Eps 14 Garam Bukan Berlian Novel Bidara Bukan Bidara Season 2 Oleh Rita Mayasari

Table of Contents
Eps 14 Garam Bukan Berlian Novel Bidara Bukan Bidara Season 2 Oleh Rita Mayasari

NOVEL BIDARA BUKAN BIDARA (Season 2)

*Episode 14
*Garam Bukan Berlian

Pagi ini terasa lebih sepi dari biasanya. Bidara tetap berusaha memasukkan suapan demi suapan bubur jagung kedalam mulutnya, namun terasa begitu hambar. Fikirannya tak tenang, melanglang buana entah kemana, hatinya riuh bergemuruh menyesakkan dada. Sikap Ammar yang tak seperti biasanya jelas sangat mengusiknya.

Bidara tak mengerti kenapa Ammar berubah setelah kepergiannya selama beberapa hari. Yang lebih membuatnya heran adalah waktu perubahannya terlalu tiba-tiba. "Sehari sebelum kepulanganku, ia bahkan masih begitu manis saat kami bicara ditelepon. Bahkan ia tidak memberitahuku bahwa ibunya akan pulang.

Aku malah taunya dari mbak Ani" batin Bidara seraya mengerutkan keningnya. "Kenapa mendadak jadi orang asing sih" tanpa sadar Bidara berucap dengan suara yang membuat mbak Ani terkejut. Ia yang sedari tadi memperhatikan sang nyonya rumah dari kejauhan hanya bisa menghela nafas, karena tak ingin ikut campur masalah pribadi Bidara dan Ammar. Meskipun sudah dianggap keluarga, ia tidak pernah melampaui batasannya.

Bidara beranjak dari meja makan, lalu bersiap-siap untuk pergi. Setelah semua yang ia butuhkan dimasukkan kedalam ransel, ia melangkah keluar rumah.

Mobil melaju menuju arah sebuah perpustakaan tua yang menjadi tempat paling menenangkan bagi Bidara ketika hatinya gundah. Ia berharap buku-buku disana bisa menjadi pengalihan dari fikiran buruk yang hingga saat ini seolah tawuran didalam kepalanya.

Dalam perjalanan, ia melihat seorang ibu tua dengan bakul dagangannya. Bidara menghentikan mobilnya tidak jauh dari tempat ibu penjual yang sedang duduk berteduh disebuah kursi di tepi jalan. Matanya tertuju pada kue berwarna kuning. Kue kesukaannya ketika kecil, kue yang sering dibuat oleh bude, tetangga yang sudah dianggap sebagai ibunya.

Kue beras berisi gula merah, sangat jarang ia temukan disini. Bahkan sudah sangat lama ia tidak memakannya. Bidara membeli beberapa buah. " Bu, ga apa-apa kan kalo saya ikut duduk disini?" Tanya Bidara sopan kepada sang ibu penjual kue.

Dengan ramah sang ibu penjual mempersilahkan Bidara duduk di sampingnya. Bidara bertanya beberapa hal, hingga diketahui bahwa ibu penjual kue itu bernama ibu Esah, perantau dari Kepulauan Riau yang menikah dengan suaminya yang asli kota tersebut.

Bu Esah tetap menetap disini meskipun suaminya sudah wafat. Karena tidak ingin berjauhan dengan makam sang suami. Padahal suaminya meninggal dunia ketika Bu Esah berusia 26 tahun dan buah hati mereka baru berusia dia tahun saat itu.

Bu Esah tidak menikah lagi hingga kini anaknya telah lulus kuliah. Bidara tersenyum senang mendengarkan cerita Bu Esah, karena sedikit mengalihkan pikirannya dari perubahan sikap sang suami. Sampai akhirnya senyum itu perlahan hilang dari bibirnya tatkala matanya tertuju pada sepasang manusia yang tampak berjalan sembari bercanda memasuki sebuah hotel megah di seberang jalan.

Sosok lelaki yang sangat ia kenal, baik dari tampak belakang sekalipun. Apalagi saat ini ia melihat begitu jelas wajah ceria lelaki yang membuatnya menyandang gelar sebagai istri. Disisinya berjalan dengan anggun seorang wanita dengan long dress berbelahan tinggi hingga memperlihatkan pahanya yang putih mulus dengan kaki yang jenjang bak seorang model.

Dengan bagian atas model Sabrina dipadukan tatanan rambut disanggal layaknya seorang pramugari, membuat leher jenjangnya terlihat sangat menggoda. Mata Bidara menatap lekat pada keduanya hingga mereka menghilang di balik pintu Lobi hotel.

Dadanya seolah tertimpa batu besar, matanya pun terasa memanas. Di pelupuk matanya mulai tergenang airmata yang mendesak ingin tumpah. Bidara tak mampu berkata-kata. Ia menganggukkan kepala kepada Bu Esah dan berlari menuju mobilnya.

Ia membawa mobilnya perlahan pergi dari sana. Meski hati dan fikirannya kacau balau, Bidara tidak kehilangan kewarasannya, hingga ia tidak mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi.

Bidara membawa kendaraannya tanpa tujuan pasti. Sampai akhirnya ia menyadari bahwa ia sudah berada dekat dengan sebuah lapangan hijau. Bidara menghentikan mobilnya, namun ia memilih tetap duduk didalamnya.

Ia mulai menangis. Ia sendiri bertanya-tanya kenapa ia menangis. Kenapa terasa sangat sakit melihat suaminya bersama wanita lain, padahal ia tidak mencintai Ammar.

Ia selalu mempersiapkan hatinya untuk kemungkinan perpisahan diantara mereka. Karena ia dan Ammar sama-sama tahu bahwa pernikahan mereka hanyalah perjanjian untuk saling menguntungkan.

"Apakah aku jadi serakah? Aku tak ingin menjadi berlian bagimu, aku lebih memilih menjadi garam. Aku tak sudi jika sekedar kau inginkan, karena aku ingi menjadi nilai yang lebih tinggi dari itu Ammar, aku ingin menjadi yang kau butuhkan" gumam Bidara disela tangisnya.

"Subhanallah, kenapa aku memiliki perasaan ini, aku tak pantas mengharapkan lebih dari sekedar rasa iba darinya" Bidara kembali meracau sembari memukul-mukul dadanya dengan airmata yang terus tertumpah.

<<< Eps 13                       
Lanjut Baca KLIK >>> Eps 15 (Belum Rilis)

***
Terima kasih telah berkunjung ke website Sampah Kata.
Salam kopi pahit...

Post a Comment