Eps 12 Bidara Telah Mati Novel Bidara Bukan Bidara Season 2 Oleh Rita Mayasari

Table of Contents
Eps 12 Bidara Telah Mati Novel Bidara Bukan Bidara Season 2 Oleh Rita Mayasari

NOVEL BIDARA BUKAN BIDARA (Season 2)

*Episode 12
*Bidara Telah Mati

Matahari telah menyapa wajah putih bersih Bidara beberapa jam yang lalu. Namun sang pemilik wajah tak jua mengulas senyum ramah. Ia enggan membuka mata meski hanya sebelah saja. Setelah sholat subuh, tak seperti biasanya, hari ini Bidara kembali bergumul dengan selimutnya. Ia bahkan sudah berencana untuk menghabiskan waktu hari ini di kamar saja. Namun kini lambungnya mulai bergema dengan suara-suara kelaparan yang tak berirama.

Meski tak ingin, Bidara akhirnya beranjak dari peraduannya setelah menengahi perang batin antara logika dan hatinya.

Hati yang begitu cemas, berusaha menghentikan langkahnya agar tidak selangkah pun keluar dari kamar, sedangkan logikanya tegas dengan keyakinan bahwa pertemuan dengan Ahmad kemarin hanyalah sebuah kebetulan. Bukankah terlalu mirip drama Korea jika hari ini pun mereka dipertemukan. Dan perutnya yang lapar mengalahkan semua kegelisahan yang ada, karena kini yang ada dipikiran dan hatinya adalah tempat dimana ia akan memuaskan hasrat lidahnya.

Setelah ia melihat note book yang berisi list kegiatan liburannya, Bidara pun berangkat menuju sebuah cafe di daerah puncak dengan menggunakan bus pariwisata.

Sesampai disana mata Bidara sesaat liar mengitari sekelilingnya. Ia memastikan tidak ada sosok Ahmad disana. Sesaat kemudian terdengar hembusan nafas lega dari mulut Bidara.

Bidara langsung memilih tempat dibagian paling pinggir cafe puncak, disana terlihat hampir setengah pemandangan kota.

Ia pun memesan menu makan siang karena waktu sarapannya jelas telah terlewatkan.

 Benar saja, terkadang hidup ini mirip kisah didalam serial drama. Karena tanpa Bidara sadari, ada sepasang mata yang menatapnya dari kejauhan. Hari itu Ahmad memakai jaket Hoodie yang menutupi kepalanya. Ia sudah mendapati sosok Bidara ketika wanita itu berjalan ke arah cafe, dengan gesit ia mengenakan masker dan menutupi kepalanya dengan Hoodie, agar sang pujaan hati tak lagi berlari dan menghindar seperti ketika melihatnya kemarin.

Saat itu Bidara tepat berada didepannya sembari memilih tempat duduk yang ia inginkan. Hal itu tentu saja membuat jantung Ahmad berpacu kencang. Ia pun bernafas lega tatkala Bidara berlalu begitu saja menuju sisi yang berseberangan dengan tempat dimana ia duduk. Ahmad hanya bisa menatapnya dari kejauhan, menahan kerinduan dalam penyesalan. Ada banyak hal yang ingin ia lakukan jika takdir mempertemukannya kembali dengan sang pujaan hati setelah kejadian di taman kota di ibukota tempat dulu ia bekerja.

Pertemuan pertama setelah sekian lama mereka dipisahkan oleh ribuan kilometer samudera. Cinta yang berjarak antar negara. Cinta yang usai begitu saja, bahkan takdir seolah menghalangi komunikasi mereka dengan berbagai cara. Pertemuan kembali yang justru mengguratkan luka dan prasangka buruk diantara mereka. Sesungguhnya bukan hanya Bidara yang terluka. Ahmad sama hancurnya dengan kenyataan yang tersuguh didepan mata. Betapa tidak, gadis suci yang menyejukkan mata, hadir dengan sosok lain yang mengusik pandangan. Dengan pakaian serba terbuka, tiada hijab yang menutupi auratnya. Pemandangan yang jelas menyesakkan dada, meruntuhkan iman jika tidak mengingat Tuhan. Kejadian yang begitu tiba-tiba, yang menyerang mental Ahmad ketika itu. Ia bagai diterjang badai kehidupan tepat dihatinya.

Hal yang membuat ia tidak bisa berfikir jernih. Jangankan untuk mendengarkan penjelasan Bidara, untuk tetap berdiri disana saja kakinya seakan tak mampu menahan tubuhnya. Maka yang keluar dari bibirnya ketika itu hanya ungkapan kecewa, lantas ia memilih pergi karena takut amarah menguasai dirinya. Meninggalkan Bidara yang melebur dalam ketidakberdayaan.

Ia memperhatikan punggung Bidara yang berjalan ke arah kasir. Setelah Bidara melangkah keluar, Ahmad segera bergegas ke kasir dan membayar pesanannya dengan uang yang lebih agar tidak harus menunggu hitung hitungan di kasir, ia memberi isyarat agar kembaliannya sebagai uang tip saja.

Ia melangkah buru-buru mengejar Bidara. Setelah matanya tertuju pada sosok yang ia cari, ia pun menjaga jarak agar tidak terlalu dekat dan Bidara tidak pernah tau bahwa ia sedang diikuti.

Ia melewatkan semua rencananya hari ini dan memilih mengikuti apapun yang Bidara lakukan. Ketika tiba waktu sholat, mereka pun sholat di mesjid yang sama.

Menjelang Magrib, Bidara pulang ke hotel dengan menggunakan bus. Ahmad pun diam-diam menggunakan bus yang sama. Ia ikut turun di hotel tempat Bidara menginap. Ia terus mengikuti Bidara hingga melihat kamar yang Bidara tempati.

Sampai disitu pun Bidara tidak menyadari kehadiran Ahmad, karena setelah melangkah memasuki hotel, Bidara sibuk dengan sambungan ponselnya yang terhubung dengan panggilan telepon Ammar. Ammar menelepon untuk memberi kabar bahwa ibunya akan pergi tiga hari kemudian. Ia tidak meminta Bidara untuk pulang sebelum ibunya pergi, melainkan sekedar memberi kabar saja.

Ia malah meminta Bidara untuk menikmati saja liburannya tanpa memikirkan hal-hal yang membuat stres. Bidara bahkan sesekali tertawa lepas mendengar lelucon suaminya. Hal itu membuat nyeri di dada Ahmad. Sudah begitupun lama ia tidak mendengar suara itu. Dan kini ada orang lain yang membuat wanita pujaannya tertawa begitu lepas. Seseorang yang ia dengar dengan sebutan "sayang" oleh Bidara.

Ahmad memasuki lift untuk turun ke lantai satu. Ia tidak lagi menggunakan tangga seperti saat ia mengikuti Bidara tadi. Yaa, sudah menjadi kebiasaan Bidara yang selalu memilih menggunakan tangga jika hanya ke lantai dua, ia lebih menikmati berjalan kaki daripada berdiri bersama orang-orang asing didalam lift.

Setelah membooking sebuah kamar yang kebetulan kosong disebelah kamar Bidara, ia pun kembali ke tempat dimana ia menginap sebelumnya. Sesampai disana ia segera mengemasi barang-barangnya dan pindah ke hotel tempat Bidara berada.

Malam harinya, setelah mandi, Bidara memilih duduk di balkon sembari menyeruput segelas kopi susu, tak lupa dengan laptop yang menemaninya menulis kelanjutan episode webnovel nya yang berjudul Belenggu Tak Kasat Mata.

Entah suatu kebetulan atau memang takdir yang sudah dituliskan, Ahmad yang masih mengenakan handuk kimono pun melangkah ke arah balkon dengan membawa secangkir kopi dan sebuah buku ditangannya. Ketika menarik kursi, matanya terhenti pada wanita yang begitu ia kenal. Tentu saja itu Bidara.

Ahmad pun memilih duduk menghadap balkon tempat Bidara duduk, ia menutupi wajahnya dengan buku ditangannya, agar jika nanti Bidara menoleh ke arahnya, Bidara tidak melihat wajahnya.

Ia terus saja mencuri tatap ke arah Bidara. Wanita itu terlihat semakin cantik ketika sedang fokus menulis ataupun membaca. Hal itu selalu saja menarik perhatian Ahmad sejak dulu. Sedang asik melihat wajah Bidara sambil mengingat masa lalu mereka, Ahmad dikejutkan dengan deringan ponsel milik Bidara.

"Sepertinya itu telepon dari suaminya" batin Ahmad. Ahmad mengetahui Bidara sudah menikah saat kemarin dengan bodohnya Bidara menunjukkan kartu identitasnya. Dari situ pula Ahmad sempat melihat alamat dan kota dimana Bidara tinggal.

Dari pembicaraan Bidara dengan suaminya, Ahmad mengetahui bahwa Bidara akan pulang besok sore, bahkan jam dan pesawat yang akan ditumpanginya. Tentu saja Ahmad tidak menyia-nyiakan informasi tersebut.

Sama seperti Bidara, ia pun membeli tiket secara online di salah satu aplikasi travel.

Keesokan harinya, mereka tiba di bandara tempat tujuan. Bidara menghubungi suaminya, namun hanya berdering saja, tidak ada yang menjawab teleponnya. Disisi lain, ditempat yang sama, Ammar sedang sibuk menggeret koper dan goodie bag milik sang ibu. Ibunya tiba-tiba saja mempercepat jadwal kepulangannya karena ada pekerjaan mendadak di kotanya. Ammar tidak menyadari bahwa ponselnya tertinggal didalam mobil.

Ketika raut wajah Bidara yang terlihat gelisah menatap layar ponselnya, Ahmad tidak bisa menahan penasarannya, sehingga tanpa ia sadari jaraknya dengan Bidara saling berhadapan hanya tiga langkah saja.

Mata Bidara tertuju pada kaki yang terlihat dibawah ponselnya, hingga ia mengangkat kepalanya.

Mereka sama-sama terkejut. Bidara membulatkan matanya dan bersiap pergi dari sana. Namun Ahmad refleks menggenggam pergelangan tangan Bidara. Bidara berusaha melepaskan tangannya dari cengkraman Ahmad. Namun usahanya sia-sia. Ahmad sama sekali tidak berniat melepaskan tangannya. Karena tidak ingin menjadi pusat perhatian, Bidara berusaha terlihat santai sembari berkata "kau lagi.. apalagi masalahmu kali ini? Dan tolong lepaskan tanganmu".

Ahmad menghela nafas panjang, namun tak jua melepaskan pegangan tangannya. Ia kemudian berbicara dengan suara yang berat " Bidara, maafkan aku. Salahku membuatmu pergi untuk kedua kalinya. Aku menyesali semuanya. Kau bisa mengganti namamu, kau bahkan bisa mengubah kepribadianmu, namun kau tetaplah Bidara yang aku cintai.

Aku mohon, jangan pergi lagi Bidara, beri kesempatan padaku. Demi Tuhan, tidak sehari pun aku lalui tanpa rasa bersalah padamu. Jangan bohongi aku, jangan bohongi dirimu, kau masih sama Bidara, kau tidak pernah melupakan aku. Kau masih memakai gelang itu, dan caramu menghindari aku adalah bukti jika aku masih memiliki arti bagimu".

Airmata mengalir begitu saja membasahi pipi Bidara. Dan tetap saja tertumpah meski Bidara terus menghapusnya. Bidara sendiri tidak mengerti kenapa ia menangis. Mungkin saja ini karena hatinya begitu terluka, setidaknya itulah yang ia fikirkan.

Ia bahkan tidak mampu menepis jemari Ahmad yang mengusap wajahnya seolah ingin ikut meredakan tangisannya.

Tanpa mereka sadari ada sepasang mata yang terbelalak melihat pemandangan didepannya. Ada rasa marah, kecewa, sakit dan pedih yang bercampur aduk didalam dada. Teriakan batin yang seolah mampu memecahkan limpa, bergemuruh menggema menelan suara.

Namun logikanya tak mati begitu saja. Ia mempercepat langkah lalu menggandeng sang ibu untuk berjalan ke arah yang menjauh dari Bidara dan Ahmad berada. Karena jika ibunya melihat apa yang ia lihat, Ammar yakin, tidak hanya hinaan yang akan terdengar, namun ia juga tidak akan mampu menghentikan kemarahan dan keputusan sang ibu untuk mengakhiri pernikahannya dengan sang isteri.

Setelah menguasai emosinya yang meluap menjadi kesedihan, Bidara mengatur nafasnya. Ditatapnya mata Ahmad. Ia tersenyum pahit. Senyuman yang begitu datar, hingga sulit bagi Ahmad untuk mengartikan maknanya.

Perlahan ia mulai membuka mulutnya, ia bicara dengan nada yang bergetar, menahan sedih dan amarah yang bergejolak. "Ahmad, aku meninggalkanmu karena tidak ada pilihan bagiku..

Dan kau?

Alih-alih bertanya kau beri aku tatapan hina.

Cinta memang bukanlah hal yang pantas aku damba, tapi tak bisakah kau tunjukkan sedikit saja rasa iba, pada gadis yang pernah kau sebut namanya dalam do'a, seperti ucapanmu dulu?

Bidara yang kau kenal telah mati Ahmad, kau hujam ia dengan belati kebencian, padahal takdir telah menenggelamkannya ke dasar jurang penderitaan".

Kaki Ahmad begitu lemas, serasa ia tak mampu menopang tubuhnya sendiri. Tanpa ia sadari, genggaman tangannya pun terlepas begitu saja. Batinnya meratap memandangi punggung Bidara yang perlahan menjauh. "Begitu dalam kah luka yang ku tanam dihatimu Bidara, hingga penyesalan ini tiada artinya dimatamu. Teganya kau katakan jika Bidara ku telah mati. Apa yang harus aku lakukan untuk menebus segalanya Bidara.

Bagaimanakah caranya agar kau kembali? Andai saja aku bisa memutar waktu, akan aku kembalikan kita di waktu kau akan pergi untuk pertama kalinya. Tak akan ku lepaskan kau pergi tanpa ku tau dukamu, dan akan ku yakinkan kau bahwa jarak tak kan menjadi penghalang halalnya cinta kita". Ahmad tak perduli ada begitu banyak pasang mata yang menyaksikan ia yang terduduk dengan airmata yang tiada henti mengalir dari pelupuk matanya.

<<< Eps 11                       
Lanjut Baca KLIK >>> Eps 13

***
Terima kasih telah berkunjung ke website Sampah Kata.
Salam kopi pahit...

Post a Comment