Novel Dunia Wanita "Bidara Bukan Bidara" Season 1 Tamat Oleh Rita Mayasari

Table of Contents
Novel Dunia Wanita "Bidara Bukan Bidara" Season 1 Tamat Oleh Rita Mayasari

Novel Best Seller "Bidara Sang Bidara" 

Karya Rita Mayasari

#Halaman 1

Disuatu senja, seorang pemuda dengan sorban di kepala, berhenti sejenak di sebuah taman dekat dengan hotel mewah, bersandar ia di sebuah kursi teralis karena dahaga dan lelah. Diantara bunga-bunga, kupu-kupu malam  berdiri setengah telanjang dada, dengan senyuman yang tak mampu ia jabarkan, begitu indah. 

Namun ketika beradu mata, tak ada cahaya disana. Begitu kosong, kontras dengan bibirnya yang merah merona. Begitu ambigu raut wajahnya. Sang pemuda mati dalam kata, tenggelam dalam fikiran yang berkelana. Apakah ia pernah mengenal sosok mungil di hadapannya?

Ia tak bergeming hingga lembut jemari menyentuh lengannya. Tersentaklah ia dari lamunan panjang. Kembali terlihat senyuman yang begitu menggoda, dengan mata yang seolah menahan derita. Sunyi tak ada suara, tak ada kata. 

Hanya mata mereka yang saling menelanjangi sosok di depannya. Lalu wanita itu menyodorkan botol berisi air yang yang tak sampai setengahnya. Gemetar tangan sang pemuda bersorban, tak sanggup ia menerima. Dengan tersendat ia berkata "kau kah ini Bidara?"

Wanita itu tak sanggup mengangkat pandanganya, tertunduk menyembunyikan air mata yang sedari tadi ia tahan meski membuat panas pelupuk mata. Mengapa dunia terlalu kejam, hingga luka saja tak cukup untukmu? Haruskah kau nikmati racun dari cangkir dosa? Atau kau yang menjual keimananmu demi kebahagiaan yang semu?

Bidara tetap tak berkata-kata, hanya terdengar isak tangis diantara sedu-sedan yang tertahan. Pemuda itu memalingkan wajah, lalu melangkah pergi dengan duka, luka, dan amarah yang seolah memecahkan limpa. Bidara mengulurkan tangan, mencoba untuk menahan kepergian sang pemuda, namun kakinya terlalu lemas untuk bergerak meski hanya selangkah.

"Ahmad..." 

Sepatah kata yang mampu terucap. Terasa begitu kering tenggorokanya, hingga seakan mencekik. Banyak yang ingin ia ceritakan, besar kerinduan yang ingin ia tumpahkan. Namun lumpur kehidupan terlanjur melekat pada tubuhnya, membuat ia merasa terlalu kotor untuk meraih lelaki yang dulu selalu ia sebut namanya dalam tiap doa.

Lelaki yang dulu ia temui di sudut kota Mesir, sebelum takdir membawanya kembali ke tanah kelahiran, salah satu desa kecil di Provinsi Kepulauan Riau.

Ketika itu awal tahun 2005, sepasang kaki kecil melangkah cepat. Gadis dengan kerudung hitam berlari sambil membawa setumpuk kertas dengan sebelah tangan, lalu tangan satunya sibuk membentangkan selembar peta yang melambai-lambai tertiup angin karena ia terus berlari kecil tanpa henti.

Dia Bidara, gadis belia dengan berjuta mimpi. Tak sabar ia ingin segera melihat megahnya Kampus Ain Shams University yang selama ini ia lihat dari internet dan selebaran brosur. Fakultas Bahasa, jurusan yang dengan mantap menjadi sasarannya. Keajaiban yang menghampiri melalui beasiswa. Di sini percikan asmara bermula.

#Halaman 2

Bidara terhenti di depan gedung mewah universitas, mengagumi tiap detil bentuk bangunan di depannya. Melihat sekeliling wajah-wajah yang mungkin jadi tempatnya berbagi canda dan tawa nanti.

Berbekal bahasa Inggris yang ia pelajari di sekolah dan pengalaman menjadi tour guide di kota kelahirannya, Bidara memberanikan diri mendekati seorang pemuda yang berdiri tak jauh darinya. "Excuse me .. can you help me?" ucap Bidara sembari melihat wajah lelaki di hadapannya. Lelaki itu tersenyum ramah dan berkata, "yaaa.. what can I do for you?

Bidara terkesima kala mendengar lembut suara sang pemuda berbaju hijau di hadapannya. "ehemmm... Do you know where is the administration room and class for language programs on campus? tanya Bidara dengan gugup yang tak mampu ia tutup. Wajahnya memerah karena tak mendengar jawaban dari pemuda itu, Bidara berfikir, apakah ia salah mengucapkan kalimat?

Lalu ia mengangkat kepalanya, dan telihat wajah teduh dengan senyum yang menciptakan gempa di dalam dada. Membuat Bidara bergumam tanpa sadar "masyaAllah, wajahnya bikin salah fokus aja sih". Seketika pecah suara tawa sang pemuda, membuat Bidara kehilangan perbendaharaan kata.

"Ahmad" ujar sang pemuda seraya mengulurkan tangannya.

Bidara tak bisa mengontrol raut wajahnya dengan mulut setengah menganga, hingga ia tersadarkan oleh suara tawa pemuda di depannya, suara yang baginya begitu indah di telinga. "maaf.. ehh sorry.. ehem.. " semakin salah tingkah membuat kebiasaan Bidara bergumam menjadi tak terkendali "duhhh jantungku, jinak donk, jangan liar gini".

Ahmad tak mampu menahan gejolak yang menggelitik di dalam hatinya, ia kembali tertawa, begitu lepas hingga berair mata dan Bidara pun benar-benar mati kata. Ingin ia berlari pergi karena yakin bahwa wajahnya pasti semerah kepiting rebus, namun begitu berat kakinya untuk melangkah. Hatinya berkata "ia pasti menertawakan wajahku yang memerah dan tingkahku yang memalukan ini. Karena tak mungkin ia mengerti ucapan bodohku itu".

sekali lagi ia tenggelam dalam fikirannya sendiri dan kembali dikejutkan oleh suara pemuda di hadapannya. "hai.. hallo.. Namaku Ahmad" ujar pemuda sembari mengulurkan tangannya lagi.

Mata Bidara membulat dengan bibir sedikit terbuka. "kau.. kau bisa bahasa Indonesia?".

Ahmad menjawab dengan tangan yang masih terulur "Ya saya dari Surabaya, dari manakah kamu dan apakah kamu tak akan mengatakan siapa namamu?" ucapnya sambil menunjuk kearah tangannya dengan menggerakkan alis dan kepalanya. "Bidara" jawabnya sembari menjabat tangan Ahmad. Mereka lalu tertawa bersama. Setelah perkenalan yang tak biasa itu, mereka bersiap-siap menuju asrama masing-masing.

Tak lupa mereka bertukar kontak email dan kontak yang bisa dihubungi. Hari pertama yang begitu konyol namun terasa sangat indah. Menjadi senyum pengantar tidur tatkala teringat rangkaian peristiwa hari itu. Hal yang paling membahagiakan karena bertemu teman dari negara yang sama, dengan harapan dapat menjadi teman sepanjang mereka menimba ilmu di negeri orang.

#Halaman 3

Hari demi hari setelah jam kuliah mereka selalu berusaha mengisi waktu bersama. Pun ketika mereka sedang libur. Mereka akan bertemu di luar universitas untuk makan siang, ke pusat perbelanjaan, toko buku atau sekedar jalan-jalan saja. 

Benih-benih asmara yang mereka semai sudah berubah dari tunas menjadi bunga-bunga indah di taman hati. Tak terasa, beberapa semester telah berlalu. Hingga badai kehidupan menghantam perahu kebahagiaan Bidara yang sedang berlayar tenang menyusuri lautan cinta yang bahkan tak pernah diterpa oleh ombak ujian.

Kabar yang ia dengar dari salah seorang dosen yang lumayan dekat dengannya membuat kabut hitam di dalam dada. Kabar duka dari Negeri tercinta. Ayah Bidara telah berpulang menghadap yang Maha kuasa, sedangkan ibunya mengalami shock sehingga mendapatkan serangan jantung, lalu mengalami koma. 

Bidara yang merupakan putri tunggal dan tidak memiliki sanak keluarga selain kedua orang tuanya. Ia tak mungkin pulang hanya untuk izin sementara. Air mata mengalir deras di kedua pipinya. Hatinya remuk redam. "ya Allah.. inikah takdirku? Bolehkan aku tidak menerima semua kenyataan ini? Berdosakah aku jika marah pada ketentuanMu?" jerit hati Bidara dalam ketidakberdayaan.

Setelah bicara panjang dengan pihak fakultas, Bidara kembali ke bilik asrama. Malam yang begitu dingin, tak seperti malam-malam sebelumnya. Bidara terlelap setelah penat membasahi bantal yang ia dekap dengan genangan air mata. Ia bangun di sepertiga malam. Bermunajat kepada Sang Pemilik Tinta Takdir. 

Bersujud, mengadukan segala rasa yang menyesakkan dada. Banyak hal yang ingin ia pinta, namun terlalu banyak untuk dirangkai menjadi rangkuman doa. Istighfar dan terus istighfarlah yang berulang-ulang ia batinkan sembari menyisip harapan agar diberi keikhlasan dan kekuatan. Mukena dan sajadah basah menjadi saksi betapa sedih tangisan yang tak mampu ia bendung.

Sesaat kemudian ia tertidur dengan sangat lelap. Ia bermimpi bertemu sang ayah yang tersenyum hangat sembari mengusap kepala Bidara, lalu  melangkah pergi dan kian menjauh tanpa sepatah kata. Bidara menangis memanggil sang ayah yang semakin samar menembus sebuah portal cahaya diantara semesta yang terlihat hitam pekat. 

Bidara menjerit seraya terbangun dari mimpinya. Ia kembali menangis sambil mendekap wajahnya dengan sajadah yang ia pegang erat. Setelah sedikit mendamaikan tentara duka yang menyerang perasaannya, Bidara menghela nafas panjang demi menguatkan dirinya sendiri. Ia beranjak, berdiri tegak dan perlahan melangkahkan kakinya. 

Ia membereskan kamar, merapikan semua barang yang ia punya kedalam sebuah koper. Ia memang sudah mendapat izin untuk kembali ke Indonesia. Ia melepas beasiswa dan cita-cita, melepas semua impian yang dia punya.

Pagi menjelang ketika Bidara usai menulis sebuah surat sebagai ucapan selamat tinggal dan kata-kata perpisahan kepada Ahmad. Surat yang akan ia titipkan saja kepada seorang teman sekelas yang lumayan dekat dengannya. Karena Bidara tak akan sanggup menatap wajah kekasihnya jika harus bertemu sebelum ia pergi. Setelah berpamitan dengan salah seorang perwakilan dari kampusnya, Bidara berangkat menuju bandara. Selamat tinggal Kairo, selamat tinggal Ahmad, selamat tinggal cita-cita.

#Halaman 4

Assalamualaikum..

Ahmad...

Ketika kau menerima surat ini artinya aku tidak lagi di sini..

Maafkan aku karena kepergianku yang tiba-tiba, bahkan semalam aku tak bisa menyempatkan waktu untuk menemuimu.

Ahh... tidak.. lebih tepatnya aku tak sanggup untuk menatapmu karena akan terasa begitu berat ketika aku harus pergi..

Takdir menuliskan bahwa aku harus menyerah, mengikhlaskan kesempatan untuk meraih cita-cita, bahkan mungkin perlahan harus merelakanmu juga.

Segala kebersamaan kita, kini terasa seperti mimpi, namun sakitnya perpisahan begitu nyata.

Tumpang tindih dengan perihnya luka karena kepergian ayah..

Sekarang aku dan ibu hanya memiliki satu sama lainnya..

Raihlah cita-citamu, berbahagialah, dan teruslah tersenyum seperti ciri khas dirimu..

Semua tentang kita mungkin perlahan akan sirna seiring jarak dan waktu yang membentang, namun percayalah sejauh ingatan yang mampuku pertahankan, namamu selalu terselip diantara do'a..

Ahmad, terima kasih karena pernah hadir dan sempat menjadi bagian dari perjalanan hidupku.

Lalu... maafkanlah aku..

Yang mencintaimu : Bidara Hinata

Serasa lemas tubuh Ahmad ketika membaca bait demi bait sepucuk surat ditangannya. Matanya terasa panas, ada genangan yang tertahan disana. Menyesali dia yang tak tahu apa-apa, namun hanya bisa pasrah tanpa sempat mengucap sepatah katapun, bahkan sekedar kalimat perpisahan.

"Bidara, kau tak sanggup menatapku karena akan terasa berat?

Betapa egoisnya dirimu..

Bagaimana dengan aku yang harus merelakan tanpa melihat kau pergi meski yang tampak hanya punggungmu dari kejauhan.." ratap hati Ahmad.

Ia merasa begitu tak berarti karena ia bukanlah sosok yang diajak berbagi oleh sang kekasih. Ketika kehilangan seorang ayah, pastilah saat terburuk bagi anaknya, di sini Bidara hanya memiliki Gibran yang biasanya menjadi sandaran ternyaman, setidaknya itu yang difikirkan oleh Ahmad. Tapi kenyataannya ia bahkan tahu apa yang terjadi justru ketika kekasihnya tak lagi di sisi.

Berbagai kalimat tanya, protes, marah, dan sedih berkecamuk di hati dan fikiran Ahmad. Ia butuh sesuatu yang bisa disalahkan untuk menenangkan hatinya sendiri, meski sebenarnya ia sepenuhnya mengerti alasan Bidara harus pergi.

*****

Di sisi lain dunia, seorang gadis menginjakkan kaki kembali ke tanah kelahirannya. Ia tak langsung pulang kerumah, melainkan menuju tempat ibunya di rawat. Sesampainya di sana, setelah berbicara dengan bagian informasi, ia berlari menelusuri koridor rumah sakit dan berhenti tepat di depan pintu sebuah kamar paling ujung. Perlahan ia membuka pintu. 

Di sana sesosok wanita paruh baya dengan rambut yang berwarna kekuningan nyaris putih, terbaring lemah. Bidara menahan tangisnya, membuat dada terasa begitu berat. Tak ada siapapun menemani ibunya di sana. Karena tetangga yang membantu mengurus ibunya selama Bidara belum sampai ke Indonesia sedang bekerja. Ia akan kesini setiap pulang bekerja, bergantian dengan suaminya.

Sesuai adat setempat, jika ada yang meninggal, keluarga atau kerabat menggelar acara yassinan, itupun dilakukan oleh mereka, bude Tri dan pakde Dirga. Sepasang suami istri yang belum dikaruniai anak. Mereka sudah seperti keluarga bagi Bidara dan kedua orang tuanya. Begitu juga bagi mereka, Bidara tak ubah layaknya anak kandung sendiri. Tak terhitung budi yang mereka tabur kepada keluarga Prasetyo, ayah Bidara.

Setelah melihat hasil nilai kelulusan SMAnya Bidara, Pakde Dirga pun menawarkan diri untuk membiayai kuliahnya, namun ditolak dengan hormat oleh kedua orang tua Bidara. Terlalu banyak kebaikan yang tak mungkin sanggup mereka balas.

#Halaman 5

TEMPAT BERSANDAR

Senja menjelang ketika pakde Dirga dan bude Tri tiba di Rumah Sakit. Bidara brlari kecil kearah mereka lalu menyalami pasangan suami isteri yang berlinangan air mata, Bude tri memeluk erat tubuh Bidara sedangkan pakde Dirga mengusap lembut kepala Bidara.

”Yang sabar ya nak, ini cobaan untuk kita semua. Kami akan selalu ada untukmu nak, jangan sungkan jika membutuhkan apapun” kata-kata lembut bude Tri yang membuat airmata Bidara mengalir semakin deras. 

Dilanjutkan dengan ucapan pakde Dirga yang penuh pengertian “ Menangislah nak, jika membuatmu lebih lega, semoga setelahnya kamu akan menjadi lebih kuat, demi dirimu dan juga ibumu, kami juga orang tuamu, meski pakde tak akan bisa menggantikan ayahmu, tapi pakde akan berusaha untuk selalu memberi yang terbaik untukmu dan ibumu. Jadikan kami tempatmu bersandar nak”.

Lama mereka tenggelam dalam rasa haru, yang terdengar hanya sedu sedan Bidara seirama dengan isak tangis tertahan bude Tri. Pakde Dirga sesekali menghela nafas yang begitu berat menahan sesak dengan bisikan-bisikan didalam hatinya. 

Setelah melihat kedua wanita dihadapannya mulai tenang, pakde Dirga menyuruh Bidara untuk pulang kerumah, mandi dan istirahat. Pakde Dirga meminta Bidara untuk tidak menjaga ibunya dulu malam ini agar bisa sedikit menenangkan hati dan fikirannya untuk sementara. 

Namun dengan sopan ditolak oleh Bidara. Ia tak ingin lebih menyusahkan lagi, sehingga ia meminta pengertian pasangan suami isteri itu supaya menunggui ibunya sampai setelah sholat isya saja sementara ia pulang kerumah untuk membersihkan diri  dan menyiapkan segala keperluan untuk ia bawa kerumah sakit. Sebelum Bidara beranjak, bude Tri tak lupa mengingatkan agar Bidara kerumahnya untuk makan malam terlebih dahulu dan membawa bekal rantangan barangkali Bidara lapar saat malam di Rumah Sakit.

Sesampai di rumah, Bidara kembali menangis tatkala mengingat semua kenangan bersama ayah dan ibunya selama ini. Tiap ruang memiliki berbagai cerita tentang mereka. Bidara meraih sebuah figura diatas meja dekat dipan bambu tempat ayahnya dulu biasa beristirahat sambil menonton tv bersama ia dan ibunya. 

Ditatapnya wajah lelaki paruh baya yang merangkul anaknya dengan kebaya. Selembar foto yang dipotret oleh pakde Dirga ketika ia pulang dari acara perpisahan sekolah SMA.  Sosok ayah yang tegas namun penuh kasih sayang, tak pernah sekalipun ayahnya berkata kasar atau berucap dengan nada tinggi meski ketika marah. 

Ayah yang selalu menenangkan ketika Bidara remaja sedikit egois dengan sifat kekanakan. Ayah yang selalu berusaha keras agar Bidara selalu bahagia meski tidak dengan kemewahan. “Ayah, kenapa begitu cepat ayah pergi? Apa yang harus Bidara lakukan sekarang? Bidara harus bagaimana ketika ibu bahkan tak bisa menyadari kalau Bidara disisinya?” rintih hati Bidara dalam pilu yang mencengkram. Karena begitu lelah Bidara tertidur dengan mendekap sebingkai potret bersama ayahnya. 

Begitu lelap hingga ia melewati waktu sholat magrib nya. Ia terbangun saat sayup-sayup terdengar adzan isya berkumandang. Ia bergegas mandi dan melakukan sholat jamak magrib dan isya. Kemudian singgah kerumah Bude Tri, menemui mbak Yuyun, asisten rumah tangga mereka. Mbak Yuyun yang sudah sangat mengenal Bidara pun langsung memeluknya dan mempersilakannya masuk. 

Bidara dipersilakan untuk menyantap makan malam yang telah ia siapkan sesaat setelah bude Tri menelpon memintanya untuk mempersiapkan segala keperluan Bidara. Bahkan rantangan untuk dibawa ke Rumah Sakit pun sudah tersusun rapi diatas meja makan bersama dengan satu termos air panas dan sekaleng susu kental manis kesukaan Bidara sejak kecil. 

Setelah makan, Bidara bersiap untuk membereskan meja dan mencuci piring bekas makannya, tapi dengan cekatan mbak Yuyun mengambil alih semua yang akan dilakukan Bidara sembari berkata “ Udah Dara, cuci tangan dan langsung keRumah Sakit aja, biar mbak yang beresin, kalo dara beresin kerjaan mbak, ntar mbak yang suntuk lho” selorohnya. 

Bidara menuruti kata-kata mba Yuyun, karena ia juga tau, dari dulu mbak Yuyun tidak suka kalau ada yang melalukan pekerjaannya di dapur. Mbak Yuyun selalu bingung kalau ada orang lain didapur yang ikutan mengerjakan pekerjaannya. 

Dulu Bidara hanya selalu disuruh suruh ke warung saja oleh mbak Yuyun, paling-paling ia hanya bantu menyapu atau menyirami tanaman saja dirumah bude Tri. “Terimakasih banyak yaa mbak Yun, Bidara pergi dulu, Assalamu’alaikum” pamit Bidara. Mbak Yuyun tersenyum, lalu menjawab “Iyaa Dara, sami-sami.. hati-hati dijalan yaa dek, Wa’alaikumusalam”. 

Mbak Yuyun sudah menganggap Bidara seperti adiknya karena Bidara memang seumuran dengan adiknya di kampung halaman. Bahkan hanya mbak Yuyun yang memanggil Bidara dengan panggilan Dara saja.

Dalam perjalanan Bidara berusaha untuk meyakinkan diri bahwa dia bisa menjalani hari depan dengan lebih tegar, lebih kuat dan harus tetap semangat demi ibunya yang masih terbaring karena guncangan batin sebab kepergian suaminya. Ibu adalah sosok wanita yang penurut, sabar, dan sangat bergantung pada ayah. 

Ibu sangat jarang bepergian tanpa ayah, kecuali ke pengajian ibu-ibu mesjid, atau dikarenakan ayah yang sedang tidak bisa mengantarnya. Walaupun tidak berlimpah dengan kemewahan materi, ibu selalu berkata bahwa ia memiliki limpahan cinta dan kasih sayang. Ibu dan ayah bahkan sering disebut sebagai pasangan romantis oleh para tetangga. “Ayah yang selalu menggandeng tangan ibu ketika mereka berjalan, dulu adalah pemandangan yang sering membuatku merasa malu. 

Kini aku justru merindukan saat-saat itu” batin Bidara. Andaikan waktu bisa terulang kembali, ia ingin menghabiskan tiap detik bersama ayah dan ibunya. Dia tidak akan menerima beasiswa itu. Apalah arti mimpi dan cita-citanya jika bayarannya adalah waktu kebersamaan bersama mereka menjadi sirna.

#Halaman 6

MALAM PANJANG

Waktu terus berputar, hari silih berganti, namun mendung hitam masih saja menaungi hidup Bidara. Ibunya tidak berangsur pulih, malah semakin menunjukkan tanda-tanda buruk. Menunggu hasil cek kesehatan menyeluruh dari laboratorium adalah saat-saat yang begitu menegangkan bagi Bidara. Pakde Dirga terus mendampinginya, sedangkan bude Tri sedang melakukan perjalanan dinas ke luar kota.

Malam itu Bidara tidak bisa lelap, seluruh fikirannya fokus pada cemas. Menduga-duga hasil cek kesehatan ibunya. Malam itu Pakde Dirga pun ikut menginap di Rumah Sakit. Ia memilih duduk di kursi depan ruang tempat ibu Bidara dirawat, sambil sesekali melihat Bidara dan ibunya. Bidara sendiri berbaring beralaskan tikar padi yang ia bawa dari rumah. 

Dengan berselimut tipis, ia meringkuk melawan rasa dingin udara malam yang ketika itu cuaca begitu lembab sisa hujan yang seharian tadi membasahi bumi. Ia memejamkan mata meskipun tak bisa memaksa diri untuk tidur. Ia terkejut ketika terasa ada sesorang yang menyelimutinya, ia menurunkan selimut tipis yang menutupi wajahnya. Wajah lelaki yang begitu akrab dengannya. 

Pakde Dirga, seorang lelaki yang usianya mungkin setara dengan ayahnya, atau mungkin memang lebih muda. Selama ini Bidara tak pernah memperhatikannya. Lelaki yang masih terlihat gagah meski usia tak lagi belia. 

Bidara baru menyadari bahwa pakde Dirga memiliki wajah yang begitu menenangkan, begitu teduh dengan tatapan menghangatkan. Senyuman yang akhir-akhir ini selalu memberi keberanian bagi Bidara untuk menjalani kehidupan. Sosok yang ia rasakan mampu mengisi kekosongan karena kepergian ayahnya.

“Pakde, cuaca begitu dingin, kenapa jaketnya dilepas? Bidara sudah cukup hangat dengan selimut ini” ucap Bidara seraya mengulurkan tangan, mengembalikan jaket tersebut kepada pakde Dirga. Namun ditolak lembut oleh pakde Dirga “ gak apa-apa Bidara, kaos pakde lumayan tebal, malah jadi sesak karena berlapis dengan jaket lagi. Kenapa belum tidur? Istirahatlah, biar gantian pakde yang jaga, besok kita akan menemui dokter untuk hasil labor ibumu”.

Bidara menggelengkan kepala, lalu kemudian duduk menghadap pakde Dirga. Wajahnya begitu lelah. Lingkar hitam dibawah matanya pun terlihat jelas.  “Pakde sendiri kenapa ga tidur? Pakde harus absen ke kantor kan besok pagi? Bidara ga bisa tidur pakde, udah dipaksa merem, tapi malah bikin mata jadi perih, malah makin pusing juga” ucapnya.

“Pakde udah sempat ketiduran tadi didepan. Ya sudah, pakde buatkan susu hangat kesukaanmu ya” ujar pakde Dirga seraya beranjak dari duduknya. Namun langkahnya tertahan ketika tangan Bidara meraih jarinya. Ia menoleh, dilihatnya Bidara yang menggelengkan kepala. “Ga usah pakde, Bidara ga haus, pakde disini aja ya, temenin Bidara”. Pakde Dirga kembali duduk. Kali ini ia duduk disamping Bidara, bersandar pada dinding ruang yang terasa dingin dipunggung. Lama meraka terdiam, tenggelam dalam fikiran masing-masing.

Sesaat kemudian ia merasakan kepala Bidara bersandar dipundaknya. “Pakde, terimakasih untuk segalanya” ucapnya lirih. Suaranya sedikit parau karena pengaruh cuaca, sehingga imunitasnya menurun, dan Bidara mulai terserang radang tenggorokan. Pakde Dirga mengusap kepalanya. Ada perasaan canggung dihatinya, karena kiri Bidara bukan lagi seorang gadis kecil yang dulu berlari larian dihalaman rumahnya. Bidara telah tumbuh menjadi sosok gadis cantik dengan kulit putih bersih. 

Kecantikan yang begitu alami tak tersentuh kosmetik apapun layaknya gadis seusianya. Dengan senyuman yang masih polos dan tingkah lugu khas gadis perawan. Bidara yang tak memiliki waktu untuk bersenang-senang dengan teman seumuran, Bidara yang bahkan tak memberi kesempatan pada hatinya untuk tetap merasakan getar cinta dan perhatian dari belahan hatinya yang jauh di seberang lautan. 

Hanya do’a yang tak henti ia panjatkan, agar Ahmad diberi kemudahan dalam meraih cita-citanya, berharap Ahmad sukses dengan gelar Dokter spesialis gigi sesuai jurusan yang ia ambil. Menyisipkan impian kecil diatara pintanya agar waktu mempertemukan mereka kembali meski mungkin nanti rasa mereka tak lagi sama.

Tanpa sadar waktu subuh telah tiba. Adzan berkumandang dari mushola Rumah Sakit yang kebetulan tak jauh di belakang ruang anggrek III, ruang dimana ibunya terbaring tak berdaya. Pakde Dirga bergegas ke mushola setelah berpamitan dengan Bidara. Sedangkan Bidara sendiri memilih untuk sholat diatas tikar tempat ia berbaring tadi. Bidara telah siap dengan segala keperluan ibadahnya yang ia bawa dari rumah. Membawa mukena dan sejadah kecil kemanapun ia pergi sudah menjadi kebiasaannya.

Dalam do’a subuhnya, Bidara meminta keajaiban pada Tuhan untuk kesembuhan ibunya, untuk tempat yang indah bagi ayahnya disurga dan demi mereka yang selalu menemaninya disaat ia terpuruk seperti saat ini.

Banyak harapan yang ia langitkan dalam do’a, bersambung dengan dzikir panjang yang ia lafazkan, hingga tak terasa sang fajar menjelma dengan pendar merahnya.

#Halaman 7

PENANTIAN, KERAPUHAN DAN RENCANA

Pagi itu langit begitu cerah, Ahmad duduk dibangku taman didepan perputakaan. Menatap layar laptop dipangkuannya. Entah untuk yang keberapa kali ia membuka kotak emailnya, berharap ada balasan dari sekian banyak pesan yang ia kirim kepada Bidara. 

Ribuan kata yang ia rangkai untuk belahan jiwa. Dari kalimat-kalimat yang menguatkan Bidara, sampai barisan kata yang sarat kerinduan ia kirimkan. Meski belum juga ada tanda yang menunjukkan pesannya sudah dibaca, ia tak lelah mengukir sajak-sajak cinta, hingga puisi tentang hatinya yang seakan mati karena kepergian wanita pujaan.

Di Indonesia, disebuah ruang tunggu Bidara mondar-mandir menunggu kedatangan Dokter Irfan. Diantara deretan kursi pakde Dirga duduk mengamati kegelisahan Bidara. Sesaat kemudian matanya tertuju pada lelaki muda berseragam putih dengan stetoskop yang menggantung dilehernya. 

Pakde Dirga beranjakdari kursi lalu menghampiri Bidara dan menunjuk kearah Dokter Irfan. Sesuai dengan daftar janji temu hari ini, nama Bidara dipanggil oleh seorang perawat. Mereka pun segera memasuki ruangan Dokter.

Dokter Irfan menjelaskan”Kondisi ibu  Ratna Pradita saat ini adalah serangan jantung karena shock, sehingga kekurangan oksigen.  Serangan jantung yang dialami ibu Ratna memicu kerusakan pada otak sehingga menyebabkan kehilangan kesadaran, yang disebut koma. 

Kerusakan tersebut dapat terjadi dalam jangka pendek maupun jangka panjang”. Dokter Irfan pun menyarankan agar Bidara membawa ibunya ke Rumah Sakit yang lebih lengkap peralatan medisnya. Sepanjang Dokter Irfan menjelaskan, pakde Dirga terus menggenggam tangan Bidara. Bidara mencoba untuk tidak rubuh demi mendengar semua yang disampaikan oleh dokter. Setelah selesai, mereka kembali keruang ibunya dirawat. 

Sesampainya disana Bidara menggenggam tangan ibunya, menciumi kening wanita yang melahirkan dan membesarkannya tersebut. Tangis Bidara pun pecah, ia berbalik, menghambur kepelukan pakde Dirga. Membenamkan wajahnya kedada lelaki yang sedari tadi terdiam tak mampu berkata-kata. Pakde Dirga memeluk erat tubuh Bidara, menepuk-nepuk pundak Bidara sebagai isyarat menenangkan. Ia mengusap lembut kepala Bidara. 

Hatinya hancur melihat gadis dipelukannya yang begitu rapuh. Campur aduk perasaanya, yang bahkan sulit untuk ia mengerti. Yang dia tau, dia ingin menghapus airmata Bidara, mengobati luka hatinya, dan menjadi tempat bersandar bagi Bidara.

Sore hari Pakde Dirga pamit pulang untuk membersihkan diri, sekalian menjemput bude Tri di Bandara.

Dalam perjalanan pulang ia menjawab pertanyaan-pertanyaan isterinya seputar keadaan Ibu Ratna, ibunya Bidara. “Bagaimana kalau kita bawa ke Jakarta saja mas? Toh Bidara Bisa menempati rumah almarhum bibiku yang disana. 

Sambil menjaga rumahnya daripada kosong tak berpenghuni, sesekali kita bisa berkunjung kesana sekalian jenguk mbak Ratna”. Dirga diam sesaat, kemudian menjawab “Mas sih terserah kamu saja, tapi bagaimana dengan Bidara, kita tetap harus mendengar pendapatnya dulu. 

Lalu bagaimana dengan biaya hidupnya disana, dia bukanlah anak yang mau menerima bantuan begitu saja meskipun kita katakan bahwa kita sudah menganggapnya sebagai putri kita sendiri”.

“Nanti saya coba ajak Bidara bicara dari hati ke hati. Kita bisa buka toko batik disana mas, kita cari satu karyawan, jadi Bidara ga perlu stay di toko, sehingga dia bisa lebih tenang merawat mbak Ratna. Lagipula saya ga tega mas, Bidara hampir tidak punya waktu untuk dirinya sendiri diusianya yang masih begitu muda” jawab bude Tri.

 Mobil terus melaju menelusuri keramaian jalanan kota. Dalam perjalanan pulang adzan magrib berkumandang. Pasangan suami isteri itu singgah ke sebuah mesjid di samping jalan. Selesai sholat berjamaah bude Tri mengajak suaminya singgah kesebuah restaurant seafood dikotanya. 

Katanya ia begitu merindukan masakan melayu, terutama gulai asam pedas, cumi hitam dan gonggong rebus. Masakan Jogja ga bersahabat dengan lidahnya yang akrab dengan bumbu pedas khas melayu. Pakde Dirga tersenyum melihat tingkah isterinya yang seolah sudah bertahun-tahun meninggalkan  kota yang membesarkannya, padahal ia hanya pergi selama seminggu saja.

Ditatapnya wajah wanita yang ia kenal semasa kuliah di semarang. Tri wahyuni adalah gadis yang ia temui di sebuah pentas seni yang diadakan dikota itu. Disutau malam, Dirga muda berjalan bersama teman-temannya. 

Mereka menonton pagelaran seni disana. Ada seni tari tradisional dari berbagai daerah, alat musik, hingga teater. Disana ia pandangannya terpaku pada sosok mungil gadis yang membawakan tarian jaipong. Gadis bertubuh mungil, berkulit putih dengan senyuman yang begitu ceria, seolah dapat menularkan semangat kepada siapapun yang melihat. 

Setelah tarian selesai, mata Dirga liar memburu sosok wanita itu dan didapatinya sang wanita yang sedang membeli jajanan dipinggir jalan didekat panggung. Gadis itu dengan asiknya mengunyah sepotong kue sambil menyeruput sekantong minuman dingin ditangannya. Dengan keringat diwajahnya, sang gadis tetap terlihat begitu manis mempesona.

Berawal dengan modal nekat mengajak kenalan, hubungan mereka pun berlanjut dari long distance relationship,  hingga ke jenjang pelaminan. Tri Wahyuni diboyong ke Tanjungpinang, setelah beberapa tahun mengabdi sebagai Pegawai Negeri Sipil di Kota Semarang. 

Bukan kebetulan jika ibunya Tri pun adalah penduduk asli disalah satu dari sekian banyak kota di provinsi Kepulauan Riau, sehingga lidahnya sudah terbiasa dengan resep masakan melayu ala ibunya. Putri bungsu dari lima bersaudara itu memulai kehidupan baru bersama lelaki yang begitu ia kagumi. 

Lelaki yang hingga kini menerima segala kekurangannya tanpa pernah mengeluh. Meski ia tak mampu memberikan keturunan sekalipun, ia tetap merasakan perhatian suaminya tidak pernah berubah. Ia tetap Dirga yang penuh kasih sayang, ketulusan dan kelembutan. Suami yang begitu sempurna dimatanya.

#Halaman 8

DILEMA

Bidara menjemur pakaian yang ia bawa selama ia di Rumah Sakit. Ia juga menyempatkan diri membersihkan rumah yang tak terurus sejak ia pulang dari Mesir. Menyirami tanaman bunga yang ditanam almarhum ayahnya. 

Kemudian ia duduk dikursi bambu tempat biasa ayahnya duduk dipagi hari sambil menikmati secangkir kopi dan pisang goreng buatan ibunya. Sedang asik dengan lamunannya, Bidara mendengar suara yang memanggil namanya. Ia menoleh kearah asal suara. “Ronny?” sesaat Bidara ragu mengenali lelaki didepan pagar kayu rumahnya. Lelaki itu mendekat ke arahnya, lalu berkata” Assalamu’alaikum, sudah lupa sama aku ya?’

Sedikit gagap Bidara menjawab” Ti.. tidak juga, hanya sedikit pangling, kamu jauh lebih tinggi daripada saat terakhir kita bertemu. Hmmm.. terakhir kita ketemu, kelas dua SMP kan, terus kamu pindah ke Kalimantan tempat nenekmu, benar kan?”.

Ronny tersenyum, sambil menganggukkan kepalanya. “ Tidak salah lagi, saat itu nenek sudah begitu tua, beliau memintaku untuk tinggal disana menemaninya, yah maklum saja, aku satu-satunya cucu lelaki beliau. Saat ujian akhir SMU, Nenek meninggal dunia, tak lama setelah lulus aku kembali lagi kesini, dan kamu sudah berangkat keluar Negeri”.

“Aku turut berduka cita atas kepergian nenekmu Ronny” ucap Bidara berbela sungkawa. Dijawab dengan kalimat yang nyaris sama oleh Ronny “ Aku juga turut berduka untuk ayahmu Bidara, semoga ibumu juga segera diberi kesembuhan”. Dijawab dengan senyuman Biadara sembari ucapan “Aamiin” yang keluar dari mulutnya.

Ronny memberikan nomor handphone yang bisa dihubungi seandainya Bidara butuh pertolongannya. Ia pun tak lupa meminta kontak WhatsAp Bidara. Dari kejauhan ada sepasang mata mengawasi mereka dengan tatapan tidak suka.

Bidara masuk kedalam rumah setelah Ronny menghilang dibelokan jalan diujung rumahnya. Ia ke dapur untuk memasak sedikit makanan sebagai bekal rantangan yang akan ia bawa ke Rumah Sakit. Selesai memasak, ia pun memakan sedikit untuk mengganjal perutnya yang sudah keroncongan. 

Setelah membersihkan bekas peralatan makan dan dapur, Bidara masuk ke kamarnya dan berbaring dikasur tanpa dipan  miliknya. Ia memikirkan rencana hidupnya kedepan. Mengingat uang tabungan yang sudah sangat menipis di rekening ayahnya. Bidara sudah biasa disuruh melakukan tarikan tunai dengan kartu debit ayahnya, sehingga ia sudah sangat hafal dengan pin atm card tersebut. 

Bidara sudah berencana mencari pekerjaan besok harinya, agar bisa terus membiayai perawatan ibunya di Rumah Sakit. Ia tak ingin terus menggantung hidupnya pada Pakde Dirga dan Bude Tri. Tapi pekerjaan apa yang bisa ia dapat dengan gaji yang mencukupi sedangkan ia hanya lulusan SMU, Sedangkan biaya perawatan ibunya sangat mahal.

Diantara fikirannya yang kusut tentang kehidupan, tiba-tiba terlintas wajah Ahmad. Bagaimanakah kabarmu disana? Apa kau masih mengingatku? Ahh.. Sudahlah, aku bahkan tak berani menghubunginya lewat email meski sekedar memberikan nomor handphone ku yang baru.

Bidara memang mengganti nomor handphonenya dengan yang lebih hemat.  Itu hanya salah satu alasan saja. Sebenarnya ia memang ingin melupakan semua yang pernah ia lalui bersama Ahmad, karena ia tak berani memupuk harapan tentang pujaan hatinya itu. 

Terlalu tinggi harapannya jika terus berharap untuk berdampingan dengan Ahmad. Apalagi Ahmad adalah calon Dokter Spesialis. Sedangkan dia bukan siapa-siapa. Bisa mengais rezeki untuk sesuap nasi dan biaya hidupnya saja sudah anugerah baginya.

Bidara meraih ponselnya dan mulai searching lowongan pekerjaan. Tak lama kemudian terdengar suara pintu depan diketuk, samar-samar ia mendengar suara Bude Tri mengucap salam dan memanggil-manggil namanya. 

Bidara bergegas membukakan pintu dan mejawab salam bude Tri. Ia pun mempersilakan bude Tri masuk, kemudian segera membuatkan tah hangat. Kedatangan Bude Tri tak lain adalah membicarakan tawarannya untuk membawa Bu Ratna ke Jakarta, dan menjelaskan segala rencana yang ia persiapkan untuk Bidara. 

Bidara meminta waktu untuk berfikir sebelum ia mengambil keputusan. Disatu sisi ia membutuhkan biaya perawatan untuk ibunya dan juga pekerjaan, disisi lain ia merasa tidak enka karena terlalu banyak berhutang budi kepada pasangan suami istri tersebut. Terutama pakde Dirga yang selalu disampingnya disaat ia butuh, tak perduli sesibuk apapun dia dengan pekerjaanya, ia akan tetap ada waktu untuk Bidara.

Malam harinya Bidara kembali ke Rumah sakit, disana ia menatap langit-langit sambil mempertimbangkan tawaran Bude Tri.

Ditatapnya pula  wajah ibu yang terbaring dihadapannya. Tubuh yang semakin terlihat renta, dengan wajah pucat pasi.

Bidara menyempatkan tidur sebelum kemudian ia bangun kembali untuk bertahajud, memohon petunjuk kepada Tuhan untuk segala keputusan yang akan dia ambil. ***Tamat...

Post a Comment