Cerpen Romantis Suatu Ketika Di Seberang Stadion Dimurthala
𝐒𝐮𝐚𝐭𝐮 𝐊𝐞𝐭𝐢𝐤𝐚
𝐝𝐢
𝐒𝐞𝐛𝐞𝐫𝐚𝐧𝐠
𝐒𝐭𝐚𝐝𝐢𝐨𝐧
𝐃𝐢𝐦𝐮𝐫𝐭𝐡𝐚𝐥𝐚
Cerpen Karya Diyus Hanafi
“Eh… jumpa lagi…” ujar perempuan berbaju perawat itu padaku.
Aku mengernyitkan kening menatapnya. Samasekali tak ingat atau kenal. Sebab bagian bibir dan hidungnya bertutup masker. Seragam medis membungkus tubuhnya, penuh.
Tampaknya ia menangkap kebimbanganku. “Ini Abang yang 𝑢𝑑𝑎ℎ 24 tahun 𝑛𝑔𝑔𝑎𝑘 pernah minum obat, ‘𝑘𝑎𝑛?” tanyanya.
“Iya… Sekarang 𝑢𝑑𝑎ℎ 25 tahun” jawabku sambil mengingat donor darahku sebelum ini. Aku baru ingat, ternyata dialah yang saat itu bertugas di front desk PMI. Waktu itu dia bertanya, "Ada minum obat dalan 24 jam terakhir?"
Waktu itu kujawab, "Sudah 24 tahun aku 𝑛𝑔𝑔𝑎𝑘 minum obat."
Bergegas ia mengarahkanku ke kursi donor darah yang sesantai kursi pangkas. Sepertinya aku harus punya kursi semacam ini untuk menikmati hidup yang tergesa.
“Aku lupa bawa kartu donor…” ujarku dengan nada menggantung.
“𝑁𝑔𝑔𝑎𝑘 𝑝𝑎-𝑝𝑎. Nanti data Abang tetap akan tercatat online,” ujarnya menjelaskan.
Tangannya tampak piawai dan cekatan memasang sfigmomanometer 𝑎𝑡𝑎𝑤𝑎 tensimeter. Memeriksa tekanan darahku. Darah yang dalam alirannya kuzikirkan nama seorang perempuan.
“Bagus ini. Tekanannya 120. HB-nya berapa tadi?” tanyanya lagi.
“Kata petugas yang di depan sana 15,5…” jawabku. Aku heran dengan pertanyaannya. Sebab di form yang sekarang berada di tangannya semua dataku tertulis lengkap.
“Sehat kali Abang 𝑛𝑖, ya… apa rahasianya?” cecarnya dengan tanya baru.
Aku tersenyum menahan geli. Banyak betul pertanyaannya. Demi membesarkan hatinya kujawab, “Ingatlah selalu orang yang tak membalas Cintamu!”
Matanya terbelalak. Tebakanku, cuping hidungnya sedang mengembang menahan gelak. “Kenapa 𝑘𝑒𝑘 gitu jawaban Abang?”
“Iya. Cuma dengan begitu energi murni tubuh kita bangkit. Jiwa jadi sehat, badanpun kuat!” jawabku 𝑛𝑔𝑎𝑠𝑎𝑙. Tapi tampaknya dia percaya.
“Adek ini 𝑛𝑔𝑔𝑎𝑘 merasa berdosa, tiap hari 𝑚𝑒𝑔𝑎𝑛𝑔 lelaki non-muhrim terus?” tanyaku membalas berondongan pertanyaannya.
“Hihihihi… “ kikiknya lagi. “Abang ini ada-ada 𝑎𝑗𝑎… ini ‘𝑘𝑎𝑛 sudah tugas saya. 𝑀𝑒𝑔𝑎𝑛𝑔nyapun ‘kan 𝑛𝑔𝑔𝑎𝑘 pakek perasaan yang macam-macam…” jawabnya. “𝐾𝑎𝑦𝑎𝑘nya selama saya jadi petugas donor, cuma Abang yang tanya 𝑘𝑒𝑘 𝑔𝑖𝑛𝑖...” ada nuansa sebal-sebal kesal dalam tuturnya.
“Terus, ada 𝑛𝑔𝑔𝑎𝑘 perasaan berdosa, tiap hari 𝑛𝑢𝑠𝑢𝑘 orang sampai berdarah?” tanyaku, murni untuk mengusili.
“Hahahahaha…” ia tak mampu menahan gelak. Dua pendonor lain di sisi kiriku sontak menoleh ke arah kami. Aku mengangguk ke arah mereka sambil tersenyum.
“Apa Abang selalu begini kalau sedang donor darah?” tanyanya.
“Jangan menjawab pertanyaan dengan pertanyaan, Dek… nanti kujawab lagi pertanyaan Adek dengan pertanyaan juga,” tangkisku.
“Oke… Ya 𝑛𝑔𝑔𝑎𝑘 ada 𝘭𝘢𝘩 perasaan berdosa. 𝐾𝑎𝑛 memang 𝑘𝑒𝑘 𝑔𝑖𝑛𝑖 prosedur donor darah. Kami membantu orang yang sedang mau membantu orang…” cerocosnya. “Sekarang jawab pertanyaan saya yang tadi; Apakah Abang selalu begini kalau sedang donor darah?” cecarnya. Aku mendesis. Pertanyaan terakhir ini disertai tusukan muncung jarum ke pembuluh darahku. Sontak cairan merah kental segera mengaliri pembuluh polimer sebesar sedotan menuju kantung penampung.
“𝐿ℎ𝑜… tadi ‘𝑘𝑎𝑛 yang mulai tanya banyak-banyak Adek ini, bukan aku. Semestinya aku yang tanya, Apakah Adek selalu bertanya sebanyak ini tiap membantu orang yang sedang mendonorkan darahnya?" Responku langsung menghentak kesadaran dan membuatnya terpingkal sambil memegang perut. Ia segera berlari ke kamar mandi, melepaskan tawa sepuasnya agar tak mengganggu pendonor lain.
Saat kembali, ia masih ngos-ngosan. “Haduh… capek kali, Bang… udah lama saya 𝑛𝑔𝑔𝑎𝑘 ketawa 𝘬𝘦𝘬 𝘨𝘪𝘯𝘪. Abang ini pande kali bolak-balik kata-kata…” ujarnya dengan nada ceriwis.
“Eh… mana ada. Aku cuma mau mengingatkan siapa yang memulai,” tangkisku.
“Sampek lemas saya ketawa, Bang…” katanya nyaris bergumam.
“𝐾𝑎𝑛 belum kuapa-apain, 𝑘𝑜𝑞 bisa lemas?” godaku. Tawanya hampir meledak lagi. Ia mencoba menahan diri sambil mengatur napas. Maskernya sudah terlepas. Kutatap paras itu, raut wajah yang sedang menahan tawa dengan cuping hidung yang kembang-kempis dalam interval yang begitu ritmis.
"Tengoklah lemahnya aku ini... 𝑢𝑑𝑎ℎ dipegang-pegang 𝑠𝑎𝑚𝑎 cewek non-muhrim, ditusuk sampai berdarah, 𝑛𝑔𝑔𝑎𝑘 bisa balas pula..." tambahku lagi. Bisa kurasakan tensi rasa geli di perutnya meningkat lagi.
“Cukup, Bang… jangan mulai lagi. 𝑁𝑔𝑔𝑎𝑘 sanggup saya ketawa lagi nanti. Sekarang saya mau tanya serius. Kenapa Abang masih mau donor, padahal di media sedang heboh PMI jual darah?”
“Aku kembali ke niat 𝑎𝑗𝑎. Sejak pertama donor, aku selalu membayangkan situasi orang yang sedang butuh darah. Jadi setelah donor, terserah saja darahku mau diapakan…”
“Berarti Abang ikhlas?” tanyanya.
“𝑁𝑔𝑔𝑎𝑘 𝑡𝑎𝑢. Yang bisa menilai keikhlasan cuma Tuhan, bukan manusia, apalagi diri sendiri…” jawabku.
“Kayaknya Abang ikhlas…” ujarnya nyaris bergumam. “Menurut Abang ikhlas itu apa?”
𝑌𝑎… 𝑇𝑢ℎ𝑎𝑛. 𝑀𝑒𝑛𝑔𝑎𝑝𝑎 𝑝𝑒𝑟𝑒𝑚𝑝𝑢𝑎𝑛 𝑖𝑛𝑖 𝑏𝑒𝑔𝑖𝑡𝑢 𝑐𝑒𝑟𝑖𝑤𝑖𝑠?
“Mmm… macam mana, ya… aku 𝑛𝑔𝑔𝑎𝑘 𝑡𝑎𝑢 pasti. Tapi kira-kira gambarannya begini. Kalau aku memberi sebilah belati untuk Adek, aku tak ‘𝑘𝑎𝑛 marah seandainya belati itu Adek pakai untuk menikam jantungku!”
“Masya Allah…” ujarnya, “paten kalilah jawaban Abang ini. Berapa nomor HP, Bang? Kayaknya enak ngobrol sama Abang” tanyanya mendesak. Aku tertawa. Lugas dan gamblang betul ini orang… Apakah uraianku soal ikhlas sudah merobohkan benteng besar di dirinya?
“Cek aja di database PMI,” jawabku. Ia merespon dengan paras sebal. Aku 𝑡𝑎𝑢 pasti, nomor HPku yang terdaftar di database PMI sudah tak aktif lagi.
"Satu lagi, aku 𝑛𝑔𝑔𝑎𝑘 mau kejahatan segelintir orang membuatku ragu membagikan hak pada orang lain yang sedang membutuhkan pertolongan!" pernyataan terakhirku membuatnya menatap langsung ke mataku. Kulihat sepasang matanya berkaca-kaca. Kontras betul fluktuasi emosinya dalam hitungan belasan menit ini. Kami jadi hening saat menanti kantung-darah penuh terisi, terendam dalam diam.
"Tut... tut... tut..." Indikator digital menunjukkan angka 350 mililiter.
Ia memotong pembuluh polimer yang menghubungkan aliran darahku ke kantungnya. Sigap betul gerakannya saat mencabut jarum, mengoleskan secupak kapas berbalur alkohol dan memasangkan sejenis hansaplast berbentuk bundar sebesar kancing baju di tempat tusukan jarum.
Agak tergesa menyerahkan sekantung bingkisan berisi air mineral dan kudapan untuk setiap pendonor. Kuminta izin untuk mengambil foto. Ia mengangguk dengan tatap mata berbinar. Mahlizar Safdi menjepretkan kamera smartphone-nya beberapa kali.
“Terimakasih sudah mendonorkan darahnya, Bang…” ujarnya.
“Okey… sampai jumpa 100 hari lagi!” jawabku sambil melintasi ambang pintu kaca yang terbuka separo.
Sempat-sempatnya ia menunjukkan kode akan menelpon nanti
malam. Aku tersenyum. Membalas kodenya dengan senyum sembari mengacungkan dua
jempol.
***Tamat***
***
Demikian Cerpen Romantis 𝐒𝐮𝐚𝐭𝐮 𝐊𝐞𝐭𝐢𝐤𝐚 𝐝𝐢 𝐒𝐞𝐛𝐞𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐒𝐭𝐚𝐝𝐢𝐨𝐧 𝐃𝐢𝐦𝐮𝐫𝐭𝐡𝐚𝐥𝐚 Karya Diyus Hanafi.
Terima kasih telah berkunjung ke website Sampah Kata.
Post a Comment