Seragam Untuk Shofia Cerpen Kei Naz (Lentera Merindu)
"SERAGAM" UNTUK SHOFIA (Cerpen
["Assalamualaikuum Ayah sayang, minggu depan sekolah
sudah mulai tatap muka, kita jadi beli seragam kan?" semoga uangnya sudah
terkumpul ya."]
Pesan dari Shofia kubaca baru saja. Ada perih yang menelusup
perlahan di hati, mengingat uang yang kudapatkan belakangan ini tak seberapa,
cukup untuk makan kami bertiga, istri dan anakku satu-satunya saja sudah
bersyukur.
["Inshaallah ya nak, Shofia minta dulu ke Allah ya
sayang, doakan ayah bunda juga ya sayang."] Aku mengirimkan balasan itu
untuk membuat hatinya tenang.
Shofia, gadis kecilku berusia delapan tahun, duduk di bangku
kelas dua SD. Sejak awal dia masuk sekolah belum pernah punya seragam, karna
masa pandemi ini jadi belajarnya hanya di rumah dengan tugas-tugas yang diberikan
guru. Setahun setengah sekolah berjalan, aku belum bisa membelikan dia baju
putih merah, apalagi sepatu dan tas.
Shofia kecil tak pernah merengek meski tak memiliki mainan
dan barang-barang seperti temannya. Dia selalu mengerti keadaanku yang hanya
seorang ojek online. Tapi dalam waktu dekat sekolah sudah mulai bertatap muka,
itu artinya aku harus menyiapkan perlengkapan sekolah anakku.
"Ya Allah berikanlah rezeki untuk anakku, bukalah pintu
rahmatmu dari mana pun ya Robbi." Doaku dengan mata berkaca-kaca.
"Kenapa Gus, kok tiba-tiba wajahmu murung." Ucap
Handoko yang sedari tadi duduk tak jauh di depanku.
Aku berusaha menenangkan hati.
"Enggak apa-apa Han, biasalah sedikit lelah hari ini
karna cuacanya panas sekali." Jawabku.
Suara hapeku tiba-tiba berbunyi, dering yang menandakan
masuk pesanan antar. Aku segera mengecek alamat pesanan yang harus kuambil dan
segera menuju resto yang tertera di aplikasi layan antar sembari berpamitan
dengan Handoko.
Tak berapa lama aku sudah berada di restorant cepat saji
untuk mengambil pesanan. Pengunjung yang makan di tempat cukup ramai karna ini
hari sabtu, hari yang sebagian besar bagi orang-orang berkecukupan bisa makan
bersama di luar rumah, lagi-lagi terbayang wajah anak dan istriku di rumah.
Semoga hari ini mereka sudah makan meski dengan lauk seadanya.
Suara pelayan terdengar memanggil kode pesanan, dan itu
nomorku. Dengan hati-hati aku membawa paketan makanan supaya sampai di
pelanggan dalam keadaan baik.
Jarak restoran menuju rumah pemesan tidak seberapa jauh, aku
sudah sampai tepat di depan sebuah rumah cukup mewah, nomor rumah 31C, komplek
Nirwana Indah. Perumah yang terbilang elite dan mahal di kotaku.
Aku menekan bel rumah, dan menunggu dengan sabar. Tak lama
keluar seorang perempuan paruh baya yang berpakaian rapi dan sopan.
"Pesanan atas nama Bu Hilda." Ucapku sambil
memberikan paketan.
"Betul, mari silahkan masuk dulu pak, uangnya ada di
dalam belum saya bawa." Jawabnya ramah.
Aku mengangguk dan mengikutinya masuk ke teras. Rumah yang
bercat putih dan abu, terlihat sangat kontras dengan bunga-bunga yang aku yakin
harganya tidak murah. Sekeliling rumah dipagari ukiran besi berwarna keemasan,
beberapa patung dan air terjun buatan membuat pemandangan teras rumah ini
sempurna, indah.
"Maaf pak, ini uangnya silahkan dihitung." Suara
Bu Hilda mengalihkan pandanganku.
Aku mengambil uangnya dan menghitung semuanya tiga ratus
ribu rupiah.
"Maaf Bu, ini uangnya kelebihan seratus ribu. Pesanan
Ibu hanya dua ratus ribu saja." Ucapku buru-buru mengembalikan sisanya.
"Itu saya lebihkan untuk tambah rezeki Bapak, sekalian
saya mau minta tolong, sembari Bapak pulang kalau tidak keberatan." Bu
Hilda menjawab dengan sangat sopan.
"Alhamdulillah, terima kasih Bu, ini jumlah yang banyak
buat saya. Apa yang bisa saya bantu, Bu?" Tuturku hati-hati.
Mendapatkan tips dengan jumlah yang besar membuatku bahagia
sekali, dan seragam sekolah Shofia berkelebat di pikiranku.
"Ini Pak, ada kardus cukup besar berisi beberapa seragam sekolah yang belum sempat
dipakai anak perempuan saya, mungkin bapak bisa bantu memberikan kepada siapa
saja yang membutuhkan." Jawab Bu Hilda dengan raut wajah yang nampak
berubah sedih.
"Maaf Bu, sebelumnya kalau boleh tahu, kenapa
seragamnya sudah tidak dipakai, apa gak muat ya Bu?" Aku memberanikan diri
bertanya.
Bu Hilda menarik napas berat dan matanya berkaca-kaca.
Sejenak beliau terdiam seolah sedang teringat sesuatu.
"Putri saya, kelas dua SD Pak, sudah meninggal empat
bulan lalu karna terpapar corona dan tidak tertolong. Setiap melihat seragam
sekolah dan perlengkapan lain untuknya, hati saya hancur walaupun sudah
berusaha ikhlas." Jelas wanita paruh baya itu dengan suara parau.
Hati saya tetiba sedih merasakan dukanya, tak terbayang
bagaimana rasanya kehilangan anak yang sangat kita cintai meski itu terjadi
atas ketentuan Allah.
"Maafkan saya Bu, jadi lancang begini dan membuat Ibu
sedih. Semoga surga menjadi tempat untuk ananda." Jawabku hati-hati
sekali.
"Tidak apa-apa Pak, oh ya gimana Bapak bisa bantu saya,
kan?" Saya serahkan ke Bapak kemana mau dibawa kardus itu. Atau barangkali
bisa berguna untuk keluarga di rumah, tapi sekali lagi saya mohon maaf sudah
merepotkan." Tutur Bu Hilda cepat.
Entah mengapa aku merasa seolah Tuhan sedang mengijabah doa
si kecilku, Shofia.
" Bu Hilda, dengan senang hati saya mau membawanya, dan
kalau Ibu berkenan mengizinkan, baju seragam dan perlengkapan sekolah di kardus
itu akan saya berikan ke anak saya sendiri Bu." Ucapku sedikit memohon.
"Anak saya perempuan dan seusia putri Ibu, saya sendiri
belum mampu membelikan baju dan keperluan sekolahnya." Tambahku lagi.
Wajah Bu Hilda mendadak senang dan mempersilahkan saya masuk
untuk mengambil kardus berukuran cukup besar.
"Pak, maaf nama bapak siapa?" Bu hilda bertanya.
"Saya Agus, Bu." Tukasku.
Aku berjalan di belakang Bu Hilda, pemilik rumah mewah di
kawasan elite. Sampai di teras beliau berhenti, dan kardus yang cukup berat itu
kuletakkan.
"Pak Agus, silahkan digunakan semua barang-barang itu,
saya senang kalau bisa bermanfaat untuk anak Bapak." Ucap beliau santun.
"Masyaallah, terima kasih banyak Bu, terima kasih tak
terhingga, sungguh saya bersyukur sekali atas pemberian ini, semoga Ibu dan
keluarga diberikan rezeki dan kesehatan yang barokah, amiin." Ucapku
khidmat.
Bu Hilda mengangguk sembari mengaminkan dan aku pun
berpamitan pulang.
Aku bergegas menuju kendaraan roda dua, tak sabar segera
tiba di rumah memeluk perempuan kecilku yang menanti setiap hari ayahnya pulang
kerja.
"Alhamdulillah ya Allah, sungguh janjimu tak pernah
ingkar untuk memenuhi apa yang hambamu butuhkan." Syukurku dalam hati.
Hari yang begitu terik terasa sejuk di kalbu, tak
henti-henti zikir kulafadzkan mengiringi perjalanan pulang menuju pelukan anak
istriku.
_____
Tamat.
***
Demikian Cerpen Kei Naz (Lentera Merindu) yang dikirim oleh penulis untuk dimuat dalam web ini.
Terima kasih telah berkunjung ke website Sampah Kata.
Penulis Amatiran Dari Pinggiran
Secarik Ocehan Basi Tak Lebih Dari Basa-Basi
Post a Comment