Eps 19 Wisata Masa Lalu Novel Bidara Bukan Bidara Season 2 Oleh Rita Mayasari

Table of Contents
Eps 19 Wisata Masa Lalu Novel Bidara Bukan Bidara Season 2 Oleh Rita Mayasari

NOVEL BIDARA BUKAN BIDARA (Season 2)

Episode 19
*Wisata Masa Lalu

Andai saja kehidupan ini layaknya kisah-kisah didalam drama percintaan atau novel-novel romantis, pasti segalanya akan lebih mudah bagi Bidara yang saat ini terbaring lemah diranjang Rumah Sakit.

Ia tenggelam dalam khayalan sembari merutuki takdir. "Kenapa aku harus terbangun,  kenapa gak koma aja, atau  lupa ingatan karena benturan di kepalaku, kemudian menjalani kehidupan baru tanpa ada hal yang aku sesali dalam hidup ini" batin Bidara.

Segalanya terasa begitu buruk baginya. Matanya menyapu seisi ruangan yang bernuansa putih biru itu, lalu terhenti pada kakinya yang mati rasa itu. Membuat bulir-bulir kristal meluncur bebas dari pelupuk matanya.

"Bukankah lupa ingatan atau bahkan kematian akan lebih baik daripada kaki yang kehilangan fungsinya?" Gumam Bidara disela isak tangisnya. 
Pinggangnya serasa remuk, begitu nyeri, namun kakinya bahkan tidak merasakan apapun.

Sinar matahari menyelinap menembus viltrase jendela ruang putih itu dan membelai lembut wajah Bidara dengan hangatnya. Perlahan ia membuka mata dan berulangkali mengerjapkannya untuk beradaptasi dengan pandangan menyilaukan itu.

Tak lama kemudian terdengar langkah kaki beberapa orang memasuki ruang dimana Bidara terbaring.
Saat ia terbangun dari pingsannya, Bidara sudah dipindahkan dari ruang IGD ke ruangan yang kini ia tempati. Ia bahkan tidak tau wajah-wajah tenaga medis yang membantunya ketika itu.

Lalu saat ini, serasa mendapat kejutanⁿ dihari ulang tahun, dada Bidara bergemuruh tatkala melihat wajah yang begitu ia kenal melangkahkan kaki diantara para perawat yang semakin mendekat. 

Bidara tak mampu mengontrol ekspresi wajahnya.
Dengan mata yang bembundar, bibir yang terbuka, tatapannya tidak berkedip sedikitpun. 
"Ahmad?"
Hanya satu nama itu yang keluar dari mulutnya.

Ahmad yang dulu ia kenal sebagai mahasiswa dari fakultas kedokteran itu, kini begitu terlihat pantas mengenakan blazer berwarna putih itu. 
Sesaat kenangan membawa Bidara ke wisata masa lalu.

Serpihan-serpihan cerita mereka saat itu berkelebat dalam ingatannya. Untuk kesekian kalinya airmata tak mampu ia bendung, mengalir tanpa bisa ia hentikan. Bidara memalingkan wajahnya ke sisi lain karena rasa malu dan perih dihatinya seakan bersekongkol menyiksa batinnya.

Ia mengumpat dalam hati " andai saja kaki sialan ini berguna, aku pasti sudah berlari sejauh mungkin dari sini. Saat ini, jangankan berlari, bahkan untuk sekedar membalikkan badan saja terasa sangat berat dan tak sanggup aku lakukan. Sangat memalukan".

Bidara tersentak saat merasakan sentuhan tangan di pucuk kepalanya. "Apa yang kau rasakan Dara? Izinkan aku melakukan pemeriksaan pada kakimu" tutur lembut Ahmad memecah rangkaian lamunan Bidara. 

Perlahan ia menoleh ke arah suara lembut tersebut, kemudian mengangguk pelan.
Ahmad melakukan tugasnya dengan serius sembari menenangkan Bidara yang tak mampu melawan gejolak emosionalnya. Ia menangis sesenggukan.

Perlahan tangisnya mereda karena terasa menyesakkan dan begitu membuat lelah. Ditambah ucapan Ahmad yang memberinya semangat baru. Ahmad berkata bahwa yang dialami Bidara bukanlah kelumpuhan permanen, masih ada harapan untuk pulih jika ia melakukan terapi dengan rutin. 

Setelah Bidara terlihat tenang,  Ahmad membisikkan sesuatu di telinga Bidara,  kemudian tersenyum dan pamit untuk melanjutkan jadwal pemeriksaan untuk pasien-pasiennya yang lain.

Bidara tidak mengucapkan sepatah kata pun.  Namun ia tak lagi memalingkan wajah. Tidak ada tatapan waspada atau apapun yang ia ekspresikan.
Pandangan matanya mengikuti langkah Ahmad yang perlahan menjauh.

<<< Eps 18                       
Lanjut Baca KLIK >>> Eps 20

***
Terima kasih telah berkunjung ke website Sampah Kata.
Salam kopi pahit...

Post a Comment