Menemukan Makna dalam Karier Esensialisme, Absurdisme, dan Nihilisme dalam Dunia Kerja
Kita perlu mengenali diri kita sendiri. Diri kita itu seperti apa? Kita harus bisa mendefinisikan diri kita sendiri - apa yang membuat kita nyaman, bagaimana karakter kita, lingkungan seperti apa yang bisa kita hadapi, dan bidang pekerjaan apa yang ingin kita jalani seumur hidup.
Saat ini, dunia terasa sangat bising. Ketika kita melihat media sosial, seolah-olah semua pekerjaan terlihat seru. Namun, mungkin kita tidak perlu terlalu bersemangat berlebihan. Kita hanya perlu menghargai pekerjaan kita secukupnya. Ketika merasa bosan, bukan berarti pekerjaan itu tidak cocok untuk kita. Itu hanyalah fase yang wajar dalam kehidupan. Manusia pasti akan merasa bosan, dan menurut saya, itu adalah sesuatu yang manusiawi.
Pekerjaan yang kita lakukan setiap hari, apakah itu meaningful bagi kita atau tidak? Saya tetap berpikir bahwa apa yang saya lakukan harus memiliki makna bagi orang lain. Namun, pekerjaan itu hanya akan meaningful bagi orang lain jika pekerjaan tersebut meaningful bagi kita terlebih dahulu.
Perjalanan Karier
Saya sudah lama tidak berbicara di depan umum, jadi jika penyampaian saya sedikit berantakan, mohon dimaklumi. Saya sekarang berusia 29 tahun, bisa dibilang ini adalah injury time usia 20-an. Tahun depan, saya akan menginjak usia 30 tahun. Teman saya mengajak untuk membuat sesuatu bersama. Dengan pengalaman kerja sejak usia 18 tahun, saya merasa perjalanan saya cukup panjang.
Saat kuliah, saya aktif berorganisasi, tetapi di tahun terakhir, saya tidak lagi ikut organisasi dan merasa bingung dengan arah hidup. Saya adalah lulusan MIPA, jurusan Matematika, dan pada saat itu saya tidak tahu ingin bekerja di bidang apa. Teman-teman saya banyak yang memilih mengajar, dan akhirnya saya mencoba mengajar juga. Awalnya, saya takut karena nilai saya yang bagus hanya di beberapa mata kuliah tertentu. Saya khawatir anak SMA yang saya ajar malah mendapatkan pemahaman yang salah.
Namun, seorang senior menawarkan saya untuk mengajar Matematika SMA. Saya akhirnya membaca ulang materi dan merasa bisa mengajarkan dengan baik. Itu adalah pengalaman pertama saya mengajar. Sebelumnya, saya juga pernah menjadi asisten dosen, tetapi mengajar anak SMA memiliki tantangan tersendiri karena materinya cukup berbeda dengan yang saya pelajari di kuliah.
Setelah lulus pada usia 18 tahun, saya bekerja di berbagai tempat. Awalnya, saya tidak terlalu bangga sebagai lulusan Matematika karena saya tidak tahu akan bekerja di bidang apa. Banyak senior yang mengatakan bahwa lulusan Matematika bisa bekerja di mana saja, tetapi justru karena banyaknya pilihan, saya menjadi bingung harus memilih yang mana.
Saya akhirnya mencoba bekerja di bidang konsultasi, tepatnya di bagian manajemen dan psikologi, yang sebenarnya jauh dari bidang Matematika. Di tempat kerja ini, saya mendapatkan pengalaman pertama di dunia kerja yang sebenarnya. Saya menyadari bahwa lingkungan kerja juga berperan penting dalam kenyamanan kita.
Tantangan di Dunia Kerja
Saya kemudian berpindah ke bidang IT Consultant, yang lebih dekat dengan Matematika dan Data Science. Gaji saya naik sedikit, tetapi saya merasa kurang nyaman dengan pola kerja di sana. Target pekerjaan tidak jelas, dan saya merasa kehilangan arah. Saya menyadari bahwa mentorship yang baik sangat penting dalam dunia kerja.
Setelah keluar dari pekerjaan tersebut, saya mengalami masa sulit secara finansial. Tabungan saya hanya tersisa sekitar satu juta rupiah, tanpa kepastian kapan saya akan mendapatkan pekerjaan lagi. Akhirnya, saya kembali ke mengajar, pekerjaan yang saya tahu bisa saya lakukan dan menghasilkan uang. Saya mulai mengajar orang-orang yang ingin mengambil tes TPA untuk naik jabatan atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Dari sini, saya mulai memahami bahwa ketika mencari pekerjaan, kita perlu mempertimbangkan esensi dari pekerjaan tersebut. Kita harus mengenali diri kita sendiri dan memahami lingkungan kerja yang cocok untuk kita.
Filosofi dalam Pekerjaan
Saya ingin membahas tiga pandangan filsafat yang relevan dengan perjalanan karier saya: Esensialisme, Absurdisme, dan Nihilisme.
Esensialisme
Esensialisme adalah pandangan bahwa manusia memiliki tujuan sejak sebelum lahir. Mungkin tanpa saya sadari, mengajar adalah esensi diri saya. Sejak dulu, saya tidak pernah diarahkan untuk menjadi dosen atau pengajar, tetapi akhirnya jalan hidup membawa saya ke sana.Absurdisme
Absurdisme menyatakan bahwa hidup ini pada dasarnya adalah rutinitas yang berulang-ulang. Saya sudah mengajar selama delapan tahun, melakukan hal yang sama setiap hari—mengajar, membuat materi, dan begitu seterusnya. Awalnya, saya sangat bersemangat, tetapi pada akhirnya tetap merasa bosan. Itu adalah hal yang wajar.Banyak orang berpikir bahwa pekerjaan baru akan selalu lebih menarik, tetapi pada akhirnya, semua pekerjaan akan terasa membosankan jika sudah dilakukan dalam jangka waktu lama. Saya melihat ini dari teman-teman yang menjadi travel influencer. Dari luar, terlihat menyenangkan bisa traveling gratis, tetapi di balik layar, mereka harus menghadapi tekanan deadline dan tuntutan dari brand yang bekerja sama.
Nihilisme
Nihilisme berpendapat bahwa dunia ini kacau dan tidak memiliki makna absolut. Banyak orang berkata bahwa kita harus mencari pekerjaan yang memiliki dampak bagi orang lain. Namun, setelah saya menjalani berbagai pekerjaan, saya menyadari bahwa yang lebih penting adalah pekerjaan itu meaningful bagi diri saya sendiri terlebih dahulu.Pekerjaan yang meaningful bagi kita akan lebih mudah menjadi meaningful bagi orang lain. Sama seperti kita tidak bisa mencintai orang lain sebelum mencintai diri sendiri, kita juga tidak bisa memberikan dampak positif kepada orang lain jika kita sendiri tidak merasa bahagia dengan pekerjaan yang kita jalani.
Pada akhirnya, kita bebas menciptakan makna kita sendiri dalam hidup dan pekerjaan. Tidak ada aturan baku tentang bagaimana hidup yang meaningful itu harus dijalani. Yang terpenting adalah kita merasa nyaman dan bisa menikmati perjalanan kita sendiri.
Post a Comment