah merah putih, permintaan Ica.
"Boleh banget, Mas. Kalau Mas mau ambil aja
semuanya," jawabnya tersenyum tulus.
"Terimakasih banyak ya, Mbak Hilda. Terimakasih
banyak," ucapku berkali-kali.
Senyumku terus mengembang melihat kearah kardus besar yang
kini berada di belakang motor.
"Ica, sekaranh kamu punya seragam nak," lirihku
pelan sambil mengusap ujung mata yang basah.
***Tamat.
***
Demikian Cerpen Ilyas One yang dikirim oleh penulis untuk dimuat dalam web ini.
Terima kasih telah berkunjung ke website Sampah Kata.
Penulis Amatiran Dari Pinggiran
Secarik Ocehan Basi Tak Lebih Dari Basa-Basi
Post a Comment