It's Just a Phase Perjalanan Karier, Kegagalan, dan Bangkit Menuju Kesuksesan
Aku selalu punya moto "It's just a phase" - semua ini cuma fase, guys! Kita bisa berubah, berkembang, dan menjadi jauh lebih baik lagi. Setiap fase yang kita lewati sebenarnya adalah waktu di mana kita bisa belajar.
Aku enggak akan pernah bisa ada di Ruangguru kalau dulu aku enggak ikut Ajak Gerak. Aku juga enggak akan pernah bisa jadi karyawan di Ruangguru kalau dulu aku enggak pernah belajar bareng teman-teman. Aku selalu berpikir, mungkin hari ini aku cuma dapat Rp500.000, tapi besok bisa jadi Rp5 juta, atau mungkin lusa jadi Rp10 juta. Who knows?
Jadi, aku selalu memaknai bahwa hidup adalah perjalanan, dan perjalanan itu harus kita lalui step by step.
Perkenalan
Tema besar yang aku angkat kali ini adalah "It's Just a Phase", karena dalam hidup kita pasti mengalami berbagai fase yang harus kita jalani. Aku punya moto hidup yang sangat simpel, yang aku ambil dari salah satu lagu Hindia.
Mungkin ada yang tahu lagu "Evaluasi"? Di dalam lagu itu ada dua lirik yang menjadi pedoman hidupku sampai sekarang:
"Lakukan apa yang kau mau sekarang, saat hatimu bergerak jangan kau larang."
Berangkat dari moto itu, aku tumbuh menjadi seseorang yang selalu berani menerobos batas. Setiap ada kesempatan, aku selalu berpikir, "Coba dulu deh!" Tanpa tahu nanti ke depannya gimana, yang penting aku sudah mencoba.
Perjalanan Menjadi Guru
Dari dulu, aku sangat suka berbicara. Tapi aku ingin saat aku berbicara, ada orang yang memperhatikan dan mendengarkan. Aku berpikir keras, "Gimana ya caranya?" Sampai akhirnya aku kepikiran satu sosok.
Coba tebak, siapa di dunia ini yang kalau dia ngomong, banyak orang mendengarkan? Presiden? Bisa jadi. Tapi aku enggak kepikiran jadi presiden. Ada jawaban lain?
Guru!
Betul banget! Dari dulu aku berpikir, "Oh, jadi guru ya? Kalau di sekolah pasti semua murid mendengarkan."
Akhirnya, saat SMA, aku termasuk siswa yang unggul di bidang akademik dibanding teman-teman lain. Aku pun mulai berpikir untuk menjadi guru, tapi aku memulainya dari kelompok belajar. Dulu, aku sering mengajak teman-teman untuk belajar bareng setiap ada ulangan atau ujian.
Di situ, aku akhirnya punya wadah untuk berbicara dan didengarkan. Tapi uniknya, saat masuk kuliah, aku tidak mengambil jurusan pendidikan karena aku sadar bahwa aku suka berbicara, tetapi tidak ingin menjadi guru.
Aku berpikir, setelah tidak jadi guru, aku akan terlepas dari dunia pendidikan. Ternyata tidak!
Di tahun pertama kuliah, aku dapat kesempatan bergabung dengan organisasi nonprofit Ajak Gerak. Organisasi ini membantu teman-teman dari keluarga underprivileged agar bisa mendapatkan akses pendidikan dan melanjutkan kuliah.
Di situ, aku kembali menjadi pengajar. Awalnya, aku ragu untuk bergabung. Tapi karena moto hidupku "terabas aja!", akhirnya aku tetap mendaftar. Waktu itu, aku baru semester 1, masih beradaptasi dengan kuliah, tapi di saat yang sama juga harus mengajar anak-anak ini agar mereka bisa sukses.
Alhamdulillah, di tahun 2021, bersama Ajak Gerak, aku dan tim berhasil membantu lebih dari 10.000 siswa underprivileged meraih kampus impian mereka.
Tantangan Finansial
Tapi ada satu hal yang tidak aku pikirkan: keuangan!
Saat itu, aku tidak mencari keuntungan dari semua kegiatan ini. Ada dua hal yang aku pikirkan:
- Aku bisa membantu orang lain.
- Aku bisa berbicara dan didengarkan.
Tapi hidup tetap butuh uang, dan semuanya berubah ketika perekonomian keluargaku memburuk. Mau tidak mau, aku harus bekerja.
Sebagai mahasiswa tahun kedua yang belum punya pengalaman kerja, aku bingung harus apply ke mana. Aku ingat satu-satunya sertifikat yang bisa aku jual adalah pengalaman mengajar secara volunteer. Akhirnya, aku melamar sebagai pengajar di sebuah bimbingan belajar kecil.
Di situlah aku menghadapi realita pahit. Gaji per sesi hanya Rp30.000. Sistemnya door-to-door, jadi aku harus menempuh jarak 10–15 km untuk mengajar satu sesi. Bahkan, kadang uang yang aku dapat tidak cukup untuk mengganti bensin.
Tapi apa boleh buat? Kalau aku tidak mengajar di sana, aku tidak bisa bertahan hidup.
Mengejar Dream Job
Aku berpikir, "Kalau gue cuma dapat Rp30.000 per sesi, kapan kayanya?"
Akhirnya, aku merasa harus berkembang. Aku tidak bisa terus-menerus di posisi ini. Aku pun mencoba melamar ke salah satu perusahaan education technology terbesar di Indonesia: Ruangguru.
Di tahun pertama, aku gagal. Waktu itu, aku hanya modal nekat tanpa persiapan apa pun. Aku kecewa, tapi tidak menyerah. Aku berpikir, "Aku kurangnya di mana?"
Selama satu tahun, aku meng-upgrade diri dan meningkatkan keterampilanku. Tahun berikutnya, aku mencoba melamar lagi. Dan akhirnya, aku diterima!
Bekerja di Ruangguru adalah salah satu impianku sejak lama. Aku tidak perlu lagi menempuh 10–15 km dalam kondisi hujan badai hanya untuk mengajar. Gajiku pun jauh lebih besar dibandingkan Rp30.000 per sesi di tempat sebelumnya.
Makna dari Setiap Fase Hidup
Kalau kita melihat ke belakang, perjalanan hidupku penuh dengan struggle:
- Fase keuangan sulit: Aku belajar cara mengelola uang, hidup minimalis, dan beradaptasi.
- Fase kegagalan: Aku belajar mengenali kelebihan dan kekurangan, lalu meningkatkan keterampilan.
- Fase bekerja keras dengan gaji kecil: Aku belajar membangun koneksi dan memahami orang lain.
Dari semua fase itu, aku belajar bahwa hidup adalah perjalanan. Kita tidak bisa langsung sukses dalam semalam. Seorang manajer dengan gaji dua digit pun awalnya adalah karyawan biasa dengan gaji UMR.
Seperti kata Chairul Tanjung, kalau kita gagal, evaluasi diri, bangkit, dan coba lagi!
Seperti lagu Hindia yang lain, "Besok Mungkin Kita Sampai" - kalau bukan hari ini, mungkin besok kita akan berhasil.
Sekian cerita dari aku. Terima kasih!
Post a Comment