Eps 7 Sebatas Perjanjian Novel Bidara Bukan Bidara Season 2 Oleh Rita Mayasari
Table of Contents
Keesokan harinya, sesuai sholat subuh, Seperti biasa Bidara berolahraga. Karena sedang menstruasi, ia hanya melakukan yoga. Ia melakukan senam yoga ditaman belakang rumah, didekat sebuah kolam dengan air mancur yang menyerupai air terjun, tentu saja dengan khas pegunungan buatan.
Ketenangannya terusik tatkala mendengar suara ibu mertuanya dari balik jendela " owalah Mar, mama dan nenekmu dulu pakai pembantu setelah punya anak, ini lho isterimu, ga kerja, ga punya anak juga, masih perlu mbak Ani buat ngerjain semuanya. Untung tidurnya ga sekalian dikelonin si mbak, klo iya gitu, bisa-bisa mbak Ani ga pulang hari".
Ocehan sang ibu ditanggapi dengan sabar oleh Ammar. Ia menjelaskan bahwa ia lah yang meminta mbak Ani untuk bantu-bantu dirumah karena kasihan dengan teman sekolah dasar nya tersebut, sebab ia adalah seorang janda yang ditinggal suaminya tanpa kabar hingga akhirnya menerima kiriman surat cerai dari sang suami dan ia pun memiliki empat orang anak. Mbak Ani adalah kakak kelas Ammar ketika duduk dibangku sekolah dasar.
Mengingat masa ketika ia kecil, mbak Ani adalah orang yang selalu bersikap baik, bahkan banyak membantunya disekolah. Ammar sendiri mendengar berita tentang keadaan rumah tangga Ani dari Wildantara sahabatnya.
Saat itu Ammar berseloroh bahwa ia akan menjadikan mbak Ani sebagai simpanannya demi membantu ekonomi keluarga Ani. Ammar yang ketika mendengarkan hal tersebut menanggapi dengan serius. Ia pun meminta bantuan Wildantara agar bisa dipertemukan dengan Ani. Hingga akhirnya ia memutuskan agar Ani bantu-bantu dirumah sekaligus untuk menemani Bidara ketika Ammar sedang bekerja.
Bidara memilih untuk mengabaikan apa yang ia dengar. Hingga pagi hari seusai mandi, mereka berkumpul diruang makan. Bidara tidak tau apa yang harus ia bicarakan untuk memulai obrolan dengan ibu mertuanya. Ia pun memilih fokus dengan salad yang ada di piringnya.
Ammar membantu mengolesi selai kacang ke roti ibunya. Hingga ia dan Bidara dikejutkan oleh petanyaan sang ibu. " Kamu belum hamil juga? Atau kamu memang tidak ingin memiliki anak karena takut badanmu menjadi melar?". Kerongkongan Ammar mendadak terasa kering. Begitu juga dengan Bidara. Ia bahkan tak mampu menggerakkan mulut untuk mengunyah salad yang terlanjur masuk ke mulutnya.
Setelah meminum beberapa teguk air, ia menjawab pertanyaan ibunya. Dia mengatakan bahwa mereka sama sekali tidak menunda kehamilan.
Hanya memang belum dikaruniai anak saja. Ia pun mengatakan bahwa Bidara selalu menjaga pola makannya dan rajin berolahraga bukan semata untuk menjaga bentuk tubuh, melainkan untuk menjaga kesehatan dan kesuburannya juga.
Andira yang mendengar penuturan puteranya malah menjadi berang. Ia merasa Ammar terlalu membela isterinya. Bahkan untuk menjawab pertanyaan sederhana saja Bidara masih harus mengandalkan suami.
Pembicaraan mereka terhenti dengan bangkitnya Andira dari meja makan, meninggalkan Bidara yang tertunduk dengan pelupuk mata yang serasa memanas. Ada bendungan air yang hangat disana.
Sementara Ammar membisu bergumul dengan keresahan fikirannya sendiri.
Ani yang duduk di dapur mendengarkan semuanya dengan wajah yang sama resahnya. Ia mengerti bagaimana perasaan Bidara.
Baginya Bidara adalah wanita yang beruntung sekaligus wanita yang malang.
Beruntung karena memiliki Ammar sebagai suaminya, namun malang karena wanita cantik itu seolah tak sempurna karena sebatang kara.
Tak lama kemudian Ammar beranjak dari sana setelah menepuk-nepuk pelan pundak isterinya. Ia melangkah menuju ruang kerjanya. Disana setelan baju kerja sudah tergantung rapi disiapkan oleh isterinya. Setelah semuanya siap, Ammar bergegas hendak menuruni tangga lalu berangkat ke kantor. Namun langkahnya terhenti oleh sang ibu.
Disaat bersamaan langkah Bidara pun terhenti diatas anak tangga menuju kamarnya. "Ammar, mama ingin bicara serius. Kita bicara disana saja" tunjuk ibunya ke arah sepasang kursi yang berada tepat didepan ruang kerja Ammar. Bidara ingin berbalik, namun lagi-lagi langkahnya terhenti karena apa yang ia dengar. " Ceraikan isterimu". Mata Ammar terbelalak saat mendengar ucapan sang ibu. Ia begitu terkejut hingga kehilangan kata-kata.
Hal itu pun tak luput dari perhatian Bidara. ia terkejut dan namun lebih kecewa ketika tidak mendengar jawaban apapun dari suaminya. Sampai akhirnya sang ibu mertua melanjutkan perkataannya " mama tidak melihat ada cinta dimatanya. Kamu fikir mama tidak tahu kalau hubungan kalian tidak sungguh-sungguh?
Kamu tiba-tiba saja membawa perempuan itu kerumah, tepat seminggu setelah kakek memberi syarat pernikahan padamu untuk bisa mengambil alih kantor cabang disini. Sebelumnya jangankan membawa perempuan kerumah, membicarakan perempuan saja kamu tidak pernah tertarik.
Bahkan ketika mama mau menjodohkanmu dengan puteri mang Ridwan yang berprofesi sebagai dokter kecantikan saja kamu menentang keras. Malah kamu nikahi perempuan yang tidak jelas asal usulnya".
Bidara yang tidak lagi sanggup untuk mendengar ucapan demi ucapan ibu mertuanya, tak lagi tertarik untuk terus menguping disana. Ia membalikkan badan dan melangkah menuju taman belakang rumah. Disana ia menangis tanpa suara.
Sementara Ammar mulai kehilangan kesabaran terhadap sang ibu. Ia begitu terkejut dan merasa tidak lagi mengenal ibunya.
Meski sangat tegas, dimatanya sang ibu adalah ibu yang begitu lembut penuh kasih sayang. Yang selalu mengulurkan tangan kepada siapapun yang membutuhkan. Tidak pernah sekalipun ia melihat ibunya menghina orang lain, tidak pernah pula berkata sedemikian kejamnya. Hingga membuat ia dan kakak-kakak perempuan, bahkan kakak angkat laki-lakinya tumbuh menjadi sosok yang baik dan rendah hati.
Ia pun mulai membuka mulutnya dan berkata dengan hati-hati setelah sangat berusaha menenangkan hatinya. "Mama, kenapa mama jadi seperti ini. Aku seolah sedang melihat orang lain.
Mama selalu berkata bahwa Gendis adalah gadis yang sempurna, gadis paling menyenangkan dimata mama, namun mama lupa, yang terbaik dimata mama, belum tentu akan menjadi yang terbaik untuk anak mama. Aku mencintai isteriku mam.
Dia membuatku merasa diterima tanpa perduli siapa aku". Andira tersenyum sinis menanggapi setiap perkataan puteranya. " Are you kidding? Tanpa perduli siapa dirimu? Kata-kata itu hanya cocok kau ucapkan jika kau adalah lelaki miskin pengangguran. Nyatanya kau adalah direktur dari sebuah perusahaan meskipun hanya perusahaan cabang. Yang sebentar lagi akan mewarisi seluruh perusahaan kakekmu".
Sadarlah nak. Jangan bodoh. Mama yakin, Gendis masih mau menerimamu kembali meski kau duda. Karena sedari ia kecil, ia selalu berkata akan menjadi isterimu bahkan sampai saat sebelum wanita itu masuk ke hidupmu.
Ammar menghela nafas panjang. Ia menggelengkan kepalanya sembari berkata " jika tidak dengan Bidara sekalipun, aku tidak akan menikahi Gendis mam..". Ia pun berlalu dari hadapan ibunya. Dengan langkah cepat ia menuruni anak tangga. Ia mencari keberadaan isterinya untuk berpamitan.
Ia menelusuri tiap sudut dalam rumahnya, namun tak jua ia temukan sosok Bidara. Ia menghentikan langkah saat mengingat tempat favorit sang isteri ketika sedang bersedih. "Jangan-jangan Bidara mendengarkan pembicaraanku dan mama" fikiran itu melintas begitu saja dikenalnya. Setengah berlari, ia menuju ke taman belakang rumah.
Benar saja, dari balik pintu kaca, ia dapat melihat Bidara yang duduk di samping sungai buatan dengan kaki yang terendam hingga selutut. Bidara duduk membelakangi pintu tersebut. Namun dari gerakan bahunya yang naik turun tak beraturan itu, Ammar tau jika saat ini Bidara sedang menangis. Ia pun semakin yakin jika isterinya mendengar perdebatan ia dan sang ibu tadi.
Perlahan Ammar mendekati Bidara. "Dara.. kau disini.. aku mencarimu dari tadi" ucap Ammar perlahan. Bidara tak menjawab, ia bahkan mengalihkan pandangan dari suaminya.
Karena ia tak sempat mendengar pembelaan sang suami ketika ia menguping pembicaraan mereka tadi. Ia berfikir Ammar adalah laki-laki yang tidak punya prinsip. Bukankah ia yang meyeret Bidara dalam hidupnya?
Bukankah dari awal ada perjanjian diantara mereka, dimana salah satunya adalah Ammar akan membelanya jika nanti keluarga Ammar memandang rendah dirinya.
Bidara dari awal tidak pernah mengharapkan ada cinta diantara mereka. Karena pernikahan mereka pun dimulai dari sebuah perjanjian. Bidara tidak percaya ada lelaki menginginkannya dengan alasan cinta, karena sepanjang ingatannya setiap laki-laki yang ia temui hanya menginginkan tubuhnya, dan ucapan-ucapan cinta hanya melodi pengiring diatas ranjang saja.
Sementara bagi Ammar yang pernah terluka, menutup hatinya untuk semua cinta dari wanita selain ibu dan para saudarinya.
Pernikahan mereka sebatas Perjanjian dan hubungan simbiosis mutualisme semata.
Bidara yang ingin bebas dari sang induk semang, Ammar yang harus memenuhi persyaratan menikah demi mewarisi perusahaan cabang sang kakek.
Dan mereka harus mempertahankan pernikahan hingga lima tahun lamanya agar Ammar dapat mewarisi seluruh perusahaan kakeknya. Namun, tetap saja hanya Allah yang mengetahui takdir, hanya Allah pula yang mampu membolak balikkan hati. Hanya butuh waktu setahun pernikahan saja, Ammar jatuh hati pada sang isteri.
<<< Eps 6
Lanjut Baca KLIK >>> Eps 8
***
Terima kasih telah berkunjung ke website Sampah Kata.
Salam kopi pahit...
Post a Comment