Eps 5 Kepingan Amarah Novel Bidara Bukan Bidara Season 2 Oleh Rita Mayasari
Malam terasa begitu panjang ketika sepasang anak manusia
terlentang dibilik peraduan yang sama namun tenggelam dalam lautan angan yang
berbeda.
Hanya deru nafas yang sesekali terdengar berat memecah
membelah sunyi.
Seolah ada titah perintah, mereka membalikkan badan dalam waktu yang sama, hingga kini posisinya berhadapan.
"Dara.. besok mama datang" Ammar berkata dengan
tatapan yang menunggu reaksi diwajah sang isteri.
Namun tak sepatah kata pun yang terucap dari bibir ranum
Bidara. Hingga cukup lama bagi Ammar untuk meneruskan kata-katanya. "Mama
akan menginap disini mungkin untuk waktu tiga bulan, karena ada pekerjaan yang
harus beliau tangani selama disini".
Kini terlihat jelas perubahan ekspresi pada wajah Bidara.
Walau berusaha menyembunyikan apa yang sedang ia fikirkan, matanya tak bisa
berdusta. Ada raut terkejut disana. Sesaat kemudian Bidara tersenyum meski
terpaksa. Dia tak membenci ibu mertuanya. Hanya saja ia masih tak mampu
meluluhkan pertahanan sang ibu mertua untuk tidak membuka pintu hatinya bagi
gadis desa dengan latar belakang keluarga antah berantah seperti Bidara.
"Andai saja mama tau, wanita seperti apa yang dinikahi
putera bungsunya, mungkin mama tidak hanya memuntahkan makian, melainkan
memuntahkan semua isi perutnya karena jijik" batin Bidara sambil menatap
wajah lembut suaminya.
Wajah yang begitu teduh, namun tak pernah menenangkan bagi
Bidara. Karena tiap melihat wajah itu, Bidara akan menghina bahkan memaki
dirinya sendiri.
"Tidurlah, karena besok pagi-pagi sekali kita sudah harus menjemput mama ke bandara" ucap Ammar sembari mengusap lembut kepala Bidara.
Keesokan harinya, usai melaksanakan ibadah sholat subuh,
Bidara langsung bergegas ke dapur untuk membuatkan sarapan mereka. Ia juga
memasak beberapa makanan yang disukai ibu mertuanya. Ia berfikir barangkali ibu
mertua lapar setelah perjalanan kemari, hingga tak perlu menunggu untuk mengisi
perutnya.
Setelah mencuci piring usai sarapan, mereka pun bergegas
menuju bandara.
Butuh waktu hampir dua jam perjalanan untu sampai ke bandara
dikarenakan jalanan begitu macet. Maklum saja, dihari kerja, arus lalu lintas
pagi lebih padat daripada hari libur, dimana orang-orang banyak memilih untuk
beranjak lebih siang dari tempat tidurnya.
Sesampainya mereka di bandara, tak butuh waktu lama untuk
mereka bertemu dengan ibu Ammar.
Ammar menyalami dan mencium punggung tangan sang ibu, lalu dibalas dengan pelukan hangat dan cium penuh kasih dikeningnya. Bidara pun melakukan hal yang sama, namun belum sempat hidungnya menyentuh tangan ibu mertuanya, wanita bertubuh tinggi dan berkulit putih itu menarik tangannya dari tangan Bidara.
Sesaat tersirat kebencian dalam lirikan matanya. Ammar yang terlalu sibuk mengambil alih tas dan koper dari dari sanping sang ibu, tidak memperhatikan berapa kikuknya Bidara yang kini mematung dihadapan mertuanya.
Bahkan ia sama sekali tidak memperhatikan bagaimana raut wajah ibunya yang
seolah mampu membunuh Bidara meski tanpa menyentuhnya.
Meskipun dari awal Ammar tau bahwa ibunya tak merestui pernikahannya dengan Bidara. Namun ia yakin suatu saat semuanya akan baik-baik saja.
Ia sama sekali tak mengira bahwa harapan yang terlalu tinggi akan hancur jika dijatuhkan begitu saja, dan akan meninggalkan kepingan amarah yang berserakan. Begitulah dengan hati sang ibu.
Bidara bukanlah menantu yang ia harapkan untuk
mendampingi anak lelaki satu-satunya yang ia lahirkan. Namun ia harus
menerimanya karena tuntutan dunia yang tak mungkin ia abaikan.
Post a Comment