Eps 11 Sakit Ini Adalah Bukti Novel Bidara Bukan Bidara Season 2 Oleh Rita Mayasari
Table of Contents
Sayup-sayup terdengar adzan Maghrib berkumandang. Andai seruan itu adalah hal yang bisa ia abaikan, ingin sekali Bidara menganggapnya sebagai syair pengantar tidur saja. Namun kewajiban sholat adalah hal mutlak yang harus ia laksanakan sebagai umat islam, membuat hatinya terusik jika tak juga beranjak dari ranjang hotel yang menawarkan kenyamanan.
Tepat adzan ashar tadi Bidara sampai ke kota kecil yang ia jadikan tujuan menenangkan fikiran. Ia bergegas menuju sebuah hotel yang sudah ia booking via online sebelum ia berangkat kemari. Sesampai dikamar hotel, ia segera melaksanakan ibadah sholat, kemudian berbaring diatas ranjang empuk itu lalu terlelap begitu saja hingga kini ia tersadar oleh merdu suara panggilan sholat Maghrib.
Ia berlari kecil menuju kamar mandi, membersihkan tubuhnya dan kemudian berwudhu dan melaksanakan ibadahnya.
Bidara tak beranjak dari sejadah hingga waktunya sholat Isya. Sembari menunggu, ia membaca kitab suci Al Quran.
Usai sholat, ia bersiap-siap untuk menuju alun-alun kota. Tempat pertama yang ingin ia tuju setelah ia menelusuri pencarian google tentang informasi berbagai tempat indah dikota ini. Bidara bahkan sudah menulis rangkaian jadwal perjalanannya dan tempat-tempat yang akan ia tuju disini.
Dengan mengenakan celana jeans yang longgar, Coat panjang hingga diatas lutut berwarna coklat tua ditambah sepatu sneaker membuatnya terlihat begitu imut.
Benar seperti yang digambarkan, alun-alun yang ia datangi menjorok ke laut, angin malam berhembus lembut, sesekali sedikit kencang seolah menyapa wajah Bidara yang bersemu merah.
Cuaca yang sedikit dingin membuat Bidara merasa tenang. Hijab yang ia kenakan seolah menari-nari mengikuti hembusan Bayu.
Tak lupa ia memotret hal-hal menarik disekitarnya.
Setelah puas berjalan-jalan, ia memilih duduk disebuah batu yang dekat dengan pinggir pantai, tak jauh dari alun-alun. Ada begitu banyak muda mudi yang terlihat sedang kasmaran, menggandeng tangan kekasihnya sembari bercanda tawa. Ada pula pasangan kakek nenek yang menarik perhatian Bidara.
Pasangan yang terlihat nyentrik diusia yang terbilang senja. Sang kakek berjalan bertelanjang kaki sambil memegang sepasang sendal dengan hak yang tak terlalu tinggi, sementara sang nenek berjalan santai dengan mengenakan sendal laki-laki yang tak diragukan lagi itu adalah milik sang kakek. Yang paling menarik perhatian adalah, satu tangan sang kakek tak pernah lepas dr pinggang sang nenek. Begitu romantis.
Bidara terus mengamati sekelilingnya dengan perasaan takjub. Ia laksana seekor burung yang telah tinggal begitu lama didalam sangkar.
Bidara baru menyadari bahwa belum ada seteguk air pun yang membasahi tenggorokannya sedari sore tadi tatkala ia merasakan dahaga hingga kerongkongannya serasa tercekik. Ia setengah berlari kearah sebuah cafe dibibir pantai.
Sesampai disana, seorang waiters segera menghampiri Bidara dengan ramah. Karena perutnya pun terasa begitu lapar, Bidara memesan seafood tumpah khas kota tersebut tanpa ditambah dengan nasi. Ia memakan dengan perlahan aneka makanan laut tersebut dengan beberapa sayuran.
Sesekali matanya menatap kerlap kerlip lampu kapal dan perahu nelayan dilautan.
Tiba-tiba saja ia merasa ada yang sedang mengawasinya. Perlahan ia mengalihkan pandangan kearah meja disudut cafe, tampak seorang pemuda yang terlihat akrab sekaligus asing baginya. Jantung Bidara seolah berhenti berdetak. "Ahmad.. benarkah itu Ahmad?
Tapi pemuda itu terlihat lebih kurus dibanding Ahmad, dan juga dia berkacamata. Apakah dia memang Ahmad, atau sekedar mirip saja?" Batin Bidara riuh.
Sesaat kemudian mata mereka beradu. Sang pemuda yang sedari tadi terlihat ragu, kini perlahan bangkit dari duduknya. Bidara menyudahi makan malamnya dengan tergesa-gesa, ia buru-buru berlari ke arah pintu. Kebetulan cafe tersebut langsung menagih pembayaran tepat setelah makanan dihidangkan, sehingga Bidara tak ada halangan apapun untuk segera pergi dari sana.
Namun pemuda yang ia hindari tersebut justru ikut berlari ketika Bidara berlari. Semakin cepat Bidara berlari, semakin cepat pula langkah kaki pemuda tersebut. Hingga kini jarak mereka hanya dua langkah saja.
Kini langkah kaki Bidara tertahan. Ia tak lagi bisa berlari bahkan untuk sekedar berjalan. Tangan pemuda tersebut terlanjur mencengkram pergelangan tangan Bidara.
"Bidara Hinata.. ini benar kau Bidara.. kenapa kau berlari? Apakah kau berpura-pura tidak mengenalku?" Suara lelaki itu terdengar begitu lantang. Bidara tidak segera membalikkan badannya.
Ia merasakan kelopak matanya memanas, didalam hati ia membatin, menguntai pinta pada Tuhannya " ya Allah, jangan biarkan airmata ini mengalir dan kuatkan hatiku serta tegaskan lisanku".
Setelah menghela nafas panjang, barulah Bidara berbalik menghadap pemuda tersebut. "Maaf, anda salah orang, saya tidak mengenal anda" tutur Bidara dengan suara yang begitu berat. Pemuda itu masih tidak melepaskan tangannya. Ia berkata "jangan berbohong, jika kau tak mengenalku, kenapa kau berlari ketika melihatku? Aku Ahmad, Bidara.. kenapa kau berbohong?".
Bidara masih berusaha tenang dan menjawab pemuda tersebut " ohh.. maaf mas Ahmad, tapi aku tidak mengenalmu, jadi tolong jaga sopan santun mu, lepaskan tanganku". Ahmad terkejut melihat betapa dinginnya Bidara, ia benar-benar yakin bahwa wanita dihadapannya adalah Bidara, namun sikap dan tatapan serta cara bicara Bidara sangat berbeda dengan Bidara yang ia kenal.
Ketika ingin melepaskan tangan Bidara, matanya tertuju pada gelang ditangan wanita yang ia rindukan tersebut, jelas terukir nama Bidara dengan tulisan Arab. Ia sangat mengenal gelang tersebut. Itu adalah gelang pemberiannya dulu. Bidara masih memakainya. Ada rasa haru, sedih dan senang dihati Ahmad.
Ia pun berkata seraya mengangkat tangan Bidara " ini.. ini adalah bukti bahwa kau Bidara. Gelang ini adalah hadiah dariku dan kau masih memakainya. Sangat jelas terukir namamu disini Bidara, kebohongan seperti apalagi yang akan kau beri?" cecar Ahmad tanpa jeda.
Bidara terkejut, ia telah melakukan kecerobohan. Gelang tersebut ia pakai karena ketika bersiap-siap sebelum berangkat kemari, ia menemukannya diantara kotak penyimpanan kecil miliknya. Tak disangka disini takdir mempertemukan ia dan Ahmad kembali. Pertolongan Allah selalu datang disaat yang tepat. Bidara mampu menguasai emosinya. Hanya saja, cara yang Bidara pilih adalah kebohongan lain lagi untuk menutupi kebohongan sebelumnya.
Meski sempat kebingungan, Bidara telah memikirkan sebuah jawaban.
"Bidara.. yaa namaku Bidara, tapi bukan Bidara siapa tadi yang kau sebut? Hinata? Bidara Hinata? Namaku Bidara Azzahra, jadi tolong lepaskan aku, kau sangat tidak sopan".
Ahmad tersenyum getir. Ia sama sekali tidak menyangka seorang Bidara bisa berbohong setenang itu. Ia tetap dengan keyakinannya bahwa wanita dihadapannya adalah Bidara yang ia cintai bahkan hingga saat ini.
"Buktikan jika kau memang bukan Bidara ku, buktikan jika kau bukan Bidara Hinata, maka aku akan membiarkanmu pergi" tegas Ahmad. Tentu saja hal tersebut disanggupi oleh Bidara. Setelah meyakinkan Ahmad untuk melepaskan tangannya, Bidara mengambil kartu identitas dari dalam dompetnya dan menunjukkan kepada Ahmad.
Disana tertulis nama lengkapnya Bidara Azzahra. Karena sebelum pernikahannya dengan Ammar, lelaki yang kini menjadi suaminya itu telah membuat identitas baru untuknya, demi mengubur masa lalu Bidara, hal itu jelas sangat menyakitkan bagi Bidara namun juga menjadi hal yang menyelamatkan hidupnya.
Ahmad tertegun. Ia masih tidak percaya dan tidak bisa menerima kenyataan yang Bidara suguhkan. Namun ia tetap menepati janjinya untuk membiarkan Bidara pergi.
Diwaktu yang sama, sesaat setelah membalikkan badan dan melangkah pergi menjauh dari Ahmad, airmata Bidara tak mampu terbendung lagi. Kakinya serasa lemah dan nyaris tak mampu melangkah.
Betapa tidak, sosok yang berusaha keras ia lupakan, sosok yang ia ingat sebagai kebahagiaan sekaligus luka terbesar dalam hidupnya, kini hadir didepan mata. Bidara memutuskan untuk segera kembali ke hotel. Ia ingin segera menyegarkan tubuhnya dan sedikit berendam untuk menenangkan hatinya.
Setelah sampai di hotel, Bidara bukannya langsung mandi, melainkan terduduk dilantai disamping ranjang. Tangannya meraih sebuah buku harian yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi. Tangannya mulai menuntun sang pena merangkai aksara. Bercerita tentang lukanya.
_Sehari sebelum ku buka hatiku untuknya, kutatap wajahmu yang terbingkai indah disebuah figura.._
_Bergetar bibir ini melafazkan namamu.._
_Ahmad.. bagaimana mungkin wajah seteduh ini mengukir luka begitu dahsyat dihatiku..._
_Saat itu aku mungkin lumpur dimatamu, namun kau melupakan kenyataan bahwa aku pun pernah menjadi mata air yang menyejukkan mu.._
_Tapi, Sakit ini adalah bukti, bahwa kau masih memiliki arti.._
_Kenapa kau harus hadir kembali?_
<<< Eps 10
Lanjut Baca KLIK >>> Eps 12
***
Terima kasih telah berkunjung ke website Sampah Kata.
Salam kopi pahit...
Post a Comment