Eps 8 Flashback Novel Bidara Bukan Bidara Season 2 Oleh Rita Mayasari

Table of Contents
Eps 8 Flashback Novel Bidara Bukan Bidara Season 2 Oleh Rita Mayasari

NOVEL BIDARA BUKAN BIDARA (Season 2)

*Episode 8
*Flashback (Part 1)

Matahari masih enggan menyombongkan teriknya ketika derap-derap tasbih masih setia pada perputarannya ditangan Bidara.
Ia menenggelamkan diri dalam dzikir dan doa yang ia langitkan. Hanya Allah sandaran dan tempat ia mengadu. 

Sebagai wanita yang sebatang kara, suaminya hanya sosok yang ia yakini kiriman Tuhan sebagai teman hidupnya, namun bukanlah miliknya. Karena sejatinya segala sesuatu yang dipinjamkan, akan ada saatnya dilepaskan. 

Hal tersebut sudah ia jadikan pelajaran ketika kedua orang tuanya kembali kepada sang Pemilik kehidupan.

Kini ketika akar permasalahan yang ia hadapi adalah suaminya, ia hanya bisa pasrah.
Suami yang ia harapkan menjadi teman seumur hidupnya itu tetaplah putera dari ibunya. Dimana ada begitu besar kemungkinan bagi Ammar untuk menuruti titah sang ibu untuk menikahi wanita pilihannya, dan tentu saja menceraikan Bidara. Bidara sendiri tidak pernah ingin dimadu. 

Lelah dengan tangisnya saat mengadu pada Tuhan, tanpa sadar Bidara tertidur dengan posisi menyandar pada tembok didekat jendel mushola, masih lengkap dengan mukena berwarna hitam yang ia kenakan. 

Ammar yang berada ditaman samping rumah yang sedari usai sholat subuh tadi tenggelam dalam lamunannya, kini beranjak berdiri dan berniat sedikit meregangkan otot-ototnya dengan berolahraga ringan. 

Ketika melakukan pemanasan memutar-mutar kepalanya, matanya menangkap sosok yang selalu ada dalam fikirannya. Dilihatnya sang isteri yang bersandar ditembok dengan pipi yang menempel ke kaca jendela. Ia tak lagi melanjutkan kegiatan olahraganya, melainkan bergegas masuk kerumah dan menaiki tangga menuju musholla. 

Dilihatnya Bidara yang tertidur pulas dengan mata yang sembab. Jelas sekali terlihat kalau isterinya menangis dalam waktu yang lama. Dipandanginya wajah cantik sang isteri dengan berbagai pertanyaan yang seolah tawuran didalam fikirannya. " Bukankah kau tak pernah mencintaiku Dara, lalu apa yang kau tangisi? 

Kau pernah berkata, jika usai segala perjanjian kita, maka kau akan bebas pergi kemanapun kau suka, bukankah bagimu cinta hanya nyanyian yang dikidungkan pria hidung belang untuk meniduri wanita? 

Atau kau menangisi setiap tutur ibuku yang begitu kejam laksana ribuan panah yang menghujam hatimu?" Semua tanya itu berkecamuk dalam hati dan fikiran Ammar.

Perlahan ia melangkah menghampiri isterinya. Disentuhnya pipi Bidara, perlahan ia kecup kening sang isteri. Agak lama bibirnya berdiam disana, hingga Bidara perlahan membuka mata. Namun karena ia merasakan matanya masih begitu hangat dan terasa lengket, Bidara kembali memejamkan mata. 

Ia pun masih belum siap jika Ammar bertanya tentang apapun, baik itu tentang kejadian kemarin, maupun tentang alasan ia menangis hari ini.

Melihat tidak ada reaksi dari isterinya, Ammar pelan-pelan menggendong tubuh Bidara layaknya seorang pangeran yang menggendong sang putri. Dengan tubuh kekarnya, bukan hal sulit ketika mengangkat tubuh isterinya yang mungil. 

Bidara yang selalu menjaga bentuk tubuhnya, memiliki tubuh ideal yang selalu membuat wanita lain menjadi iri. Namun yang benar-benar bisa melihat keindahan tiap lekuk tersebut saat ini hanyalah Ammar.

Setibanya dikamar, Ammar membaringkan isterinya diatas kasur dan menyelimutinya. Setelah menciumi pucuk kepala sang isteri, ia langsung masuk ke kamar mandi, karena harus segera berangkat ke kantor. 

Ketika mendengar suara air dari dalam kamar mandi, Bidara baru berani membuka matanya, dengan sekali kedipan saja, air mata yang sedari tadi ia bendung, mengalir begitu deras tanpa bisa ia tahan.

Fikirannya melayang jauh ke masa lalu.
Mengingat segala hal yang terjadi hingga membuatnya tenggelam dalam hitamnya lumpur dosa.

Dimulai dari ibunya yang terkena serangan jantung hingga koma, lalu pindah ke Jakarta dengan bantuan keluarga pakde Dirga dan bude Tri. Bidara menempati rumah almarhumah tantenya bude Tri yang sudah lama kosong. 

Karena almarhumah tidak menikah, hingga rumah tersebut diwariskan kepada bude Tri, si bungsu kesayangan seluruh keluarganya. Bude Tri memang wanita yang begitu baik, suka menolong dan berhati tulus. Wanita yang Bidara sayangi sekaligus tanpa rencana ia sakiti.

Ketika itu Bidara di Jakarta hanya bersama ibunya yang terbaring koma dirumah sakit. Bidara menjalankan usaha penjualan pakaian, tas dan berbagai pernak pernik dengan motif batik. Ia dibantu oleh dua orang karyawan wanita. 

Saat malam tiba, Bidara akan menemani ibunya dirumah sakit. Jika ia ada pekerjaan di butiknya yang membuat ia lembur, maka ia akan mengupah anak tetangganya untuk menemani sang ibu. Pakde Dirga dan bude Tri sering berkunjung, baik itu untuk menjenguk ibunya maupun untuk melihat perkembangan butiknya. 

Tak jarang pula mereka bergantian datang ke Jakarta. Namun karena bude Tri adalah pegawai negeri sekaligus pengusaha dibidang fashion di kotanya, ia lebih sibuk dibanding pakde Dirga, hingga pakde Dirga lah yang lebih sering ke Jakarta.

Hal tersebut membuat pakde Dirga lebih dekat dengan Bidara. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, bercerita dan bepergian berdua. Baik untuk urusan pekerjaan, maupun ketika mengurusi ibu Bidara. Bidara merasakan sosok pakde Dirga sebagai pengganti kehadiran ayahnya. 

Namun hal berbeda terjadi pada perasaan pakde Dirga. Bagaimanapun juga, Bidara bukan lagi gadis kecil yang berlarian di halaman rumahnya dulu. Kini Bidara telah tumbuh menjadi wanita dewasa yang cantik jelita. Kepolosan dan senyuman Bidara mengingatkannya pada Tri dimasa mudanya. 

Tanpa sadar mulai muncul rasa cemburu ketika Bidara sedang berinteraksi dengan lawan jenisnya. Ia pun berdebar-debar ketika Bidara bertingkah manja. 

Ia selalu merasakan bahwa kasih sayangnya ke Bidara ketika ia memeluknya bukanlah rasa sayang kepada anak, melainkan kepada wanita pujaannya.

Hingga suatu malam ia khilaf dan tidak dapat menahan gejolak perasaannya. Dirumah yang hanya ada mereka berdua saja, dosa itu pun terjadi. Bidara tidak menolaknya, bahkan menahan air mata, karena merasa begitu berhutang Budi pada pakde Dirga.

Mahkota wanita yang selama ini ia jaga lepas begitu saja, bahkan bukan dengan orang yang ia cintai. Ketika itu ia hanya mampu menggigit bibir menahan luka dihatinya. Ia akhirnya menyadari bahwa pakde Dirga bukan sekedar mengambil kesempatan semata, melainkan semua perhatian, kasih sayang bahkan tatapannya adalah cinta.

Dan takdir tidak berakhir bahagia setelahnya. Malam itu juga, bude Tri datang tanpa berita sebelumnya. Ia yang berniat memberi kejutan dengan datang dan masuk tanpa suara, malah mendapat kejutan yang seolah mampu meledakkan dada. Betapa tidak, suami yang begitu ia cintai dan kagumi karena kesetiaannya, saat ini mendekap wanita tanpa busana. Dan wanita itu adalah Bidara. Gadis yang sudah ia anggap sebagai putrinya.

Tidak ada wanita yang masih bisa berfikir jernih jika berada diposisinya. Malam itu juga Bidara pergi dari sana. Ia menyesali segalanya namun kata maaf pun tidak berguna. Bude Tri tidak lagi ingin mengenal Bidara. Sedangkan pakde Dirga pada akhirnya memilih tetap bersama isterinya. 

Ia ingin bertanggung jawab atas perbuatannya, namun Bidara menolaknya. Ia tak ingin lebih menyakiti bude Tri, dan ia sama sekali tidak menyalahkan pakde Dirga.
Bidara pun tak lagi bekerja di butik bude Tri.

Sedangkan keadaan ibunya membuat Bidara harus melakukan segala cara demi mendapatkan biaya.

<<< Eps 7                       
Lanjut Baca KLIK >>> Eps 9

***
Terima kasih telah berkunjung ke website Sampah Kata.
Salam kopi pahit...

Post a Comment