Eps 9 Flashback Novel Bidara Bukan Bidara Season 2 Oleh Rita Mayasari
Table of Contents
Bidara mulai mencari lowongan pekerjaan. Kerja serabutan pun ia lakukan. Mulai dari mencuci dan menggosok pakaian dari rumah ke rumah, part time mencuci piring di restauran cepat saji hingga jadi waiters di klub malam. Semua ia lakukan namun biaya rumah sakit ibunya kini malah menumpuk menjadi hutang.
Hingga suatu malam ia bertemu dengan wanita yang sering berkunjung ke klub malam tempat ia bekerja. Mereka bertemu di apotik depan rumah sakit tempat ibunya dirawat.
Wanita itu menyapanya dengan ramah. Setelah berbincang sebentar, ia mengajak Bidara untuk menemaninya makan siang di sebuah restauran tak jauh dari sana. Dia menanyakan banyak hal pada Bidara, terutama hal yang membuatnya heran, bagaimana bisa seorang gadis berhijab, namun menjadi waiters di klub malam.
Bidara pun bercerita dengan jujur tentang keadaannya sekarang dan kondisi ibunya saat ini. Dengan penuh perhatian, wanita yang perkiraan usianya empat puluhan tahun itu mendengarkan penuturan Bidara.
Akhirnya ia menawarkan pekerjaan di salah satu spa miliknya. "Pekerjaannya sama saja, melayani pelanggan, kau pun masih bebas mengenakan hijabmu, bahkan kau bekerja di dalam ruangan sendiri, tidak akan ada banyak mata yang mengawasi dan menghakimi karena jilbab dan pekerjaanmu.
Pikirkanlah terlebih dahulu, jika kau mau, Tante akan kasi uang muka tiga puluh juta rupiah dimuka, dan ku bisa bayar dengan potongan gajimu setiap bulannya. Kamu bisa kontak Tante disini" ucap wanita yang bernama Sinta tersebut sembari menyerahkan sebuah kartu nama.
Keesokan harinya setelah semalaman memikirkannya, Bidara memutuskan untuk menerima tawaran kerja tante Sinta.
Ia pun menghubungi nomor yang tertera pada kartu nama tersebut.
Mereka kemudian bertemu di salah satu salon milik Tante Sinta. Setelah menandatangani kontrak kerja, Bidara menerima uang yang dijanjikan oleh Tante Sinta.
Ia membayar biaya rumah sakit ibunya, meski belum bisa melunasi semuanya, mengontrak rumah yang lokasinya dekat dengan rumah sakit, dan menyicil pembayaran hutang dengan lintah darat yang terus menerus menyatroni rumah sakit.
Tiga bulan bekerja, semua baik-baik saja. Hingga lintah darat tempat ia berhutang semakin sering mengganggunya, Bidara memutuskan untuk kembali meminjam pada Tante Sinta.
Tante Sinta diam sejenak, kemudian berkata: Dara, hutangmu masih begitu banyak, dan kau belum membayar bahkan seperempatnya. Jika kau mau, kau bisa bekerja tambahan dimalam hari, di tempat Tante yang lainnya.
Disana kau bisa mendapatkan uang lebih banyak, langsung dari para pelanggan, Tante yakin, mereka akan senang melihat gadis polos sepertimu yang bersemangat dalam bekerja, dan tidak akan segan-segan memberi uang tip lebih.
Namun disana kau tidak bisa menggunakan jilbabmu. Tapi kau jangan khawatir, kau tidak perlu keluar dari ruangan mu kok, kamu hanya perlu menunggu customer di dalam ruangan pribadimu saja".
Setelah berfikir sesaat, Bidara langsung menyetujuinya. Ia ingin segera melunasi hutang-hutangnya.
Sore harinya mereka mengambil foto Bidara yang tanpa hijab, dengan alasan untuk pendataan karyawan. Malam itu juga Sinta membawa Bidara kesana. Ia langsung dibawa menuju ruang kerjanya yang sesaat membuat kening Bidara berkerut. Karena daripada ruang kerja seperti spa tempatnya bekerja, ruangan ini lebih mirip kamar pribadi yang bahkan ada meja rias, lemari, kamar mandi dan toilet didalamnya.
Bidara mengurungkan niatnya untuk bertanya, sebab Tante Sinta menuntunnya untuk duduk menghadap cermin. Diriasnya tipis wajah Bidara dengan makeup yang tetap memperlihatkan wajah alaminya. Hanya dengan polesan lipgloss dibibirnya, sudah membuat Bidara semakin jelita.
Tante Sinta meminta Bidara mengenakan kebaya lengan pendek, dengan rok berbahan batik yang panjangnya sebawah lutut saja. Rambut Bidara disanggulnya dengan sanggul apa pramugari. Bidara yang biasanya berhijab, jelas tampak risih dengan semua itu. Ada keraguan dan kegelisahan dihatinya.
Tante Sinta yang melihat itu buru-buru menenangkannya. Disuguhinya Bidara dengan segelas air yang memang sudah disiapkan disana sebelum mereka datang.
Yang pada akhirnya baru Bidara ketahui bahwa itu adalah minuman perangsang, yang membuatnya terikat pada rumah bordil milik Tante Sinta.
Ia sangat menyesali semua kebodohannya. Sedangkan Tante Sinta yang merasa tertipu, karena akhirnya mengetahui bahwa Bidara tidaklah dara suci seperti bayangannya, karena pelanggan yang meminta pengembalian uang bayaran, untuk beberapa lama mengurung Bidara disana.
Meski Bidara memohon, tidak ada rasa iba dan tidak ada yang membuka pintu untuknya. Sedangkan handphonenya dari awal ia masuk ke kamar tersebut, sudah disimpan Tante Sinta dengan alasan peraturan kerja.
Setelah lelah menangis berputus asa, Bidara membuat kesepakatan, ia akan tetap bekerja, namun izinkan ia tetap boleh mengunjungi dan merawat ibunya disiang hari.
Sejak saat itu ia pun tak lagi mengenakan hijabnya kecuali saat menemui ibunya.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, sampai suatu hari ibunya membuka mata. Bidara mendekap ibunya, menangis bahagia. Meski terlihat lemah tak berdaya, ibunya tersenyum manis menatap sang puteri semata wayangnya. "Maafkan ibu sayang" ucapnya lirih sembari mengusap kepala Bidara.
Bidara masih memeluk dan menciumi ibunya berulangkali sambil mulutnya tak henti mengucap maaf. Malam ini Bidara izin tidak bekerja, dan tante Sinta memakluminya. Namun seperti biasa, tetap ada mata-mata suruhannya yang berada tak jauh dari Bidara dimana Bidara berada. Bidara sendiri pun menyadari hal itu.
Bagi dokter, hal ini adalah mukjizat. Melihat kurun waktu yang terlalu lama bagi ibunda Bidara terbaring koma, dan kini ia membuka mata.
Malam itu Bidara tidak bisa tidur. Ada keresahan dihatinya yang tak mampu ia jabarkan. Ditatapi wajah tenang ibunya hingga kini waktu menunjukkan pukul 1 dinihari.
Tiba-tiba saja nafas sang ibunya memburu naik turun tak beraturan. Dada sang ibu seperti tersengal-sengal. Bidara berteriak minta tolong sambil membunyikan bel disamping ranjang ibunya. Tidak lama kemudian dokter dan para perawat masuk kedalam ruangan. Bidara tetap disisi sang ibu setelah mendapat izin dokter.
Sesaat setelah dokter dan para perawat disibukkan dengan usaha penyelamatannya, alat patient monitor disamping sang ibu menunjukan garis lurus.
Takdir berkata lain. Sang pemilik kehidupan merindukan ibunya dan mengambil ibunya kembali. Bidara terjatuh lunglai. Kakinya tak mampu menyangga tubuhnya.
Iya menangis nyaris meratap. Tak ada seorang pun saat ini yang memeluknya. Kini ia benar-benar sendiri.
Ia mengutuk diri atas semua yang terjadi.
"Tuhan, andai ini hukuman, aku memang pantas menerimanya. Namun, bukankah sebelumya aku adalah hambaMU yang selalu berusaha menjaga kesetiaan dan cintaku padaMU?
Mengapa Tuhan?" Bidara merintih dalam hatinya. Saat ini ia menangis sepuasnya, karena esok ia harus kuat untuk mengurus segalanya. Sempat terlintas dibenaknya untuk bunuh diri saja dan menyusul kedua orangtuanya. Namun meski kini ia tak lebih dari kupu-kupu malam, masih tersisa keyakinannya pada Tuhan. Hatinya berbisik, jika bunuh diri adalah dosa yang tak terampunkan, dan ia tak mungkin bertemu orangtuanya dengan jalan itu.
Setelah ia melakukan tanggungjawab terakhirnya dipemakaman sang ibu, Bidara diberi izin tidak melakukan pekerjaan apapun oleh Tante Sinta. Ia hanya beristirahat saja dikamarnya. Ia tak lagi menangis karena kepergian ibunya. Ia berusaha mengeraskan hatinya.
Sejak saat itu ia seolah menjadi sosok yang berbeda. Tak ada senyuman hangat, tak ada cahaya dimatanya.
Ia seolah hanya menjalani hidup saja. Tanpa keinginan apapun. Sampai hari dimana ia bertemu Ahmad, sang mantan kekasih disebuah taman.
Kejadian itu menyadarkannya, bahwa ia masih manusia berhati lemah, masih merindukan kasih sayang, dan masih seorang gadis yang mengharapkan Tuhan sebagai tempat mengadu dan bersandar. (Alur mundur baca Novel Bidara Bukan Bidara season 1 tentang pertemuan kembali Bidara dan Ahmad)
Post a Comment